TRADISI JENANG SURAN DALAM MENYAMBUT TAHUN BARU ISLAM DI KOMPLEKS MAKAM RAJA-RAJA MATARAM KOTAGEDE

by museum|| 26 Juli 2023 || || 2.390 kali

...

Bulan Suro merupakan salah satu peringatan besar yang setiap tahuun diperingati oleh masyarakat Jawa. Secara historis, penyambutan malam satu Suro harus dilakukan secara khidmat karena sebagian besar masyarakat Jawa memandang bulan ini sebagai sesuatu yang sakral dan tidak bisa dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan mereka. Tradisi bulan Suro memiliki makna untuk mendapatkan rahmat dan keselamatan, bersyukur kepada Tuhan, terhindar dari berbagai macam jenis penyakit, dan meminta ampun atas segala kesalahan yang pernah dibuat.

Menurut beberapa sumber dikatakan bahwa setiap daerah memiliki artinya masing-masing dalam memaknai jenang suran. Makna pertama yaitu dikatakan bahwa awalnya tradisi ini dilakukan untuk memperingati peristiwa selamatnya Nabi Nuh a.s serta para pengikutnya dari bencana banjir besar. Setelah semuanya selamat, mereka mulai mencari sisa-sisa makanan yang bisa dimakan di antara ketela yang tinggal akar-akarnya saja dan beras yang sudah hancur. Maka agar sisa-sisa beras yang hancur cukup untuk dimakan semua orang, maka dibuatlah bubur dengan tambahan lauk seadanya. Makna lainnya, jenang suran berawal dari sajian yang diberikan oleh Fatimah, puteri Nabi Muhammad SAW, kepada kedua putranya yaitu Hasan dan Husein. Diceritakan pada waktu itu terjadi peperangan yang berlangsung selama berhari-hari. Wilayah tempat Nabi Muhammad SAW dikepung oleh musuh yang menyebabkan mereka tidak memiliki pasokan makanan dan minuman yang cukup. Akibat dari peristiwa itu, Hasan dan Husein meninggal dunia. Oemi Salamah sebagai nenek dari Hasan dan Husein pada saat itu sedang mengalami masa sulit dan tidak memiliki banyak persediaan makanan. Keinginannya untuk memberikan makanan persembahan kepada mereka yang sudah meninggal, Oemi Salamah pun membuat makanan dari bahan apa saja yang berhasil beliau kumpulkan. Beberapa sisa beras dan rempah-rempah yang dibungkus dalam saku kecil, akhirnya dibuatlah menjadi bubur dengan campuran kacang tolo, kedelai hitam, dan jagung. Sementara itu, bumbu-bumbu yang ditemukan seperti merica, kembang pala, cengkih, dll ditumbuk dan diaduk sebelum akhirnya dijadikan taburan di atas bubur.

Di Pura Mangkunegara, tradisi ini dilakukan secara resmi sejak kepemimpinan Mangkunegara VI. Pada masa kepemimpinan Mangkunegara VI banyak sekali perkembangan yang cukup pesat dari berbagai aspek, antara lain aspek kesenian, politik, agama, sosial, budaya dan ekonomi. Dilihat dalam bidang agama, beliau sangat toleran terhadap agama lain. Salah satunya dengan diperbolehkannya rakyat untuk memeluk agama Kristen pertama kali. Kemudian dari segi budaya dan tradisi antara lain diresmikannya tradisi Jenang Suran sebagai salah satu tradisi yang wajib dilakukan setiap tahun pada bulan Suro. Sebagai raja di Kerajaan Mataram Islam, Mangkunegara VI sangat menghormati tradisi-tradisi yang berhubungan dengan agama Islam. Tradisi Jenang Suran menjadi salah satu tradisi yang dilestarikan karena berhubungan dengan kisah-kisah para nabi yang memiliki makna-makna tertentu. Termasuk kisah Hasan dan Husein yang merupakan anak Fatimah, puteri dari Nabi Muhammad SAW.

Menjelang tahun baru Islam pada tanggal 1 Muharram atau dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai malam 1 Suro, para Abdi Dalem juru kunci (Kasultanan Ngayogyakarta maupun Kasusnan Surakarta) Makam Raja-raja Mataram di Kotagede akan menggelar tradisi Jenang Suran. Tradisi ini dilaksanakan di Pelataran Kompleks Makam Raja-raja Mataram Kotagede yang berada di Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul. Tradisi Jenang Suran atau masyarakat Jawa lebih akrab menyebutnya sebagai jenang panggul menjadi tradisi yang selalu digelar setiap malam 1 Suro oleh para Abdi Dalem di Kotagede sebagai bentuk rasa syukur atas kemudahan menjalani hidup selama satu tahun penuh. Lebih lanjut, inti dari tradisi ini sejatinya hanya pemanjatan doa-doa atau tahlilan di kompleks makam kerajaan.

Sebelum pemanjatan doa, para Abdi Dalem akan melakukan prosesi berupa arak-arakan ubo rampe yang terdiri dari jenang suran, tumpeng nasi kuning, sayur kari kubis, serta ingkung ayam kampung. Setelah itu, acara dilanjut dengan melantunkan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW serta zikir dan doa di depan pintu gerbang utama Makam dari Panembahan Senopati. Pada akhir ritual tradisi ini, para Abdi Dalem akan membagikan kurang lebih sekitar 1.000 porsi Jenang Suran kepada masyarakat yang mengikuti prosesi dari awal hingga akhir.  Sebagian masyarakat menganggap jenang yang dibagikan sebagai berkah dalam menyambut malam tahun baru Islam atau malam 1 Suro.

 

Ramdani Rachmat

Duta Museum DIY untuk Museum Kotagede

*sumber foto www.gudeg.net

 

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
SEMINAR PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM TOKOH PEWAYANGAN NUSANTARA: JEJAK, PERAN, DAN RELEVANSI

by museum || 03 Maret 2021

Halo Sahabat MuseumKeterlibatan perempuan di berbagai bidang turut dikemas dalam lakon pewayangan. Mulai dari berperang, berpolitik, dan berkeluarga. Setiap tokoh wayang perempuan digambarkan dengan ...


...
Workshop Membuat Poster Pendidikan dan Koleksi MPI UNY

by museum || 09 Maret 2021

Di masa pandemi ini banyak museum yang tutup dan tidak menerima kunjungan sementara. Duta Museum DIY harus tetap mempromosikan museum dengan mengadakan acara Jumpa Sahabat Museum melalui berbagai ...


...
Duta Museum DIY : Free Modelling Class Museum Tembi Rumah Budaya

by museum || 16 Maret 2021

Pada hari Jum'at, 12 Maret 2021 telah berlangsung kegiatan "Free Modelling Class" yang diinisiasi oleh Jossephine Daniella Iki selalu Duta Museum Untuk DIY 2020 untuk Museum Tembi Rumah Budaya. ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta