Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin|| 05 Maret 2014 || 395.032 kali

...


Ngithing.

Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah lingkaran. Posisi ini terdapat pada tari gaya Surakarta dan Yogyakarta, dipergunakan untuk tangan kiri dan kanan.

Ngleledhek.

Gerakan penari ledhek yang kurang lebih maksudnya memikat hati, tujuannya agar penonton, lebih-lebih yang akan ngibing (lihat ngibing) menjadi tertarik padanya.

Ngoyog.

Menggerakkan seluruh tubuh jika samping kiri atau kanan tanpa mengangkat kaki pada tari puteri dan putera gaya Yogyakarta.

Ngoyog bali jinjit.

Menggerakan seluruh tubuh kesamping kanan tanpa mengangkat kaki (lihat ngoyog), kemudian kembali (bali) dengan gerak berjengket diatas ujung kaki (jinjit) ke posisi semula. Gerak ini hanya terdapat pada tari putera halus dan rendah hati (lihat alus impur) gaya Yogyakarta untuk peranan-peranan seperti Arjuna, Rama, Laksmana, dll.

Ngoyog cethik.

Menggerakkan pinggul kesamping kiri atau kanan pada tari gaya Yogyakarata.

Ngregem.

Gerak menggenggam sampur pada tari puteri gaya Yogyakarta. Gerak ini dilakukan pada waktu persiapan akan melakukan gerak panggel (lihat panggel) dana hanya dilakukan dengan tangan kanan.

Ngruji.

Posisi tangan kanan dengan meluruskan keempat jari-jari  keatas, sedangkan ibu jari ditekuk ke arah telapak tangan. Posisi tangan ini terdapat pada tari gaya Yogyakarta, lazimnya dipergunakan untuk tangan sebelah kiri.

Ngundhuh sekar.

Ragam gerak kedua belah tangan dengan posisi salah satu tangan berada didekat telinga, sedangkan tangan yang lain mengarah diagonal ke bawah, menirukan gerak sedang memetik (ngundhuh) bunga (sekar) pada tari puteri dan putera halus gaya Yogyakarta. Gerak ini dipakai pada tari bedhaya, srimpi dan enjeran.

Ngunus.

Gerak menarik (ngunus) kaki yang baru saja diletakkan pada tari putera halus dan gaya Yogyakarta.

Ngunus racik.

Gerak menarik (ngunus) tangan yang dilakukan dua kali (racik) pada tari putera halus dan gagah gaya Yogyakarta. Gerak ini merupakan gerak penghubung bagi frase yang agak panjang, yang dilakukan bila akan berganti ke frase yang alian. Setelah gerak ngunus racik disusul dengan gerak sabetan (lihat sabetan) sebagai permulaan frase berikutnya.

 

Nibake.

Bahasa jawa ngoko (rendah) untuk ndhawahken (lihat ndhawahken).

Nimblis.

Dengan seluruh tubuh dan segenap kekuatan mencoba mengenai lawan.

Ningsetkan peningset.

Ragam gerak tangan kiri dan tangan menggambarkan penari sedang mengencangkan (ningset-ken) sabuk (peningset) pada tari Klana, dan sering pula pada bagian enjeran (lihat enjeran) dalam tari perang.

Njimpit.

Memegang tepi sampur dengan ibu jari dan jari tengah dalam bentuk posisi tangan ngithing (lihat ngithing) untuk tari gaya Yogyakarta.

Nyamber.

Melakukan gerak terbang (lihat samberan) pada tari gaya Yogyakarta.

Nyamplak.

Gerak memukul dengan sampur atau selendang yang banyak digunakan pada tari perang puteri atau putera halus gaya Yogyakarata.

Nyangkol udhet.

Mencangkolkan udhet atau sampur ( lihat udhet) pada siku untuk tari puteri gaya Yogyakarta.

Nyaraki.

Bila raja berkenan naik kuda dalam suatu upacara, maka para petugas yang menyiapkan kuda (gamel) membersihkan mulut kuda dengan air, maju mendekat dan mundur setelah selesai tugas dengan jalan menari.

Nyathok.

Menggerakkan sampur atau selendang dengan melemparkan ke atas tetapi tidak dilepaskan melainkan ditangkap kembali dengan ujung jari-jari tangan hingga sampur tersebut menutupi tangan, untuk tari gaya Yogyakarta.

Nyebrak.

Cara mencabut keris warangka, tetapi belum sampai keluar semua dari warangkanya.

Nyempurit.

Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari dengan ujung telunjuk, jari tengah dan jari manis ditekuk ke bawah, kelingking ditekuk ke atas hingga bentuk posisi ini memyerupai kepala seekor burung. Posisi tangan ini terdapat pada tari gaya Surakarta dan Yogyakarta, lazimnya dipergunakan untuk tangan sebelah kanan.

Nyirig.

Melakukan gerak sirig (lihat sirig).

Nylekenthing.

Posisi jari-jari kaki yang ditekuk ke atas yang merupakan posisi yang selalu harus dilakukan bagian kaki yang menapak pada tari gaya Yogyakarta.

Nyothe.

Cara memakai keris setelah dimasukkan atau diselipkan pada sabuk yang sebenarnya berada dibagian warangka yang disebut branggah maupun gayaman (lihat branggah dan gayaman) agak ditarik kesamping, sehingga terletak dibagian samping badan, seolah-olah seperti dijapit dengan tangan atau lengan.

Obah lambung.

Gerak lambung atau toreo bagian bawah kesamping kiri kanan pada tari gaya Yogyakarta.

Ombak banyu.

Gerak peralihan yang terdapat pada tari putera halus dan gagah gaya Yogyakarta. Ombak berarti ‘ombak’ banyu, banyu berarti ‘air’. Gerak ini bernama ombak banyu karena pada waktu menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan selalu didahului dengan gerak ke atas seperti gerak ombak air. Gerak ini dipakai pada tari Lawung dan adegan-adegan penghadapan pada drama tari.

Ombak banyu wirama rangkep.

Gerak ombak banyu (lihat ombak banyu) yang dilakukan dengan irama rangkap (rangkep)  yaitu dua kali lebih lambat dari ombak banyu biasa. Gerak ini dipakai pada tari putera halus dan gagah gaya Yogyakarta seperti tari Lawung dan adegan-adegan penghadapan pada drama tari.

 

Ongkek.

1. Gerakkan seluruh lengan sampai bahu kiri atau kanan ke depan, kemudian ke belakang pada tari gaya Yogyakarta; 2. Buluh bambu yang diberi dua buah kaki, sebagai pemikul gamelan barangan (lihat barangan).

Ora mingkih.

Yakin pada diri sendiri dan pantang mundur, merupakan dasar keempat dari dasar estetik tari Jawa gaya Yogyakarta yang disebut Joged Mataram (lihat Joged Mataram). Ora berarti ‘tidak’ mingkuh berarti ‘bergerak’. Seorang penari harus merasa yakin atas penampilan dirinya di atas pentas dan tidak akan merasa terganggu oleh sesuatu apapun. Misalnya kakinya menginjak sesuatu hingga merasa sakit, ia tidak boleh menunjukkan rasa sakit itu dsb. Atau, meskipun seorang penari lupa akan sesuatu bagian dari gerak tari yang harus dibawakan, ia tidak boleh berhenti dan mengingat-ingat yang terlupa, tetapi ia harus terus menari dengan penuh keyakinan.

Pacak gulu.

Gerak kepala pada tari gaya Surakarta dan Yogyakarta. Pacak berarti ‘hiasan’; dan gulu berarti ‘leher’. Disebut demikian karena gerak kepala ini sebenarnya merupakan akibat dari gerak leher.

Pacak gulu jiling.

Gerak kepala (lihat pacak gulu) dengan meliuk-liuk ke atas (jiling).

Pandengan.

Pandangan mata yang jaraknya berdasar pandangan mata ke titik lantai pada tari gaya Yogyakarta. Jarak ini berbeda-beda antara tipe tari yang satu dengan tipe tari yang lain. Pandangan mata tari puteri dan putera halus adalah kira-kira lima kali tinggi badan penari. Hanya pada tari perang pandangan penari ditujukan ke kepala musuhnya.

Panggel.

Gerak kaki pada tari puteri dan putera halus gaya Yogyakarta (lihat panggel). Kaki kanan menapak penuh, sedangkan kaki kiri menapak sambil berjengket dengan tekanan yang lembut. Untuk tari puteri dan putera halus ada dua panggel, yaitu panggel kiri dan panggel kanan.

Panggel kiwa.

Gerak kaki pada tari putera dan puteri halus gaya Yogyakarta (lihat panggel). Kaki kanan menapak penuh, sedangkan kaki kiri menapak sambil berjengket dengan tekanan lembut.

 

 

Panggel ngregem.

Gerak panggel (lihat panggel) dengan dibarengi oleh gerak ngregem (menggenggam sampur) pada tari puteri gaya Yogyakarta.

Panggel tengen.

Gerak kaki pada tari puteri dan putera halus gaya Yogyakarta (lihat panggel), kaki kiri menapak penuh, sedangkan kaki kanan menapak sambil berjengket dengan tekanan lembut.

Pangkat ndhawah.

Transisi dari gendhing (lihat gendhing) ke bagian ndhawah.

Pangkat minggah.

Transisi dari gendhing (lihat gendhing) ke bagian minggah.

Pangkon.

Tempat meletakkan bilahan jenis saron yang dibuat dari kayu yang bentuknya mirip koyak dengan bagian kanan kiri terdapat hiasan mirip gelung, pada bagian tengah terdapat semacam lubang berbentuk empat persegi panjang sebagai resonator. Pangkon ini mempunyai alas kaki, dan yang bagus dibuat dari kayu nangka.

Pangrawit.

 Sama dengan pradangga (lihat pradangga).

Pasemon.

 Ekspresi muka pada tari gaya Yogyakarta yang meskipun tidak bebas, tetapi harus cocok dengan peranan yang dibawakan.

Pasu.  

Bagian tepi rai (lihat rai) yang melengkung menghubungkan bagian rai dan bau pada jenis pencon.

Patalon.

Rangkaian beberapa untuk gendhing yang dibunyikan sebelum pertunjukkan wayang dimulai. Untuk wayang di daerah Surakarta menggunakan rangakaian  gendhing Patalon dimulai dari gendhing Cucurbawuk diteruskan Pareanom kemudian diteruskan lagi ladrang Srikaton dan Ketawang Sukmailang, Ayak-ayakan, Srepegan dan diakhiri dengan Sampak, semuanya pathet Manyura. Susunan tersebut untuk wayang kulit purwa.

Patapukan.

Lihat wayang topeng.

 

 

Pendhapan.

Berjalan dengan lutut ditekuk, dan pada waktu badan digerakkan kedepan kaki berjengket. Gerak berjalan ini terdapat pada tari putera halus dan gagah gaya Yogyakarta, dipakai untuk gerak merayu pada tari percintaan.

Perang.

Gerak perang, baik dengan menggunakan senjata atau tidak pada tari gaya Surakarta dan Yogyakarta.

Perangan.

Gerak perangan atau bagian perang dari komposisi tari perang gaya Yogyakarta. Perangan merupakan bagian ketiga dari komposisi tari perang yang utuh yang terdiri dari empat bagian, yaitu maju gendhing, enjeran, perangan, dan mundur gendhing.

Perang brubuh.

Perang terakhir dalam suatu lakon wayang wong, untuk menentukan siapa yang menang.

Perang gendhing.

Gerak tari yang menggambarkan peperangan, namun gerak-gerak tersebut masih terikat oleh irama gamelan, seperti misalnya pada irama kethuk, kempul, kenong, gong.

Perang irama.

 Perang berirama pada tari gaya Yogyakarta, misalnya perang pada Srimpi, Lawung, dan juga pada beksan-beksan perang lainnya (lihat perang gendhing).

Perang jengkeng.

Gerak perang yang dilakukan dengan posisi jengkeng atau jongkok pada tari putera gagah gaya Yogyakarta.

Perang kembang.

Perang didalam wayang wong (lihat wayang wong), antara raksasa Cakil dan kawan-kawannya raksasas yang lain melawan seorang ksatria, di mana dalam perang ini perang penuh dengan variasi yang bermacam-macam dengan mementingkan keindahan gerak.

Perang mandras.

Gerak tari gaya Surakarta untuk menggambarkan perang, dengan iranagan srepekan (lihat srepegan), dengan gerak yang masih terikat oleh irama kendhang yang mempunyai pola-pola tertentu. Apabila akan mengakhiri suatu pola tersebut akan jelas terdengar kendhang memainkannya dan pertanda akan gong pada akhir pola tersebut.

 

 

 

Perang ruket.

 Gerak tari yang menggambarkan perang dan tidak terikat oleh irama dari gamelan, sehingga langsung pada gerak-gerak perang yang mengutamakan kelincahan, ketrampilan, dan semangat..

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Perkumpulan Kridho Beksa Wirama

by admin || 04 Juni 2012

Didirikan oleh G.B.H. Tedjokusumo dan BPH. Soerjodiningrat pada tanggal 17 Agustus 1918 atau 9 Dulkangidah 1848 hari Sabtu Wage. Pendirian perkumpulan Kridha Beksa Wirama di dorong atas hasrat untuk ...


...
Perkumpulan Kesenian Irama Citra

by admin || 04 Juni 2012

 Lahir pada tanggal 25 Desember 1949. Munculnya organisasi ini dilatarbelakangi berhentinya usaha-usaha untuk mempelajari kesenian Jawa sejak pertengahan bulan Agustus 1945 hingga kira-kira ...


...
Yayasan  Siswa Among Beksa

by admin || 04 Juni 2012

Paguyuban ini didirikan oleh BPH. Yudonegoro pada tanggal 12 Mei 1052 bersama dengan para anggota Bebadan Among Beksa Kraton Yogyakarta berdasarkan pancasila dan berazaskan kekeluargaan serta gotong ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta