by museum|| 28 Maret 2022 || || 102.445 kali
Cut Meutia, juga disebut Cut Nyak Meutia adalah puteri Teuku Ben Wawud, ulebalang Perak, Aceh. Ia lahir pada tahun 1870 yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh Meletus. Ia terkenal sebagai anak yang cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai. Waktu menjelang dewasa ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Sareh, seorang dari 3 anak angkat Cut Nyak Aisah. Pertunagan ini ditetapkan oleh orang tua kedua belah pihak tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Meskipun kemudian mereka itu dikawinkan, namun Cut Meutia tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Oleh karenanya mereka bercerai. Kemudian Cut Meutia menikah dengan adik Syam Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. Suami isteri ini dalam hidupnya Bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh yang disebut rakyat muslimin untuk menentang penjajahan Belanda.
Teuku Cut Muhhamad, suami Cut Meutia, kecuali tidak terikat oleh perjanjian pendek dengan Belanda yang ditandatangani oleh kakaknya. Ia merasa lebih tertarik pada perjuangan rakyat muslimin menentang Belanda. Ia mengumpulkan sebanyak 12 orang teman-temannya yang gagah berani, tampan dan tangkas yang dibawanya menghadap sultan Aceh. Sejak akhir tahun 1901 Cut Muhammad dan 12 orang teman-temannya Kembali berjuang dengan gigih. Mereka melakukan sabotase dimana-mana, di malam hari membongkar rel kereta api yang di buat Belanda untuk mengangkut pasukannya.
Sultan mengangkat Cut Muhhamad menjadi ulebalang Keureutoe. Maksudnya untuk Keureutoe seluruhnya, meskipun yang bagian utara dengan ulebalangnya Cik Bintara telah tunduk kepada Belanda. Dikalangan rakyat Cut Muhhamad lebih dikenal sebagai Cik Tunong, artinya Cik (ulebalang) bagian selatan. Dan Cik Bintara dipanggil Cik Baroh (utara). Semangat Cik Tunong tidak pernah padam. Dalam than 1901 hingga 1903 ia memimpin pertempuran di Aceh Utara bagian timur. Kegigihan dan kegiatan perjuangan Cik Tunong dengan pasukannya menyebabkan pasukan sultan tidak harus banyak berjuang di daerah Pasei.
Sementara itu perjuangan muslimin tampak mulai kendor di berbagai sektor. Kemunduran perjuangan muslimin terasa sekali setelah terbetik berita, bahwa diantara para ulama telah ada yang diam-diam turun Kembali ke desa dan mendirikan pesantren. Cik Tunong diangat oleh sultan sementara sultan sudah menyerah. Oleh karenanya ia pun bersepakat dengan istrinya, Cut Meutia, yang selalu mendampinginya dalam perjalanan bersenjata, dan pasukannya terutama kawan-kawan yang 12 orang , untuk turun dari hutan dan Kembali kedesanya.
Cik Tunong lalu Kembali ke Jrat Mayang, tempat kediaman Cut Nyak Aisah, ibu angkatnya. Cut Meutia dalam keadaan hamil tua dan sakit parah, bahkan lumpuh. Sakit Cut Meutia disebabkan kekurangan makan sehingga badannya lemah, kurang perawatan dan kurang pengobatan. Dalam keadaan demikian ia melahirkan anak kembarnya yang terus meninggal dunia setalah lahir. Ia tidak bertemu dengan suaminya sejak Cik Tunong ditangkap dan kemudian ditembak mati oleh Belanda. Mulailah babak baru perjuangan Cut Meutia yang penuh penderitaan. Dan berkobar kembalilah perjuangan muslimin melawan Belanda, meskipun tidak sebesar dan sehebat yang lampau. Barisan muslimin makin besar, terdiri dari pasukan Pang Nanggroe, barisan Teungku dibarat, barisan Pang Amin dan pasukan Muda Kari.
Pada suatu hari pasukan muslimin sedang beristirahat dipondok dan berkumpul pria dan Wanita, tiba-tiba musuh menyerang. Kaum Wanita dipimpin oleh Cut Meutia mundur ke pedalaman, sedang Teuku Raja Sabi, putranya, mengikuti Pang Nanggroe yang tidak ikut mundur. Ia terus bertahan dengan maksud melindungi kaum Wanita jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh. Pasukan Marsose makin dekat, namun Pang Nanggroe tidak beranjak dari tempatnya berjuang. Akhirnya pada tanggal 26 September 1910 dari jarak yang amat dekat Pang Nanggroe ditembak musuh tepat pada dadanya.
Sepeninggalan Pang Nanggroe pimpinan pasukan diserahkan kepada Cut Meutia oleh anak buahnya dan Cut Meutia tidak menolaknya. Setalah bermufakat, mereka lalu berankat ke Gayo untuk menggabungkan diri dengan pasukan lain-lainnya. Di persimpangan Krueng Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Disanalah mereka dengan mendadak diserang oleh pasukan Christoffel. Secepatnya pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pada pertempuran itulah Cut Meutia ditembak kakinya dan terus terduduk ditanah. Cut Meutia tidak menyerah, bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perawanan hingga ia terbunuh oleh musuh. Sebelum gugur Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada didekatnya. Katanya dengan pendek, ‘’Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ketanganmu’’. Dan amanat itu dapat dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi, putra Cik Tunong dan Cut Meutia, selamat dan dapat mengalami kemerdekaan Indonesia, namun dalam tahun 1946 ia mati terbunuh dalam apa yang disebut ‘’Revolusi sosial’’ di Sumatera Utara.
Pemerintah RI dengan SK Presiden RI No. 107/Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menganugerahi Cut Meutia gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sumber : Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia
Duta Museum Pergerakan Wanita Indonesia
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 03 Maret 2021
Halo Sahabat MuseumKeterlibatan perempuan di berbagai bidang turut dikemas dalam lakon pewayangan. Mulai dari berperang, berpolitik, dan berkeluarga. Setiap tokoh wayang perempuan digambarkan dengan ...
by museum || 09 Maret 2021
Di masa pandemi ini banyak museum yang tutup dan tidak menerima kunjungan sementara. Duta Museum DIY harus tetap mempromosikan museum dengan mengadakan acara Jumpa Sahabat Museum melalui berbagai ...
by museum || 16 Maret 2021
Pada hari Jum'at, 12 Maret 2021 telah berlangsung kegiatan "Free Modelling Class" yang diinisiasi oleh Jossephine Daniella Iki selalu Duta Museum Untuk DIY 2020 untuk Museum Tembi Rumah Budaya. ...