by admin|| 16 Oktober 2015 || 62.407 kali
Yogyakarta, Ribuan penonton yang memenuhi panggung raksasa di Lapangan Ghra Sabha Pramana UGM tak bergeming selama dua-setengah jam, hingga Drama Kolosal mengangkat judul “Njemparing Rasa” berakhir.
Untuk pertamakalinya Dinas kebudayaan DIY bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri -PKKH UGM menggelar pertunjukan kolaborasi drama kolosal melibatkan 300 pelaku seni gabungan dari berbagai komunitas seni-budaya se DIY.
Dalam sambutan pembukaan Kepala Dinas Kebudayaan DIY GBPH Yudhaningrat mengatakan dalam rangka program pengembangan nilai budaya, pada anggaran 2014 Pemda DIY bekerjasama dengan PKKH UGM melaksanakan kegiatan pelestarian, pengembangan dan aplikasi nilai-nilai budaya luhur di masyarakat dalam bentuk Gelar Drama Kolosal Njemparing Rasa.
Dikatakan, gelar seni pertunjukan tersebut merupakan kolaborasi dan pepraduan antara seni tradisional dan modern, juga kolaborasi antar berbagai cabang atau jenis seni yang kemudian menyatu dan membentuk sebuah harmonisasi seni pertunjukan yang kemudian namanya menjadi “Pertunjukan Kolaborasi Drama Kolosal, Sumantri-Sukrasrana, Njemparing Rasa, Menarik Busur Sejarah Membidik Masa Depan”.
Pentas dengan tema “Keistimewaan Yogyakarta Sebagai Pijakan Pembangunan Karakter Bangsa” dimaksudkan untuk menjawab “mati suri” nya nilai-nilai kearifan lokal serta seni-seni tradisi yang telah ditinggalkan oleh masyarakat, akibat masifnya serbuan budaya global yang mendominasi kehidupan masyarakat saat ini.
Dari naskah awal yang disusun oleh Whanny Darmawan, Bondan Nusantara, Punthung CM Pudjadi, Indra Tranggono, Susilo Nugroho, Suharno, Faruk HT, Ari Purnomo, Anes Prabu Sudjarwo, Suharmono dan Tri Wahyudi, terjadi penyuntingan dua kali, mengubah naskah menjadi cerita berbingkai serta perubahan pada pembabakan dan beberapa perubahan isi materi.
Ide awal “Njemparing Rasa” bermula dari kegelisahan atas situasi kebangsaan Indonesia yang selama ini cenderung hanya mengikuti arus zaman. Kehebatan Bangsa hanya menjadi cerita sejarah. Kolonialisasi telah merubah Indonesia menjadi bangsa yang tunduk dan pasrah terhadap keadaan, semangat mandiri telah hilang pada diri bangsa ini.
Telah lebih dari 10 tahun terakhir tidak muncul pertunjukan teater kolosal outdoor di Yogyakarta. Hingga Dinas Kebudayaan DIY, Sub-bagian Rekayasa Budaya menggandeng PKKH UGM merealisasikan ide itu. Langkah awal pada tahun 2013, melalui workshop dan diskusi kelompok kerja merintis penulisan naskah kemudian mewujudkannya ke dalam pementasan tunggal kolosal menggabungkan berbagai unsur kesenian di DIY.
“Njemparing Rasa” secara filosofis memiliki makna “Memanah Rasa”. Dalam tema yang lebih spesifik yakni “Menarik Busur Sejarah, Membidik Masa Depan” yakni membentuk masa depan yang lebih baik dengan cara merentang masa silam, melakukan introspeksi, retrospeksi dan refleksi untuk perubahan.
Sub-tema “Keistimewaan Yogyakarta Sebagai Pijakan Pembangunan Karakter Bangsa” memaksudkan posisi Yogyakarta sebagai daerah yang memiliki keistimewaan sebagai Kota Kebudayaan sekaligus Kota Pendidikan, diharapkan menjadi pilar dalam pembangunan karakter bangsa.
Yogyakarta menjadi ruh dari jasad Indonesia yang akan menghidupkan semangat perjuangan menuju bangsa yang setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...