Sengkalan

by admin|| 04 Maret 2014 || 249.188 kali

...

 

Deretan kata berupa kalimat atau bukan kalimat yang mengandung angka tahun, dan disusun dengan menyebut lebih dahulu angka satuan, puluhan, ratusan, kemudian ribuan. Kata-kata yang terdapat dalam sengkalan bukan sembarang kata yang disusun, melainkan dipilih sesuai dengan angka tahun. Deretan kata sengkalan selain sebagai simbol angka tahun juga merupakan simbol konsep-konsep magis tradisional dalam kepercayaan masyarakat. Simbol-simbol ini dapat dipahami maknanya jika dianalisis secara semiotik. Simbol nilai kata yang terdapat dalam sengkalan ada yang langsung menunjukkan angka, tetapi ada juga yang secara tidak langsung menunjukkan angka karena nilai angka tersembunyi dan harus ditelusuri asal mulanya. Biasanya nilai angka yang tersembunyi merupakan kosa kata serapan dari bahasa Sansekerta.

Kata sengkalan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Sakakala yang berarti tahun Saka. Saka adalah nama bangsa dari India yang pernah datang ke pulau Jawa dan mengajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, diantaranya huruf Jawa dan sengkalan. Tahun Saka dimulai ketika Raja Saliwahana atau Ajisaka naik tahta pada tahun 78 Masehi. Sengkalan dalma bahasa asing disebut chronogram (kronogram) yang berasal dari bahasa Yunani chronos yang berarti waktu dan gramma yang berarti huruf atau aksara. Sengkalan berdasarkan bentuknya ada tiga macam, yaitu sengkalan lamba, sengkalan memet, dan sengkalan sastra. Namun jika berdasarkan jenisnya, sengkalan ada dua macam, yaitu suryasengkala dan candra sengkala.

 

Sengkalan Lamba. Sengkalan yang menggunakan rangkaian kata.

 

Sengkalan Memet. Sengkalan yang menggunakan lukisan.

 

 

Sengkalan Sastra.

Sengkalan yang menggunakan huruf Jawa dan sandangannya biasa digunakan pada ukir-ukiran, hiasan keris, dan lain sebagainya.

 

Suryasengkala.

Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan perputaran matahari. Sengkalan Suryasengkala digunakan pada masa pra-Islam dengan menggunakan tahun Saka. Namun saat ini Suryasengkala jarang digunakan, karena sengkalan yang dibuat tergantung pada kebutuhan, misalnya sengkalan dengan menggunakan tahun Masehi.

 

 

Candrasengkala.

Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan peraturan bulan. Sengkalan Candrasengkala digunakan setelah masa Islam dengan memakai tahun Jawa. Tahun Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma sejak 1 Suro 1555 Jawa, bertepatan 1 Muharam 1043 Hijriah, atau 1 Srawana 1555 Saka, atau 8 Juli 1633 Masehi. Tahun Jawa merupakan perpaduan antara Tahun Hijriah dengan tahun Saka. Pada zaman sekarang sengkalan dapat menggunakan tahun Jawa, Saka, Hijriah atau Masehi tergantung pada sengkalan yang diperlukannya.

 

Candrasengkala Gancaran, Serat.

Buku sastra disusun oleh Panitia Kapujanggan Keraton Yogyakarta. Buku ini hanya membahas mengenai masalah nilai kata dengan menyertakan cara membuat sengkalan.

 

Gurudasanama.

Ketentuan dalam penggunaan kata-kata pada sengkalan dengan cara menggunakan sinonim atau dasar padanan kata. Hal ini dimaksudkan karena kata-kata dalam yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok (mengalami perubahan).

 

Gurusastra.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai homograf atau dasar penulisan yang sama. Ketentuan ini ada, katena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Guruwanda.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sesuku kata. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Guruwarga.

Cara menentukan perubahan atau pernurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekaum. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Gurukarya.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan dengan memakai dasar sekerja. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalma sengkalan yang bernilai sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Gurusarana.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sealat. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Gurudarwa.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekeadaan atau dalam satu keadaan yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk meberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Gurujarwa.

Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar searti atau arti yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

 

Sengkalan Angka Nol.

Angka nol dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti hilang atau segala sesuatu yang tidak ada. Pada sengkalan hanya ada satu kata yang bernilai nol atau kosong, yaitu kata umbul (melesat ke atas) karena segala sesuatu yang telah hilang bernilai nol. Misalnya sengkalan tentang pelaksanaan sekaten tahun 1990, “umbuling puspa gapuranin praja”.

 

Sengkalan Angka Satu.

Angka satu di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang bermakna satu, kata-kata yang bermakna jumlahnya hanya satu, benda yang bentuknya bulat, kata-kata yang berarti manusia, kata-kata yang berarti hidup dan nyata. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai satu adalah jalma, jalmi, janma, kenya, putra, aji, ratu, raja, nata, narpati, narendra, pangeran, gusti, Allah, hyang, maha, bathara, bumi, jagat, budi, buda, budaya, ron, lata, wani, semedi, luwih, nabi, lajer, wiji, witana, praja, bangsa, swarga, puji, piji, harja dan peksi. Kata peksi bernilai satu, namun sebenarnya bernilai dua, karena peksi berasal dari kata peksi (sansekerta) yang berarti burung atau binatang yang bersayap.

 

Sengkalan Angka Dua.

Angka dua di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah dua, atau berpasangan dan bentuk-bentuk turunannya, serta kata-kata yang bermanka gandheng. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai dua, biasanya digunakan kata asta, dwi, kembar, ngelmi, aksa, samya, sembah dan supit.

 

Sengkalan Angka Tiga.

Angka tiga dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah tiga, dan bentuk-bentuk turunannya. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tiga, biasanya digunakan kata  guna, katon, saut, sunar, trima, trisula, ujwala, dan wredu.

 

Sengkalan Angka Empat.

 Angkat empat dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti air dan kata-kata yang berarti kerja, serta segala sesuatu yang berjumlah empat. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai empat ialah kata papat, catur, keblat (arah mata angin), warna (kasta dalam agama Hindu), toya (air), suci dan pakarti.

 

Sengkalan Angka Lima.

Angka lima dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah lima, golongan raksasa, segala macam senjata, kata-kata yang berarti angin, tajam, ilham atau bisikan, perangkap, serta kata-kata yang mempergunakan kata panca. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai lima ialah driya (indra), wisaya (cerapan indra), cakra, warayang, tinulup, ati, linungit, yaksa, mangkara, marganing, pasarean, tinata, gati dan pirantining.

 

Sengkalan Angka Enam.

Angka enam dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti rasa, hewan berkaki enam, dan segala sesuatu yang bergerak. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai enam ialah kat gana, hangga-hangga, (laba-laba), rasa, sinesep, nikmat, kayu, winayang (digerakkan), rebah (runtuh) dan wisik (pesan).

 

Sengkalan Angka Tujuh.

Angka tujuh dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti golongan pertapa atau pendeta, gunung, suara, serta binatang yang biasa dipergunakan untuk kendaraan. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tujuh ialah kata pandhita, resi, swara, sabda, muji (pujian, restu, ajar) dan giri (gunung).

 

Sengkalan Angka Delapan.

Angka delapan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti gajah, binatang melata, dan brahmana. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai delapan adalah kata ngesti (memikirkan), madya (tengah), basuki, naga, brahmana, manggala, murti, salira, sarining, dan kata-kata turunan dari kata-kata tersebut.

 

Sengkalan Angka Sembilan.

Angka sembilan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti dewa, bunga dan benda-benda yang berlubang atau terbuka. Kata-kata pada sengkalan yang biasanya digunakan untuk menyatakan angka sembilan ialah : kata, trus, trustaning, wiwara, anggatra, gapura, ambuka, makaring, umanjing, sekaring, puspa, kusuma, kembang, dan ngarumake (mengharumkan).

 

Dwi Naga Rasa Tunggal.

Sengkalan yang menunjukkan tahun 1682 tahun Jawa atau 1756 Masehi, yaitu tahun mulai dipergunakannya Keraton Yogyakarta yang baru. Dwi berarti dua, naga melambangkan angka delapan, rasa melambangkan angka enam, dan tunggal berarti satu. Karena sengkalan angka tahunnya diartikan dari belakang maka sengkalan ini berarti 1682 tahun Jawa.

Dwi Naga Rasa Tunggal atau Dua Naga Satu Rasa, menggambarkan dua ekor naga yang sedang bersenggama. Rasa tunggal menunjukkan rasa kebersamaan yang dinikmati oleh kedua Naga tersebut. Dwi Naga menurut lisan yang berkembang di Keraton Yogyakarta adalah dua ekor naga yang diberi nama Kiai Jaga dan Kiai Jigut yang bertugas menjaga keselamatan keraton Yogyakarta beserta seluruh rakyatnya di bumi Mataram. Namun menurut sumber sejarah, sengkalan ini dibuat berkaitan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta dan peristiwa palihan Nagari, yaitu pecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasultnan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi. Sehingga sengkalan itu secara asosiatif bermakna “Dua kekuatan yang secara fisik terpisah namun secara batiniah tetap satu demi terjaminnya kelangsungan hidup dan keselamatan bernegara”.

 

Dwi Naga Rasawani.

Sengkalan yang menunjukkan tahun ditempatinya Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1682 tahun Jawa atau tahun 1756 Masehi.

 

Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berarti “Dua Naga mempunyai perasaan berani”. Sesuai dengan sumber sejarah palihan negara yang ada, maka sengkalan ini bermakna asosiatif “Dua kekuatan yang berani dalam menegakkan kebenaran”, dan bila disesuaikan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta akan bermakna “Raja dan rakyat harus mmiliki keberanian demi tegaknya keraton Kasultanan Yogyakarta.

 

Warna Sanga rasa Tunggal.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Prabayaksa oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan ditangani oleh Kiai Riya Sindureja pada tahun 1694 Jawa atau 1768 Masehi. Penyimpanan pusaka Keraton Yogyakarta. Warna berati macam atau hal, sanga berati sembilan, rasa berati perasaan , dan tunggal berarti satu. Jadi sengkalan ini berarti sembilan macam (hal) yang berperasaan satu.

Warna sanga menunjuk pada sembilan macam benda ampilan Sultan yang tersimpan di Bangsal Prabayaksa berupa banyak (angsa) simbol kesucian  dan kewaspadaan, dalang (kijang) simbol kegesitan dan kebijaksanaan, sawung (ayam jantan)simbol keberanian, galing (merak) simbol kewibawaan, ardawalika naga simbol pembawa dunia, kacu mas (sapu tangan emas)simbol daya tarik, kandhil (lentera)simbol penerangan hati rakyat, dan saput (tempat segala macam alat) simbol kesiapsiagaan. Jadi makna asosiatif sengkalan tersebut adalah sembilan sikap raja yang merupakan satu kesatuan agar dapat mengemban tugasnya dengan baik.

 

Trus Manunggal Pandhitaning Rat.

Sengkalan yang menunjukkan tahun didirikannya Bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tahun 1719 Jawa atau 1792 Masehi. Bangsal Kencana adalah sebuah bangunan yang dipergunakan untuk upacara-upacara kebesaran kerajaan, dan tempat raja bertahta di singgasana. Kata trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, manunggal (tunggal) melambangkan angka satu, pandhitaning (pandhita= pendeta) melambangkan angka tujuh dan rat (dunia)melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan angka tahun 1719 Jawa. Dan dapat diartikan “selalu satu pendeta dunia.

 

Sekar Sinahut Ing Naga Raja.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Gedong Jene, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1839 jawa atau 1909 M. Kata sekar (bunga) melambangkan angka sembilan, sinahut (disambar) melambangkan angka tiga, ing (di) sebagai kata bantu, naga (naga) melambangkan angka delapan, dan raja (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkelan ini merupakan melambangkan angka tahun 1839 Jawa, dan dapat diartikan “Bunga disambar oleh naga raja”. Bunga melambangkan kemakmuran dan raja naga melambangkan seorang raja yang besar. Sehingga sesuai dengan fungsi Gedong Jene sebagai tempat tinggal raja, maka sengkalan ini bermakna semboyan bagi raja, yaitu : Kemakmuran yang dibawa oleh raja.

 

Kaluwihaning Warayang Ngesthi Aji.

Sengkalan yang menandai tahun 1851 Jawa atau 1921 Masehi, yaitu tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Kaluwihaning (kelebihan) berarti angka satu, warayang (panah) melambangkan angka lima, Ngesthi (mendambakan atau memikirkan) melambangkan angka delapan, dan Aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini berarti “keunggulan panah mendambakan martabat”. Sengkalan ini juga bermakna “Seorang raja harus mempunyai ketajaman pikiran agar dapat menyejahterakan rakyatnya”. Makna tersebut diambil dari kata warayang (panah) yang melambangkan ketajaman pikiran, dan kata aji yang berarti raja. Jadi sengkalan tersebut sesuai dengan peristiwa penobatan raja, karena seseorang tidak mungkin dinobatkan menjadi raja apabila tidak tajam pikirannya.

 

Kaluwihaning Yaksa Ngesti Aji.

 Sengkalan yang menunjukkan tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1851 Jaa atau tepatnya pada tanggal 29 Jumadillawal 1851 Jawa yang bertepatan tanggal 8 Februari 1921 Masehi. Kaluwihaning (kelebihan) melambangkan angka satu, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, ngesthi (mendambakan, memikirkan) melambangkan angka delapan, dan aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini bisa diartikan “Kelebihan raksasa membuahkan pujian”. Kaluwihaning yaksa atau kelebihan raksasa disini yang dimaksud adalah dalam hal kekuasaan fisiknya. Jadi makna asosiatif sengkalan ini adalah keunggulan dalam kekuatan fisik harus dimiliki oleh seorang raja agar dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

 

Jagad Asta Wiwara Narpati.

Sengkalan yang menunjukkan tahun 1921 Masehi, yaitu tahun dinobatkannya Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, tepatnya pada tanggal 8 Februari 1921 Masehi atau 1851 Jawa. Sengkalan ini dapat diartikan “Dunia membawa pintu raja” yang mempunyai makna sama dengan Hamengku Buwana, yaitu memelihara dunia. Sengkalan yang menandai penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII ini ada tiga, jagad asta wiwara narpati, kaluwihaning yaksa ngesti aji dan kaluwihaning warayang ngesthi aji. Ketiga sengkalan ini bila digabung maknanya saling berkaitan atau saling mengisi, yaitu “Raja sebagai pemelihara dunia hendaknya memiliki kelebihan dalam bidang fisik dan mental”. Lihat kaluwihaning yaksa ngesti aji, dan lihat juga kaluwihaning warayang ngesti aji.

 

Werdu Yaksa Naga Raja.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Manis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1853 Jawa atau 1922 Masehi. werdu (lintah) melambangkan angka tiga, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan raja melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut dapat diartikan lintah yang besar adalah raja naga, yang melambangkan tahun 1853 Jawa.

Bangsal Manis berfungsi sebagai tempat pesta, tetapi kini digunakan sebagai tempat membersihkan pusaka-pusaka Keraton pada bulan Suro. Jika sengkalan tersebut dihubungkan dennga fungsi bangsal ini, maka werdu yaksa melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Linta adalah binatang air, dan air adalah lambang kesbuburan, kemudian cara makan lintah dengan jalan menghisap melambangkan kemakmuran. Sedangkan fase naga raja (raja naga) melambangkan orang yang mengadakan pesta tesrebut, yaitu Raja.  Jadi sengkalan tersebut bermakna “Pesta atau upacara resmi jamuan kenegaraan dapat diselenggarakan oleh Raja karena negaranya subur dan rakyatnya makmur”.

 

Tinata Piranti ing Madya Witana.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witama oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1855 Jawa, tepatnya tanggal 27 Rajab 1855 Jawa atau tanggal 23 Februari 1925 Masehi. Tinata (diatur) melambangkan angka lima, Piranti (alat) melambangkan angka lima, ing (di) sebagai kata bantu, Madya (tengah) melambangkan angka delapan, dan witana melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Peralatan yang diatur di tengah Bangsal Witana”, yang melambangkan tahun 1855 Jawa.

Bangsal Witana adalah tempat pusaka-pusaka Keraton pada saat upacara garebeg, sehingga jika dihubungkan dengan sengkalan tersebut, maka kata piranti (peralatan) yang dimaksud adalah pusaka-pusaka keraton. Jadi makna sengkalan tersebut adalah “Pusaka-pusaka Keraton diatur di tengah Bangsal Witana untuk upacara garebeg”.

 

Linungit Kembar Gatraning Ron.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1925 Masehi, tepatnya tanggal 25 Februari 1925 Masehi. Linungit (diukir) melambangkan angka lima, kembar (sama) melambangkan angka dua, gatraning (bentuk) melambangkan angka sembilan, dan ron (daun) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini melambangkan tahun 1925 dan bisa dibaca “Bentuk daun yang diukir menjadi sama”.

Sengkalan ini sesuai dengan ragam hias pada Bangsal Witana, sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Bangsal Witana yang sangat indah dihiasi ukiran berbentuk daun-daunan yang simetris”.

 

Pandhita Cakra Naga Wani.

Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Siti Hinggil oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1857 Jawa atau tahun 1926 Masehi. Pandhita (pandeta) melambangkan angka tujuh, cakra (senjata cakra) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan wani (berani) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Pendeta dengan senjata cakra bagaikan seekor naga yang berani” untuk me

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Layanan Pengadaan Secara Elektronik 2012

by admin || 30 Juli 2013

.



...
PENINGKATAN KUALITAS KOTA PUSAKA (YOGYAKARTA)

by admin || 19 September 2013

.





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta