Pedoman Pelestarian (6)

by admin|| 10 Maret 2014 || 48.397 kali

...

A. Latar Belakang Pentingnya Program Pelestarian dan Pengembangan Bahasa mencerminkan semua aspek budaya masyarakat pemiliknya. Melalui bahasa, seluruh pengertian, pemikiran, kepercayaan, serta tata nilai kelompok masyarakat dapat diwujudkan. Bahasa Jawa merupakan aset budaya daerah yang bersifat intangible culture. Bahasa Jawa memiliki arti penting dalam pembentukan identitas bangsa, jati diri bangsa dan memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pembentukan kebudayaan nasional. Bahasa Jawa merupakan sarana komunikasi yang sangat strategis dan signifikan, karena didukung oleh jumlah pemakai yang sangat besar, yakni menempati urutan ke XI di dunia atau mencapai 80 juta penutur, yang sebagian besarnya masih tinggal di Pulau Jawa. Sebagai sarana komunikasi, sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, tata nilai, maupun ungkapan rasa, bahasa Jawa memiliki kandungan kekayaan budaya yang tak ternilai. Di samping itu, bahasa Jawa mempunyai potensi dan daya tarik untuk selalu dikaji dan dikembangkan, memiliki potensi dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakatnya, karena keunggulan-keunggulannya, antara lain nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, hingga pada saatnya ikut memberikan kontribusi dalam membentuk kepribadian bangsa. Tidak berlebihan bila masyarakat Jawa masih memiliki komitmen yang kuat untuk membina dan mengembangkan bahasa Jawa. Di sisi yang lain kehidupan bahasa Jawa memiliki posisi dilematis karena berbagai ancaman sebagai berikut. 1. Pengaruh budaya global termasuk terhadap globalisasi kebahasaan. Seperti halnya yang menjadi sorotan UNESCO dalam konferensi di Paris pada bulan Nopember 1999, bahwa ada enam hingga sepuluh bahasa etnis yang hilang setiap tahunnya. 2. Minat generasi muda untuk menggunakan bahasa Jawa makin berkurang, yang antara lain dikarenakan rasa gengsi dan kekurang banggaan generasi muda pada bahasa Jawa. 3. Adanya persepsi di kalangan kaum muda bahwa mempelajari dan mempergunakan bahasa Jawa itu sangat sulit. 4. Partisipasi para pejabat dan tokoh masyarakat dalam menggunakan, membina dan mengembangkan bahasa Jawa masih lemah. 5. Media massa berbahasa Jawa sangat terbatas dalam terbitan maupun penyebarannya. 6. Pewarisan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa Jawa kepada generasi muda makin lemah sehingga berakibat makin lunturnya kesadaran kebanggaan berbahasa Jawa. 7. Keputusan politik untuk melindungi dan melestarikan dan mengembangkan bahasa Jawa belum ada. Mendasarkan pada realitas di atas, perlu segera disikapi dengan menyusun suatu program sistematis dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Pemerintah Daerah DIY, secara politis, sudah selayaknya turut mengambil bagian secara proporsional dalam rangka pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Apalagi hal ini didukung oleh UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni bahwa penanganan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian secara implisit mengisyaratkan bahwa pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah, termasuk bahasa Jawa, menjadi tanggung Jawab pemerintah daerah, dan hak-hak penangannannya telah menjadi wewenang sepenuhnya. Peraturan ini juga dapat dimaknai sebagai warna khas lokal dalam pengembangan daerah masing-masing dengan tidak meninggalkan penekanan pada kesatuan dan persatuan, serta pedoman bhineka tunggal ika. B. Pendampingan Bahasa Jawa di Bidang Budaya Dalam masyarakat Jawa, khususnya di DIY, budaya yang berlaku secara dominan adalah budaya Jawa. Di Yogyakarta masih banyak ditemukan hasil-hasil budaya Jawa, baik dalam bentuk budaya fisik (tangible) maupun budaya nonfisik (intangible); baik dalam bentuk artefak, sistem sosial, maupun sistem ide yang dimiliki oleh kebudayaan Jawa. Dalam hal pelestarian dan pengembangannya, sarana yang paling efektif untuk mengkomunikasikannya secara mendalam tentu saja dengan bahasa Jawa, agar diperoleh apresiasi hingga pemaknaan setepat-tepatnya. Dalam bidang fisik, budaya Jawa meninggalkan berbagai wujud budaya yang dalam hal nama, bentuk, hingga pada maknanya, banyak memerlukan penjelasan yang detail dalam hubungannya dengan bahasa Jawa. Nama-nama keris, batik, bentuk bangunan, dan berbagai peralatan, hanya dapat dimaknai secara tepat bila bahasa Jawa masih setia mendampinginya. Dalam budaya adat dan tradisi Jawa banyak diwarnai dengan berbagai upacara daur hidup, mulai dari upacara kelahiran dan berbagai upacara perkembangan bayi, upacara pernikahan, upacara kehamilan, dan upacara kematian. Di samping itu masih ada upacara-upacara lain terkait dengan upacara pembersihan (ruwatan dan bersih desa atau merti desa) dan atau keselamatan (slametan) secara umum. Upacara kelahiran dan perkembangan bayi antara lain meliputi kendhuri brokohan (setelah kelahiran dan penanaman embing-embing atau ari-ari/ placenta), puputan (tanggalnya tali puser) , selapanan atau kepyakan jeneng (pemberian nama ketika bayi berusia 35 hari), tedhak siten (bayi pertama kali turun di tanah), dan upacara sunatan. Upacara pernikahan antara lain meliputi upacara obor-obor (menanyakan seorang perawan telah berpacangan dengan lelaki lain atau belum), nontoni (calon pengantin laki-laki melihat calon pengantin wanita), lamaran (pihak calon pengantin laki-laki melamar ke pihak calon pengantin wanita), midodareni (malam sebelum pernikahan calon pengantin wanita dipingit dan dijagai), ijab kobul (pengesahan pernikahan secara agama dan pemerintah), dan pahargyan manten (pesta pernikahan). Upacara kehamilan antara lain meliputi upacara mitoni (kehamilan tujuh bulan). Upacara kematian antara lain meliputi kurmat nyarekake ( upacara pemakaman), surtanah (kendhuri selamatan setelah usai pemakaman), telung dina (tiga hari setelah kematian), pitung dina (tujuh hari setelah kematian), patang puluh (empat puluh hari setelah kematian), satus dina (seratus hari setelah kematian), setahun (satu tahun) dan sewu dina (seribu hari setelah kematian). Di samping itu masih ada lagi upacara nyandhi atau ngijing yakni upacara pemberian nisan pada makam yang biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara sewu dina, namun bisa juga di lain waktu. Upacara pembersihan atau penyucian antara lain meliputi ruwatan, yakni membersihkan anak dari segala yang dianggap tidak baik atau sukerta. Dalam mitosnya anak sukerta bila tidak diruwat menjadi jatah makanan untuk Batara Kala. Anak sukerta menurut budaya Jawa meliputi banyak sekali kategori, antara lain bocah ontang-anting (anak tunggal), bocah kedhana-kedhini (dua anak laki dan perempuan), dsb. Upacara pembersihan juga dilakukan untuk membersihkan desa dari segala sesuatu yang tidak baik. Di samping itu masih ada upacara-upacara lain seperti upacara-upacara dalam hubungannya dengan pertanian, misalnya upacara wiwit (saat sebelum panen dimulai). Selamatan lainnya antara lain selamatan mendirikan rumah, mendirikan kantor, menempati rumah baru, dsb. Dalam berbagai upacara budaya tersebut bahasa Jawa menjadi pendamping budaya yang bersangkutan, yakni bahasa penghantar komunikasi budaya yang hingga kini masih relevan dilakukan. Bahasa Jawa dalam hal ini di samping berfungsi sebagai bahasa komunikasi verbal juga berfungsi sebagai komunikasi simbolik, yang mencakup dan mewadahi berbagai makna kebudayaan. Setiap pertemuan sosial pada upacara tersebut, bahasa Jawa mengisi fungsi-fungsi tersebut dengan segala konvensi-konvensi yang berlaku. Dalam prosesi kendhuri pada berbagai ritual misalnya, seorang kaum yang memimpin acara tersebut selalu mempergunakan bahasa Jawa, baik ditujukan kepada masyarakatnya, maupun yang bersifat doa yang ditujukan kepada yang adikodrati atau Tuhannya. Pada saat ini, kendhuri, antara lain dilakukan pada saat ritual brokohan, selapanan, tedhak siten, sunatan, kepyakan sebelum pahargyan manten, mitoni, surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, setahun, dan sewu dina. Dalam upacara-upacara ritual pengantin, selalu ada seseorang yang ditunjuk sebagai wakil yang menyampaikan maksud dari pihak-pihak keluarga yang mau menikah. Wakil-wakil itu juga selalu menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasinya. Demikian juga master of ceremonial (MC) atau pranata cara, juga selalu mempergunakan bahasa Jawa. Pada prosesi ritual manten, bahkan cenderung dipergunakan bahasa Jawa yang disebut basa rinengga (adibasa) (bahasa indah). Dalam budaya ide atau sistem ide, budaya Jawa kaya akan nilai-nilai yang dikemas dalam berbagai idiom khas, yang mencerminkan ideologi Jawa yang adiluhung. Berbagai pepatah-petitih, berupa bebasan, paribasan dan saloka banyak mewarnai dan menjadi pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan seperti memayu hayuning bawana, mikul dhuwur mendhem jero, mulat sarira hangrasa wani, ngono ya ngono ning aja ngono, becik ketitik ala ketara, dan masih banyak lagi, merupakan ungkapan yang masih relevan untuk dilestarikan dan dimaknai sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa menjadi urgensi tersendiri yang menjadi tanggung jawab bersama antara pemegang kebijakan, pemangku budaya, dan juga apresian budaya. Pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa dalam pendampingan di bidang budaya, dapat dimulai dengan program-program sbb. 1. Para pemangku kepentingan, dalam hal ini penanggung jawab program yang diwakili oleh para pejabat pemegang kebijakan, memikul tanggung jawab untuk menyusun kebijakan-kebijakan terkait dengan pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa dalam hubungannya dengan segala aktivitas pelestarian dan pengembangan budaya. 2. Pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa juga menjadi tanggung jawab para pemangku budaya, para pelaku budaya dan para apresian atau pecinta budaya. Pada kelompok ini pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa terutama sekali dapat ditempuh melalui jalur-jalur pendidikan bahasa Jawa, baik formal maupun nonformal, khususnya yang mengarah pada penguasaan bahasa Jawa untuk pranata cara, penataran-penataran untuk para pelaku budaya dan pengembangan sistem informasi secara modern untuk kalangan luas. 3. Pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa juga menjadi tanggung jawab bersama masyarakat pemilik budaya Jawa, yang pada pelaksanaannya ditekankan pada kesadaran handarbeni dan nguri-uri kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, instansi-instansi terkait agar selalu proaktif melancarkan pembinaan-pembinaan menuju terciptanya kesadaran masyarakat dalam melestarikan budaya Jawa secara optimal. 4. Pelestarian dan pengebangan budaya Jawa dimulai dengan inventarisasi dan dokumentasi. 5. Perlu dikembangkan sistem informasi yang memadahi, baik melalui media cetak (majalah berkala) maupun elektronik, baik audio maupun audiovisual (radio, TV, Video, VCD, DVD dan internet). C. Pendampingan Bahasa Jawa di Bidang Seni Dalam bidang seni, khususnya dalam rangka seni komunikatif, yakni jenis-jenis seni tertentu yang sifatnya menekankan bentuk-bentuk komunikasi verbal, bahasa Jawa masih menempati posisi strategis. Dalam seni sastra, hingga saat ini sastra Jawa masih eksis dan berkembang baik dalam bentuk sastra tulis maupun sastra lisan. Dalam bentuk sastra tulis, bahasa Jawa dipergunakan di media massa-media massa berbahasa Jawa, dan buku-buku terbitan sastra Jawa. Media massa berbahasa Jawa yang merupakan terbitan Yogyakarta, antara lain Djaka Lodang. Majalah berbahasa Jawa ini masih secara rutin menerbitkan hasil-hasil karya sastra Jawa. Selain itu Harian Jogja, selalu memuat seni dan warta seni Jawa. Dalam bentuk terbitan, beberapa penerbit di Yogyakarta masih setia menawarkan hasil-hasil karya sastra Jawa untuk diterbitkan dan diedarkan di masyarakat luas. Dalam bentuk sastra lisan, di Yogyakarta sejak semula muncul hasil-hasil sastra yang disebar luaskan secara lisan berbahasa Jawa, baik berupa puisi tembang macapat, teka-teki rakyat, bahasa plesetan, cerita prosa rakyat, dsb. Jenis sastra lisan seperti ini selalu muncul baru dan berkembang hingga saat ini. Seni sastra, khususnya sastra drama Jawa, baik teks drama tertulis maupun secara lisan langsung ditampilkan di panggung, selalu saja diproduksi, baik lakon-lakon baru maupun reproduksi dari lakon yang sudah ada. Seni drama Jawa berkembang, baik yang bersifat tradisional maupun modern. Seni drama tradisional yang paling menonjol di DIY adalah wayang kulit purwa, kethoprak, dan dhagelan. Ketiga jenis ini merupakan seni drama rakyat yang paling digemari masyarakat. Seni drama Jawa berkembang baik dalam bentuk pementasan langsung, maupun melalui media lain, baik audio (radio) maupun audio-visual (TV, Video, VCD, DVD, dsb) Wayang kulit purwa, lebih banyak diproduksi secara lisan, artinya secara langsung dipentaskan oleh para dalang. Lakon-lakon yang dipentaskan sebagiannya bersifat reproduksi dari lakon yang pernah ada, yang dikenal sebagai lakon baku. Namun sebagiannya lagi juga selalu muncul lakon-lakon baru yang dikenal sebagai lakon carangan. Bila lakon itu berupa reproduksi dari lakon yang sudah ada, itu pun bukan berarti tanpa pembaharuan. Wayang gaya Yogyakarta terkenal dengan pengembangan melalui sanggit, yakni gaya cerita khusus dari dalang yang bersangkutan dengan cara membuat cerita baru pada bagian-bagian tertentu suatu lakon. Hampir setiap dalang memiliki sanggit-nya sendiri dalam lakon-lakon yang dimainkannya. Dalang wayang kulit purwa, pada umumnya muncul baru melalui regenerasi keturunan, artinya seorang anak dalang yang terbiasa mengikuti pertunjukan yang dilakukan oleh orang tuanya, akhirnya menjadi mampu mendalang sendiri. Namun demikian di Yogyakarta juga tersedia sekolah dalang yakni di Habirandha. Sekolah dalang ini mencetak dalang-dalang baru yang handal, meskipun dalang tersebut sebagiannya bukan keturunan dalang. Di samping itu dalam pembinaannya para dalang tergabung dalam perkumpulan-perkumpulan dalang tertentu, misalnya Ganasidi atau Pepadi. Melalui saresehan-saresehan, para dalang bertukar pengalaman-pengalaman dan saling menyampaikan kritik dan saran. Dalam bentuk kethoprak, di DIY perkumpulan-perkumpulan kethoprak patah tumbuh hilang berganti, artinya meskipun kelompok-kelompok yang lama menghilang namun selalu muncul kelompok baru. Pada umumnya keanggotaan suatu kelompok kethoprak bersifat luwes, artinya setiap pemain kethoprak dapat saja main di sana-sini melalui perkenalan-perkenalan dan persahabatan. Para pemain handal biasanya dipanggil untuk bergabung dengan kelompok tertentu untuk memperkuat pementasan. Dari sinilah secara tidak langsung terjadi transfer of knoledge (tukar pengetahuan) dan transfer of experience (tukar pengalaman). Dalam hubungannya dengan bahasa Jawa, bahasa wayang purwa sangat menekankan konvensinya. Pada bagian-bagian tertentu banyak dipergunakan bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa yang bersifat arkais. Pada bagian-bagian tertentu dipergunakan bahasa bagongan (bahasa khas istana dan para dewata). Pada bagian yang lain dipergunakan idiom-idiom tertentu yang bersifat khusus hanya ada pada wayang purwa. Pada bagian yang lain lagi dipergunakan bahasa Jawa modern, lengkap dengan undha usuk-nya. Pada tokoh-tokoh tertentu (para panakawan) dipergunakan bahasa Jawa khas kosa kata pedesaan. Dengan demikian eksistensi bahasa Jawa pada jenis drama wayang purwa ini harus mendapatkan perhatian khusus baik sebagai pelestarian maupun pengembangannya. Berbeda dengan wayang, bentuk tampilan dan sumber cerita kethoprak bersifat lebih luwes. Dari segi bentuk tampilannya, kethoprak bisa saja diiringi oleh tabuhan lesung (kethoprak lesung), diiringi angklung (krumpyung), diiringi gamelan, dsb. Kostum pemain kethoprak bisa sangat sederhana, yakni dengan pakaian sehari-hari, tapi juga bisa sangat serius yakni dengan pakaian-pakaian tertentu sesuai dengan setting cerita, misalnya cerita dari Cina dengan kostum pakaian khas Cina, setting cerita kerajaan tertentu kostumnya menyesuaikan. Dari sumber ceritanya, kethoprak pada umumnya mengambil cerita dari jenis sastra yang disebut serat babad. Namun demikian hal itu tidak membatasi penampilan kethoprak. Kethoprak banyak mengambil cerita dari babad, misalnya cerita Suminten Edan (dari babad Ponorogo), cerita Arya Penangsang (babad Pajang), cerita Pembayun (babad Mangir), dsb. Kethoprak dapat saja mengambil cerita dari cerita-cerita asing, misalnya cerita Sam Pek Eng Tai (dari Cina), Senapati Sudira (diadaptasi dari Cina), Kapten Lasaro (dari Turki), dsb. Bahkan kethoprak juga bisa mengambil cerita dari novel-novel terbaru sekali pun. Dengan demikian kethoprak sangat terbuka luas bagi pengembangan ke depan. Dalam hubungannya dengan bahasa Jawa, bahasa kethoprak pada umumnya sedikit lebih sederhana dibanding dengan bahasa dalam wayang purwa. Bahasa dalam kethoprak, tergantung pada lakon atau cerita yang dipentaskan. Oleh karena itu, bahasa Jawa dalam kethoprak juga bersifat lebih luwes (bukan bebas), artinya bahasa kethoprak memiliki konvensinya sendiri dalam hubungannya dengan lakon yang dipentaskan. Bila lakon yang dipentaskan berlatar cerita salah satu kraton di Jawa, maka banyak dipergunakan bahasa Jawa dengan ciri undha-usuk-nya. Bila yang dipentaskan cerita dari pedesaan, maka bahasa Jawa ragam krama ndesa lebih ditekankan, dsb. Dalam bentuk seni drama yang lain, dhagelan atau lawak juga sangat digemari masyarakat Jawa. Dhagelan sering kali muncul menjadi bagian dari seni drama lain, baik sebagai selingan maupun sifat drama itu yang secara keseluruhan berisi komedi. Namun demikian, di Jawa dhagelan dapat berdiri sendiri, baik dengan memperhatikan alur sebagai drama maupun mengabaikannya. Dalam dhagelan yang dipentingkan adalah sifat humornya untuk tujuan hiburan. Oleh karena itu bahasa Jawa dalam dhagelan bersifat lebih bebas, idiom-idiom yang ditampilkan ditekankan pada sifat-sifat humornya. Dengan demikian segala konvensi yang ada dalam bahasa formal Jawa banyak ditinggalkan. Seni drama Jawa modern, banyak berkembang melalui media radio (sandiwara radio). Di Yogyakarta, radio RRI Nusantara II selalu menyiarkan sandiwara radio berbahasa Jawa pada setiap malam kamis. Di samping itu, sandiwara radio juga disiarkan oleh beberapa siaran radio swasta, seperti radio Reca Buntung. Sandiwara radio pada umumnya mengetengahkan setting cerita keseharian masyarakat modern saat ini. Dengan demikian bahasa Jawa yang dipergunakan relatif meniru bahasa Jawa yang ada pada realitas keseharian pada masyarakat Jawa saat modern ini. Seni drama yang lain masih banyak lagi, yang semuanya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Bila dicermati lebih jauh, sebagian besar bahasa Jawa yang ada pada seni drama- seni drama Jawa tersebut, mengikuti ragam-ragam bahasa Jawa yang ada pada beberapa drama yang telah disebutkan di atas. Dalam bidang seni yang lain, seni suara misalnya, DIY merupakan gudang kreatifitas yang menonjol. Acara macapatan, yakni menembangkan puisi-puisi tembang macapat, selalu di adakan di berbagai daerah secara berkala. Pada umumnya macapat tidak diiringi dengan musik-musik tabuhan, baik gamelan apa lagi alat musik lainnya. Kelompok-kelompok perkumpulan macapat di DIY cukup banyak. Di Kota Madya Yogyakarta tercatat 25 kelompok, di Kabupaten Gunung Kidul setidaknya ada 2 kelompok yang masih eksis, di Kabupaten Kulon Progo tercatat 10 perkumpulan, dan di Sleman 12 perkumpulan. Masing-masing kelompok itu menyelenggarakan macapatan secara berkala, yang pada umumnya menjadwalkan setiap selapan (35) hari sekali, misalnya setiap malam Jumat Legi, Senin Legi, dsb. Jenis seni suara lainnya, pada umumnya diiringi oleh musik, antara lain uyon-uyon (diiringi musik gamelan), keroncong (diiringi musik keroncong), campur sari (diiringi musik campur sari), lagu-lagu populer (dengan iringan band, organ tunggal atau gitar). Pada jenis-jenis seni suara tersebut, bahasa Jawa merupakan pendamping setia yang mewarnai eksistensi mereka, yakni banyak lagu-lagu yang digubah dalam bahasa Jawa. Secara umum bahasa Jawa yang ada dalam lagu-lagu tersebut berbentuk puisi tembang macapat, tengahan dan tembang gedhe, maupun puisi baru yang sebagiannya melestarikan berbagai konvensi puisi Jawa, antara lain bentuk-bentuk syair, pantun, wangsalan, dsb. Jenis uyon-uyon adalah seni suara yang dilakukan oleh pesinden dengan tembang-tembang Jawa, baik tembang gedhe, tengahan atau macapat. Seni suara ini diiringi oleh musik gamelan baik irama slendro maupun pelog. Secara umum tembang-tembang yang dilantunkan merupakan hasil gubahan dari tembang-tembang yang sudah ada dari karya-karya sastrawan atau pujangga-pujangga Jawa di masa lalu. Uyon-uyon pada saat ini masih sering dilakukan dalam even-even budaya tertentu baik bersifat langsung maupun diperdengarkan dalam bentuk rekaman. Jenis seni suara yang lainnya, antara lain kelompok-kelompok seni campur sari, yakni seni yang menggabungkan musik diatonis dan pentatonis. Kelompok campur sari ini sebagiannya menciptakan lagu-lagunya dengan menggunakan bahasa Jawa. Kelompok campur sari “Maju lancar” di Kabupaten Gunung Kidul, yang dipimpin oleh Mantos merupakan kelompok campur sari yang tercatat sebagai kelompok pemula dari semua campur sari yang ada pada saat ini. Di DIY, kelompok-kelompok campur sari bermunculan di setiap kabupaten dan kota Yogyakarta. Pada saat ini hampir setiap even-even budaya dan wisata diwarnai dengan musik campur sari, baik bersifat pentas langsung, maupun rekaman dengan tape recorder. Seni suara keroncong dan lagu-lagu populer berbahasa Jawa, merupakan jenis lagu-lagu bernada diatonis dalam gubahan yang relatif baru. Jenis bahasanya pada umumnya bahasa Jawa Baru dengan bentuk puisi Jawa baru yang menekankan persajakan (purwakanthi). Di samping itu, bahasa Jawa sebagai bahasa pendamping bidang seni, tampak eksistensinya dalam mengakomodir berbagai idiom kesenian Jawa, mulai dari hal nama-namanya hingga pada simbolisasi pemaknaannya. Hal ini tampak misalnya, dalam seni batik, dikenal nama-nama batik seperti batik Sida Mukti yang secara simbolik bermakna harapan agar yang mengenakannya dapat mencapai (sida berarti menjadi atau mencapai) keberadaan hidup bahagia atau mulia (mukti berarti berbahagia atau mulia). Mengingat berbagai hal di atas, diperlukan langkah-langkah sbb. 1. Instansi terkait menyusun kebijakan-kebijakan yang lebih serius dalam rangka pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa sebagai pendamping di bidang seni. 2. Pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa sebagai pendamping bidang seni antara lain dapat dimulai dengan penyusunan inventarisasi dan dokumentasi seni Jawa beserta kelompok-kelompok yang ada (seni pedalangan, seni kethoprakl, seni dagelan, seni karawitan, seni campursari, seni sastra, dsb.) 3. Program lainnya antara lain pengembangan forum apresiasi dan penghargaan di bidang seni yang bermedia bahasa Jawa. Forum-forum ini dapat dibentuk dalam wadah nonformal atau melalui forum-forum formal meski dalam kegiatan ekstra kulikuler. 4. Secara periodik perlu diselenggarakan pembinaan-pembinaan baik melalui kompetisi, gelar seni, festival, pergelaran, dsb., maupun program pembinaan secara langsung. 5. Diperlukan pengembangan fasilitas pendukung kegiatan-kegiatan seni berbahasa Jawa, misalnya panggung-panggung wayang, kethoprakl, dagelan, dsb. 6. Perlu dikembangkan sistem kemitraan strategis dalam kesenian Jawa, misalnya pengiriman duta-duta seni ke luar daerah. 7. Perlu diprogramkan pengemasan kesenian Jawa dalam hubungannya dengan bidang-bidang lain, seperti pariwisata, kunjungan pemerintahan tertentu, dsb. 8. Paket-paket kesenian Jawa dapat dikolaborasikan dalam rangka pengembangan seni itu sendiri, dan dapat dikoordinasikan dengan program yang lebih luas termasuk paket-paket wisata budaya. 9. Perlu penyebarluasan informasi kesenian Jawa melalui berbagai media serta pengembangannya melalui media massa berbahasa Jawa baik elektronik maupun cetak. D. Pendampingan Bahasa Jawa di Bidang Wisata Dalam bidang wisata, bahasa Jawa berperan menjadi pendamping dalam rangka komunikasi verbal dan simbolik, terutama pada bidang wisata budaya. Adapun dalam bidang wisata alam, bahasa Jawa ikut berperan dalam hubungannya dengan konteks sosial yang ada pada masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Dalam wisata budaya, DIY merupakan daerah tujuan wisata yang terkenal, baik oleh wisatawan manca negara maupun wisatawan domestik. Yogyakarta, tepatnya di Kota Gedhe, merupakan daerah yang dalam sejarahnya pernah menjadi pusat kerajaan Mataram Islam sebelum terpecah dengan Kasunanan Surakarta. Bahkan hingga saat ini masih berdiri megah suatu istana Kasultanan Yogyakarta yang berdampingan dengan istana Kadipaten Pakualam. Kedua istana ini merupakan pusat-pusat kebudayaan Jawa yang masih sangat besar pengaruhnya pada kehidupan berbudaya masyarakat DIY. Oleh karena itu langkah-langkah yang harus diambil adalah sbb. 1. Wisata di Yogyakarta, sebagian besar pengembangannya mesti ditekankan pada wisata budaya. 2. Wisata budaya dapat diarahkan pada wisata kunjungan pada tempat-tempat menyimpan benda-benda cagar budaya (BCB) atau ke kawasan cagar budaya (KCB). 3. Pengembangan wisata juga dapat diarahkan ke wisata berbasis adat dan tradisi. 4. Pengembangan dan pelestarian pariwisata dimulai dari inventarisasi dan dokumentasi aset-asdet wisata budaya DIY. 5. Diprogramkan pengembangan segala sumber daya yang ada termasuk pengembangan sarana dan prasarananya. 6. Koordinasi instansi-instansi terkait harus lebih diintensifkan dalam rangka pengembangan bersama. 7. Digalakkan pembinaan-pembinaan budaya dalam rangka pariwisata. 8. Pembinaan bahasa Jawa dapat diarahkan sebagai sarana pemandu wisata yang lebih memadahi khususnya dalam rangka wisata budaya. E. Pengembangan Bahasa Jawa di Media Massa Media massa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menyampaikan berbagai visi dan misi. Di tangan media massa berbagai informasi dapat diolah dan disesuaikan dengan visi dan misi yang hendak dicapai. Oleh karena itu media massa dapat menjadi sarana yang harus dipertimbangkan keberadaannya sebagai wadah pengembangan berbagai bidang, dalam hal ini bidang budaya Jawa. Media massa yang ada pada saat ini meliputi, media massa cetak, audio, audio-visual, dan yang terkini adalah internet. Media cetak dapat berupa koran atau majalah; yang bersifat auditif antara lain radio, tape-recorder; adapun yang berbentuk audio-visual antara lain TV, Video, VCD, dan DVD. Pada saat ini media yang paling efektif dan terdepan adalah internet. Bahasa Jawa dan budaya Jawa pada umumnya, sebagian telah memanfaatkan media-media yang ada. Pada saat ini, di Yogyakarta baru terdapat penerbitan majalah mingguan berbahasa Jawa yakni Djaka Lodang dan Sempulur. Dalam media elektronik, RRI Nusantara II Yogyakarta, sebagian alokasi jadwal siarannya juga telah diarahkan pada budaya Jawa pada umumnya dan bahasa Jawa khususnya. Namun demikian perlu ditinjau ulang berbagai penekanan programnya. Demikian juga program-program siaran radio swasta, yang ada pada setiap kabupaten dan kota. TVRI Yogyakarta dan beberapa TV swasta, yakni RBTV, dan JogjaTV, juga perlu mendapatkan perhatian kerjasamanya demi kemajuan bersama. Pengembangan budaya Jawa melalui media massa dapat dilakukan sbb. 1. Pemerintah harus mengalokasikan program-program melalui berbagai media massa, dengan mengefektifkan program-program media-media yang telah ada serta mengembangkan berbagai program yang lain. 2. Evaluasi program-program media massa dapat dilakukan oleh instansi-instansi terkait, untuk mewacanakan program-program ke depan dengan tanpa memaksakan program-program yang digariskan oleh masing-masing media. 3. Selaras dengan kemajuan yang dicapai, pengembangan ke arah terbentuknya media massa baru dapat diprogramkan, termasuk program pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa dalam website. 4. Koordinasi dengan pihak-pihak terkait perlu diefektifkan dan diprogramkan pengembangannya lebih lanjut secara menyeluruh, agar masyarakat merasa memerlukan media-media berbahasa Jawa, penerbit merasa selayaknya menerbitkan dalam oplah yang lebih banyak, media-media yang lain merasa lebih diuntungkan dengan program-program budaya dan bahasa Jawanya. F. Penghargaan Bahasa Jawa Dalam rangka pengembangan bahasa Jawa, di atas telah disinggung antara lain perlu dibentuknya wadah-wadah instritusional dalam rangka pembedayaannya. Di samping itu, berbagai program dapat diancangkan, antara lain sbb. a. Perlu dilakukan pembinaan-pembinaan secara periodek dan berkelanjutan pada kelompok-kelompok tertentu. b. Perlu diadakan berbagai even, festival, dan lomba-lomba pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa, dsb. c. Sejalan dengan program tersebut, kiranya perlu disusun rencana program pemberdayaan dengan memberikan stimulan, jasa pembinaan, atau penghargaan-penghargaan lainnya kepada para partisipan-partisipan yang menonjol, para juara, pelaku-pelaku yang setia dan maju, hingga para pemangku kebijakan yang berjasa secara proporsional. G. Pembentukan Badan Pekerja Bahasa Jawa Mendasarkan pada rekomendasi dari KBJ IV, yang antara lain perlu dibentuknya Dewan Bahasa Jawa di tiga provinsi, yakni Jawa Timur, DIY, dan Jawa Tengah, dan mengingat akan urgensinya yang mengarah pada pemberdayaan bahasa Jawa, maka program yang harus direalisasikan adalah sbb. a. Pemerintah Daerah DIY melalui instansi yang berwenang menanganinya, perlu segera melaksanakan amanat tersebut, yakni membentuk Dewan Bahasa Jawa DIY. b. Dengan terbentuknya Dewan Bahasa Jawa DIY ini, Dewan Bahasa Jawa DIY secepatnya menyusun dan merealisasikan program-program yang menjadi wewenang dan kewajibannya. c. Dewan Bahasa Jawa DIY, melaksanakan program-programnya melalui koordinasi intensif dengan instansi-instansi terkait di DIY d. Secara periodik efektifitas program-program yang telah diancangkan dan direalisasikan, dievaluasi dan direvisi untuk pengembangan program lebih lanjut. H. Pembentukan Badan Kerjasama Bahasa Jawa antar Propinsi Disamping pembentukan Dewan Bahasa Jawa yang kompetensinya lebih bersifat ke dalam, yakni pada propinsi masing-masing, Pemerintah Daerah DIY perlu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, untuk segera membentuk Badan Kerjasama Bahasa Jawa antar Propinsi. Hal ini dimaksudkan untuk menampung segala program dan aspirasi pemberdayaan bahasa Jawa yang sifatnya mesti dilaksanakan antar propinsi. Badan Kerjasama Bahasa Jawa inilah yang nantinya dapat lebih leluasa mulai dalam merencanakan, melaksaanakan, dan mensosialisasikan berbagai hasil dan rencana program lebih lanjut pada antar propinsi.

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Layanan Pengadaan Secara Elektronik 2012

by admin || 30 Juli 2013

.



...
PENINGKATAN KUALITAS KOTA PUSAKA (YOGYAKARTA)

by admin || 19 September 2013

.





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta