by admin|| 10 Maret 2014 || 63.523 kali
A. Pengembangan Bahasa Jawa, Budaya dan Globalisasi Seiring perkembangan zaman, globalisasi akan terus berkembang di bumi Nusantara Indonesia. Bagi bangsa Indonesia orang Jawa atau orang-orang dari daerah lain di Nusantara ini siap atau belum siap, harus cepat tanggap dalam mempersiapkan persaingan dengan dunia, dalam hal ini adalah bangsa-bangsa lain yang hidup berdampingan dengan bangsa kita yang semakin hari tanpa disadari semakin mendominasi menciptakan perubahan-perubahan budaya. Banyak yang akan masuk budaya-budaya asing secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini yang patut diwaspadai bagi bangsa Indonesia khusunya orang Jawa, ketika budaya-budaya asing masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang popular, yakni kebijakan-kebijakan yang tidak merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia itu sendiri khususnya bagi orang Jawa. Indonesia adalah negara yang besar, mempunyai banyak ribuan pulau, memiliki keanekaragaman budaya daerah, mempunyai karya-karya budaya daerah, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya. Hal ini semestinya tidak hanya dijadikan sebagai slogan dan pengetahuan saja, sehingga lalai tanpa disadari sedikit demi sedikit budaya yang kita milki akan terkikis bahkan hilang. Salah satu contoh kekayaan dan budaya kita contohnya; pulau Ligitan dan Simpadan sekarang milik Malaysia, berikutnya lagu daerah yang musiknya mirip seperti “Rasa Sayange”dari daerah Maluku juga diakui kepemilikannya oleh Malaysia, apakah mungkin karya budaya bangsa dari daerah seperti batik Jawa, keris, tarian Jawa, makanan daerah, gamelan/ instrument musik Jawa dan lainnya juga akan hilang dan diakui keberadaannya oleh bangsa lain? Besok apalagi yang akan diklaim di negeri ini? Hal ini bisa saja terjadi bagi orang Jawa yang memiliki budaya ini, atau daerah lain di Indonesia yang memiliki budaya-budaya tertentu yang banyak sekali ragamnya. Kita bersyukur Instrumen gamela Jawa, keris telah diakui UNESCO sebagai salah satu kekayaan milik budaya Jawa. Kekayaan dan keanekaragaman budaya daerah masih banyak di daerah-daerah. Hal ini mestinya dikembangkan, dijaga dan dirawat jangan sampai mudah diakui dan dimiliki bangsa lain atau bahkan kalau perlu bagi daerah perlu membuat kebijakan tegas misalnya mengusulkan/membuat hak kepemilikan mutlak melalui pemerintah. Ligitan dan Simpadan telah lepas, upaya-upaya asing sudah mulai terlihat mendominasi dalam upaya mempengaruhi budaya bangsa orang Jawa. Ini semestinya menjadi cambuk dan introspeksi bagi bangsa Indonesia khususnya budaya Jawa yang dalam hal ini perlu perhatian lebih serius lagi untuk menyikapi dan menentukan/menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat agar jangan sampai kekayaan dan keanekaragaman budaya bangsa yang kita mililiki mudah diakui oleh bangsa lain, selanjutnya kita bangsa Indonesia yang memilikinya perlu menjaga kekayaan keragaman budaya bangsa ini agar tetap lestari, terawat dan terjaga melalui penetapan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Untuk menyikapi hal tersebut kalau perlu bangsa Indonesia melalui pemerintah daerah sampai dengan pemerintah pusat dalam membuat, menetukan dan melaksanakan kebijakan harus sinkronis dan sinergis sehingga tepat dan bermanfaat dan dapat digunakan bagi kepentingan bangsa. Telah kita syukuri sekarang sistem pemerintahan di negeri ini sudah tidak sentralisasi lagi. Pemerintah di daerah-daerah diseluruh Indonesia diberi kesempatan mengembangkan potensi daerahnya sendiri. Selanjutnya termasuk yang ada di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah diberi kesempatan untuk melaksanakan undang-undang Otonomi Daerah. Melalui desentralisasi pemerintah/otonomi daerah, pemerintah daerah diperbolehkan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing dengan penerapan undang-undang otonomi daerah. Bentuk-bentuk pengembangan potensi Daerah Istimewa Yogyakarta sangat banyak dan perlu dieksplorasi. Masih banyak potensi yang dimiliki pemerintah DIY untuk dikembangkan dan dilestarikan salah satunya adalah program pengembangan dan pelestarian budaya di daerah-daerah sekitar DIY yakni kebudayaan Jawa. Bentuk-bentuk pengembangan ini dapat dihubungankan dengan pengembangan bidang lain dengan memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan infrastruktur yang ada di DIY. Banyak potensi-potensi yang belum tergali di wilayah DIY untuk dijadikan aset daerah salah satu contohnya adalah aset Wisata Budaya lokal Jawa wujud kesenian tradisional, aset karya-karya sastra Jawa dalam buku yang tersimpan dalam museum juga belum tereksplorasi secara maksimal. Hal inilah yang penting untuk diperhatikan bagi pemerintah DIY untuk membuat, mengatur, menetapkan kebijakan pemerintah yang strategis tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat DIY. Kebijakan tersebut kemudian untuk dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh pemerintah serta diimbangi oleh masyarakatnya yang ada diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga terjadi sinkronisasi kepentingan yang berguna bagi masyarakat DIY B. Pelestarian Nilai-nilai Bahasa Jawa dan Kebijakannya Semakin tidak karuannya para pemuda yang tidak mengenal nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur (orang Jawa), menjadikan suatu hal yang sangat memprihatinkan, karena penerapan perilaku kaitannya dengan pelajaran sopan-santun, etika, norma bagi para pemuda sudah luntur, dalam hal ini adalah penerapan perilaku yang berkaitan dengan budaya Jawa. Hal ini memunculkan peratanyaan bagi kami penulis, apakah sebenarnya yang salah? Apakah orang tua salah mendidik? Apakah anaknya yang tidak tahu? Apakah sekolah/ gurunya juga salah mendidik? Atau bahkan kurikulum sekolah, atau mungkin kebijakan pemerintahnya tidak/kurang tepat sasaran? Banyak masyarakat Jawa sendiri ikut terpengaruh kegiatan-kegiatan sehari-hari dilingkungan sekolah maupun keluarga sudah salahkaprah dalam menyikapi perkembangan pendidikan. Masyarakat lebih cenderung mengikuti suatu yang dianggapnya trend dan memiliki prospek baik dengan mengesampingkan bahasa ibunya sendiri yakni bahasa Jawa yang dianggapnya sudah tidak trend lagi. Persepsi seperti ini muncul maka tidaklah aneh sehingga timbul keinginan masyarakat memilih pendidikan yang muncul baik formal maupun nonformal yang menawarkan ragam pilihan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Mandarin China dan keterampilan lain yang menjamur di lingkungan dekat kita, itupun dalam penyelenggarannya dengan pengantar Bahasa Indonesia. Sebenarnya boleh-boleh saja apabila sebagian masyarakat memilih program tawaran pendidikan yang memfasilitasi program bahasa tersebut karena masing-masing keluarga dalam masyarakat mempunyai visi serta misi yang berbeda dalam mengarahkan pendidikan para anaknya. Hal ini sesuai dengan keterangan yang pernah ditulis perumus sebelumnya di Diktat (Dinas Kebudayaan Propinsi DIY, 2007:13) tertuliskan sebagai berikut: “Bila anak sudah masuk sekolah kelas I, tentu sudah ada mata pelajaran Bahasa Jawa. Biasanya anak merasa kesulitan bila belum biasa diperkenalkan dengan bahasa Jawa! Maklum setiap rumah berbeda pula visi dan misinya terhadap masa depan anak-anaknya”. Menurut keterangan tersebut di atas kalau kita cermati ternyata kurikulum sekolah bahasa Jawa sudah ada, adanya kurikulum berarti ada kebijakan pemerintah. Berarti Pemerintah DIY sudah membuat kurikulum baku bahasa Jawa dan program kegiatan-kegiatannya. Kebijakan ini seyogyanya sejalan dan diterapkan secara sinkron, harmoni, dan sinergis antara pemeritah daerah yang paling bawah tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten sampai dengan pemerintah pusat, bahkan instansi terkait semuanya harus saling mendukung termasuk masyarakat kecilnya yakni keluarga. Akan tetapi dikarenakan kurikulum dan kebijakan pemerintah tersebut ternyata tidak diimbangi dari pendidikan keluarga entah dikarenakan kebijakan pemerintahnya dari desa, kecamatan sampai atas yang tidak melaksanakan secara baik ataupun kurang maksimal. Hal ini akan menjadikan ketidak sinkronan, ketidak seragaman pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah, padahal dari pemerintah tentu memberikan instruksi yang sama bagi para warganya untuk melaksanakan kebijakan tersebut, kasus para orang tua anak yang ternyata tidak memberikan pengetahuan awal pembiasaan pengenalan bahasa Jawa di DIY seyogyanya sudah tidak terjadi lagi, apalagi DIY adalah pusat ragam kebudayaan budaya Jawa. Secara tidak disadari Pendidikan Bahasa Jawa sendiri semakin terdesak, tergeser bahkan dapat tersingkir dari posisi penggunaannya apabila tidak diperhatikan secara serius oleh masyarakat DIY yang menginginkan dan mempertahankan DIY sebagai pusat budaya Jawa. Upaya pelestarian memanglah perlu mengingat saat ini ada gejala yang menunjukan bahwa bahasa Jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya, terutama kaum muda (Kompas, 2005 dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya tahun 2007). Semua itu sebenarnya dapat diatasi secara bersama-sama saling mendukung antara semua pihak terkait baik masyarakatnya yang kecil dari lingungan keluarga, lingkungan masyarakat umum, sekolah, dinas terkait dengan melaksanakan kebijakan pemerintah yang tepat. Pemerintah Daerah segera merumuskan kebijakan yang menyangkut nilai-nilai pelestarian bahasa Jawa melalui sebagai berikut; 1. Kebijakan menyangkut Pendidikan Formal, 2. Kebijakan menyangkut Pendidikan Informal dan Nonformal, 3. Kebijakan menyangkut Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Jawa. 4.Kebijakan menyangkut Kearifan Lokal. Kebijakan tersebut akan dijadikan sebagai pedoman pelestarian dan pengembangan Kebudayaan Jawa yang ada di DIY. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat diadobsi dan diakomodir dari tim perumus Dinas Kebudayaan propinsi DIY sebelumnya melalui proram pelestarian dan pemberdayaan bahasa dan Sastra Jawa dalam hasil keputusan Konggres bahasa Jawa IV yang diselenggarakan di Jawa Tengah tahun 2006 lalu yang meliputi; a. Kebijakan menyangkut Pendidikan formal adalah 1) Bahasa Jawa menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib dan diselenggarakan serta diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimulai tahun 2007 harus diperkuat baik untuk jam penyelenggaraanya, sarana dan prasarana, materi, buku ajar, metode pembelajarannya. Selanjutnya diselenggarakan pula sinkronisasi kurikulum pelajaran bahasa Jawa SD, SMP,dan SLTA. Pemerintah daerah, seperti (dinas pendidikan, kebudayaan, badan kepegawaian daerah) agar menggalakkan diklat atau pelatihan guru-guru SD, SMP atau SLTA tiap tahun bahkan menggalakkan pula kebiasaan penerapan penggunakan bahasa Jawa krama pada lingkungan instansi yang ada minimal dua atau tiga kali dalam seminggu pada jadwal kerja di dinas-dinas terkait.2) Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyusun rencana untuk penyediaan formasi dan mengangkat guru bahasa Jawa dari lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan Sastra Jawa di SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA secara bertahap mulai tahun anggaran 2008 sampai dengan 2011 sampai kebutuhan tenaga pengajar tersebut tercukupi. 3) Dinas Pendidikan DIY bekerjasama dengan tim independent menjadi fasilitator untuk membentuk tim penyeleksi kualitas buku ajar bahasa Jawa yang digunakan untuk pembelajaran di tiga jenjang mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA 4) Perlu pengadaan buku ajar bahasa Jawa yang lolos seleksi oleh tim penilai yang independent (tim penjamin dan pengendali mutu). b. Kebijakan menyangkut Pendidikan Informal dan Nonformal, yakni 1) Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui istitusi yang terkait memperhatikan, memotivasi, menumbuhkembangkan, mengajak kerjasama atau memfasilitasi pengembangan wadah pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa seperti Lesson Study, sanggar sastra, kursus keJawaan, serta paguyuban sastra yang diprogramkan dalam setiap tahunnya.2) Pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa melalui kegiatan lomba, sarasehan, pelatihan dan kursus oleh pemerintah daerah melalui institusi terkait dan lembaga keJawaan yang bersifat swasta dari tahun ketahun perlu ditingkatkan kualitas dan kuantiasnya, 3) Pemerintah daerah memberi dukungan nyata terhadap aktivitas lembaga keagamaan, lembaga kemasyarakatan dan lembaga kebudayaan yangmelakukan kegiatan untuk pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. c. Kebijakan menyangkut kearifan lokal;1) Pemerintah daerah, terutama dinas kebudayaan bersama-sama masyarakat perlu menyosialisasikan lebih luas terutama tentang kemanfaatan kearifan lokal sebagai asset budaya dengan semangat kebhinekatunggalikaan, 2) Pengajaran budi pekerti ditekankan pada seiap bagian pembelajaran. d. Kebijakan menyangkut Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Jawa meliputi; 1) Tahun 2007 Dinas Kebudayaan Propinsi DIY perlu membicarakan dengan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur tentang perlunya rencana strategis pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. Selanjutnya tahun 2008 program sudah mulaidilaksanakan, 2) dewan Bahasa Jawa perlu segera dibentuk paling lambat tahun 2008, 3) Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan, Dewan Bahasa, perguruan tinggi, lembaga, sanggar dan paguyuban bekerjasama melaksanakan program pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. 4) Pemerintah Daerah palng lambat tahun 2008 sudah mempunyai laman(website) tentang bahasa, sastra dan budaya Jawa, 5) Pemerintah Daerah setiap tahun memberikan penghargaan kepada penggiat bahasa, sastra dan budaya Jawa, 6) Peraturan darah tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa perlu segera diperjuangkan untuk dapat disusun undang-undangnya yang digunakan untuk memayungi kegiatan pemberdayaan bahasa, sastra dan budaya Jawa di tahun 2008, 7) Pemberdayaan Bahasa dan satra, budaya Jawa juga dilakukan dengan jejaring internasional, seperti Negara Suriname, Belanda,(Leiden), Inggris dan lainnya. (Tim perumus Dinas kebudayaan Propinsi DIY Agustus 2007). Jadi kebijakan pelestarian nilai nilai Bahasa Jawa dapat dikembangkan sebagai berikut; 1. Kebijakan menyangkut Pendidikan Formal, 2.Kebijakan menyangkut Pendidikan Informal dan Nonformal, 3.Kebijakan menyangkut Kearifan Lokal, 4 Kebijakan menyangkut Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Jawa. 5.Kebijakan menyangkut transliterasi naskah Jawa kuna, yakni upaya penerjemahan dan penyalinan naskah-naskah Jawa kuna yang belum dieksplorasi dan perlu diambil manfaatnya baik naskah-naskah yang dipunyai sebagai milik pribadi dari warga masyarakat maupun naskah-naskah yang tersimpan oleh lembaga/instansi-instansi tertentu salah satu contohnya naskah-naskah di museum Sonobudaya, museum Balai Pengkajian Sejarah DIY, dan museum lainnya. 6.Kebijakan penyebarluasan dan penerbitan nilai kajian naskah kuna. 7.Kebijakan pembahasan nilai sastra kuna. Selanjutnya ini masih banyak yang perlu di eksplorasi dan diambil manfaat untuk kepentingan masyarakat DIY sendiri. Penyebarluasan naskah-naskah yang sudah dieksplorasi baik melalui transkripsi maupun translietrasi dan terjemahannya, hasilnya dapat digunakan oleh semua kalangan yang memerlukan terutama sekolah-sekolah ataupun instansi terkait termasuk dinas budaya, praktisi budaya, sastrawan, seniman dan lainnya, selanjutnya perlu didokumentasi untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan berikutnya yang menyangkut masalah bahasa, sastra dan budaya Jawa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta kalau perlu menambah/ memaksimalkan peranan redaksionis aktif majalah berbahasa Jawa seperti Djoko Lodhang atau Penyebar Semangat, Sempulur sebagai media informasi. Kemudian memaksimalkan peranan media-media bantu lainnya baik media elektronik maupun media cetak atau melalui pembuatan situs internet dengan membuat pusat website tertentu sebagai penunjang kebermanfaatan bahasa dan sastra Jawa bagi masyarakat umum DIY dan masyarakat di luar DIY lainnya, sehingga dapat mempermudah ketika ingin mengakses informasi tersebut untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan ilmu bahasa, sastra dan budaya Jawa tersebut. Selanjutnya kebijakan yang menyangkut pembahasan nilai sastra kuna dapat dilakukan melalui berbagai bedah naskah sastra kuna Jawa dengan melibatkan ahli dibidang bahasa dan sastra Jawa baik dari kalangan akademis maupun kalangan nonakademis secara profesional melalui sarasehan, seminar, temu sastrawan atau budayawan Jawa atau lainnya sehingga keberadaan pengembangan dan pelestarian ilmu bahasa dan sastra Jawa dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, sah dengan mengakomodir keterlibatan semua elemen baik praktisi pendidikan, sastrawan atau budayawan Jawa dan pemerhati bahasa, sastra budaya Jawa lainnya sehingga dapat diakui keilmuannya. C. Penulisan Pedoman Aksara Jawa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah warisan mataram Islam yang terkenal mempunyai berbagai macam jenis kebudayaan, masyarakatnya masih kental melaksanakan budaya tradisi, adat Jawa dan lain-lainnya. Banyak masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari dan banyak pula dalam melakukan aktivitas tertentu selalu dikaitkan dengan budaya Jawa sehingga lebih dikenal oleh orang dengan khas sebutan/istilah “njawani.” Sebagai contoh dalam tiap sudut jalan kota terpampang tulisan aksara Jawa untuk memberikan nama jalan, tokoh sejarahwan terkenal dan lainnya sebagai bukti DIY adalah daerah yang unik. Banyak orang asing kadang bertanya mengapa di Yogya disetiap sudut atau jalan-jalan ada tulisan-tulisan unik berhuruf Jawa, apa maksudnya, mengapa pada pintu gerbang masuk ada lambang tertentu ditulis aksara unik yakni aksara Jawa? Hal inilah yang menarik bagi daerah lain bahkan sampai negara manca tertarik dengan kekhasan budaya yang ada di wilayah pemerintah DIY. Untuk itu demi menjaga dan melestarikan budaya yang ada di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah perlu membuat aturan-aturan dan kebijakan yang menarik berguna bagi masyarakat DIY. Perlunya penulisan Pedoman Aksara Jawa ini akan membantu mempermudah bagi semua kalangan masyarakat mempelajari baik masyarakat awam dari luar daerah/orang asing yang belum pernah sekalipun belajar membaca ataupun menulis aksara Jawa. Orang awam/orang asing akan terbantukan dengan adanya kebijakan penulisan pedoman aksara Jawa. Kebijakan tersebut harus segera dibuat dalam wujud buku dengan keterangan rinci termasuk penerapannya dengan informasi mutakhir termasuk teori, metode, jenis dan cara pengenalan huruf-huruf aksara Jawa serta penggunaanya. Kebijakan ini selanjutnya harus dipublikasikan/disebarluaskan ke instansi-instansi terkait tertentu seperti dinas pendidikan kota, daerah atau dinas propinsi, sekolah-sekolah perpustakaan-perpustakaan baik pusat/ daerah kemudian instansi sekolah dari tingkatan SD/MTs/MI, SMP/SLTP, SMA/SMK/MA dan perguruan tinggi agar pemanfaatan terkesan efektif dapat dimanfaatkan tepat guna. Untuk mengemas dalam pembelajaran sastra Jawa agar terlihat menarik dan tidak membosankan, bagi para guru/pendidik dapat juga dipermudah dengan memanfaatkan sarana teknologi yang telah ada misalnya dengan penggunaan VCD atau vidio/microfilm berisi berbagai program bahasa dan sastra budaya Jawa wujud wayang, program komputer atau pemanfaatan internet. (Sutrisno Wibowo dalam Buku Kumpulan Makalah Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Kerangka Budaya: 2007:8) untuk membaca dan menulis aksara Jawa, masyarakat umum sudah terbantukan dengan adanya kebijakan program komputer hanacaraka oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Kebijakan ini ternyata efektif membantu pembelajaran membaca dan menulis aksara Jawa. Selanjutnya beberapa website berbahasa daerah juga dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, situs-situs yang sudah ada dan dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa sebagai berikut: 1. 2 3 4. www.seasite.niu.edu/indonesian/Jawa/unit1Jawa.htm 5. 6. 7. 8. D. Decoding Aksara Jawa Mengingat seperti yang telah kami tuliskan pada keterangan di atas bahwa globalisasi tak dapat dielakkan lagi, berarti setiap negara atau bangsa harus siap menghadapi persaingan ketat pola perdagangan bebas. Melalui persaingan global pola perdagangan bebas segala bidang akan membawa dampak atau pengaruh yang menyebabkan munculnya pola perubahan-perubahan budaya. Hal ini akan mempengaruhi perubahan budaya dari bangsa satu dengan bangsa lainnya. Telah nampak bangsa-bangsa lain yang hidup berdampingan dengan bangsa kita yakni Indonesia semakin hari tanpa disadari semakin mendominasi menciptakan perubahan-perubahan budaya. Banyak budaya-budaya asing yang masuk ke negara kita secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga tanpa disadari masyarakat kita sudah terpengaruh dalam aktivitas berbudayanya. Hal ini harus diwaspadai bagi bangsa Indonesia khusunya orang Jawa, ketika budaya-budaya asing masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang popular dan tepat, yakni kebijakan-kebijakan yang tidak merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia itu sendiri khususnya bagi orang Jawa. Bukankah Indonesia adalah Negara yang besar? Mempunyai banyak ribuan pulau, memiliki keanekaragaman budaya daerah, mempunyai karya-karya budaya daerah, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang ramah, memiliki potensi wisata daerah yang elok dsb. Hal ini semestinya tidak hanya dijadikan sebagai slogan dan pengetahuan saja, sehingga lalai tanpa disadari sedikit demi sedikit budaya yang kita milki terkikis bahkan hilang termasuk kekayaan budaya bangsa/orang Jawa seperti kekayaan huruf aksara Jawa, batik Jawa, kebudayaan seni wayang kulit Jawa, wayang orang Jawa, kethoprak, makanan daerah, busana daerah Jawa, keris Jawa, tarian klasik Jawa seperti; bedhaya, srimpi, golek ayun-ayun, golek kenya tinembe, golek surudhayung, golek bawaraga, tari klana alus, lawung, langendriyan, menak dan sebagainya masih banyak lagi kekayaan jenis seperti di atas yang belum penulis sebutkan. Ini seyogyanya diberikan/diusulkan hak kepemilikan mutlak/ paten/pembakuan kepemilikan mutlak milik khasanah budaya orang Jawa. Berkaitan dengan tersebut di atas pemerintah daerah sampai dengan pusat baik yang menyangkut budaya Jawa dari DIY, JATENG dan JATIM harus segera membuat/menindaklunjuti upaya pembuatan hak kepemilikan mutlak kekayaan cipta karya bangsa tersebut, agar dikemudian hari tidak mudah untuk diakui kepemilikannya oleh bangsa lain. Karena ini merupakan kekayaan/aset budaya bangsa, tentunya kita tidak mau kehilangan salah satu aset budaya tersebut. Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah pusat segera merealisasikan pembakuan hak kepemilikan dengan organisasi dunia UNESCO. Apalagi kekayaan huruf aksara Jawa ini sangat unik dimiliki oleh orang Jawa, huruf ini berbeda dengan huruf lainnya disamping memiliki legenda, juga punya sejarah asal-usul aksara Jawa. Menurut legenda/ cerita orang Jawa huruf aksara Jawa bermula dari cerita raja Ajisaka yang yang membuat lambang nama atas penghormatan kepada abdi setianya yang bernama”Dora” dan Sembada.”Keduanya adalah abdi yang setia dan sakti mengabdi pada Ajisaka, keduanya terbunuh karena mempertahankan perintah rajanya Ajisaka. Untuk mengingatnya maka Ajisaka membuat simbol huruf HANACARAKA, sebagai pengingat artinya ada utusan, DATASAWALA dimaknai adanya perselisihan (waktu mempertahankan perintah raja) sehingga terjadilah perkelahian hebat, kemudian PADHAJAYANYA, dimaknai sama-sama saktinya (Jawa:padha ampuhe) waktu terjadinya perkelahian yang sama-sama mempertahankan harga diri demi raja, kemudian MAGABATHANGA dimaknai sebagai simbol keduanya sampyuh (mati bersama). Kalau diperhatikan kejadian huruf tersebut dieja menjadi berasal dari huruf HA,NA,CA,RA,KA kemudian DA,TA,SA,WA,LA, lalu PA,DHA,JA,YA,NYA, MA,GA,BA,THA,NGA. ini semua adalah susunan silabis/silabik berbentuk persukukataan, bentuknya mirif dengan susunan silabik huruf Dewanagari (Sansekerta India). Jadi huruf aksara Jawa ini merupakan huruf tua dan merupakan perkembangan dari huruf Dewanagari. Oleh karenanya ini merupakan huruf yang unik masih eksis digunakan oleh orang Jawa, maka keberadaanya perlu dilestarikan dan dikembangkan jangan sampai punah, kemudian segera didaftarkan pembakuan hak mutlaknya bagi kekayaan budaya Jawa ke organisasi dunia UNESCO.
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...
by admin || 17 September 2013
.