Gunungan

by admin|| 04 Maret 2014 || 48.438 kali

...

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna “gunung-gunungan”, seperti gunung, menyeruapi gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan Maleman atau Selikuran.

              Enam macam gununganyang biasa digunakan dalam upacara Garebeg yaitu: gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan gepak, gunungan pawuhan, gunungan dharat, gunungan kutug/bromo. Dari keenam macam gunungan itu yang selalu disajikan dalam setiap garebeg hanya lima macam yaitu: gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan gepak, gunungan pawuhan dan gunungan dharat. Sedangkan gunungan kutug/bromo hanya dibuat setiap delapan tahun sekali bertepatan dengan tahun Dal, untuk disajikan dalam selamatan negara garebeg Mulud Dal.

              Sesajian gunungan adalah sesajian sakral yang sudah disucikan dengan doa mantra. Oleh karenanya gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Anggapan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa sesajian gunungan dilandasi kain bangun tulak. Bangunan khusus untuk pembuatan gunungan dinamakan omah gunungan (omah = rumah).

 

 

Dharat, Gunungan. Salah satu gunungan dalam upacara garebeg. Gunungan ini pada bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam, dan sekelilingnya ditancapi dengan sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan (ilat = lidah). Gunungan ini diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu, dan diberi alas kain bangun tulak. Di bawah nampan dipasang dua batang kayu atau bambu panjang sebagai alat pemikul.

 

 

Gepak, Gunungan. Gunungan ini bukan sebagai gunungan yang berdiri sendiri tetapi merupakan deretan tonjol-tonjolan tumpul (gepak) yang terdiri dari empat puluh buah keranjang berisi beraneka macam kue kecil-kecil, yang terdiri atas lima macam bentuk dalam lima macam warna pula, yaitu merah, biru, kuning, hijau dan hitam. Di atas tumpukan kue-kue tersebut dalam setiap keranjang diberi buah-buahan.

              Semua keranjang dilatakkan diatas nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran 2 x 1,5 meter, dan diselimuti dengan kain bangun tulak, serta keempat penjurunya dihiasi dengan potongan kain berwarna kuning.

 

Kutug/Bromo. Merupakan gunungan yang dibuat delapan tahun sekali yaitu tiap tahun Dal pada saat upacara Garebeg Mulud Dal. Bentuk gunungan ini agak mirip dengan gunungan wadon, tetapi di bagian puncaknya diberi lubang untuk menempatkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus-menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin.

              Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni, hampir sama dengan pajangan pada gunungan lanang, bervariasi dengan gunungan wadon. Di bagian bawah beralaskan kain bangun tulak, dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 meter.

 

 

Lanang, gunungan. Gunungan ini pada bagian puncak disebut mustaka (kepala), ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut badheran karena bentuknya seperti ikan badher.  Badheran dihias dengan lima kalungan bunga melati yang di ujungnya beruntaikan bunga kantil. Bagian mustaka dipasang melingkar rapat sejumlah rangkaian kue tepung beras yang berbentuk bola-bola kecil disebut bendul. Dibawahnya dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh bagian batang tubuh, dipasangi ratusan kacang panjang, bagian pucuknya diberi sebuah kue berbentuk cincin terbuat dari ketan yang disebut kucu dan setiap kucu digantungi sebuah kue berbentuk segitiga yang disebut upil-upil.

              Seluruh batang tubuh gunungan lanang, selain dipasangi ratusan kacang panjang, juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok atau cabe merah yang besar-besar, dan diberi sembilan buah telur rebus dan sembilan buah telur asin. Setiap gunungan lanang diletakkan tegak lurus diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu  dengan  ukuran  2 x 1,5 meter. Nampan ini selain dipasangi sebuah gunungan juga masih diberi hiasan berupa dua belas nasi tumpeng dengan lauk pauknya yang diberi wadah empat bungkusan daun pisang. Di samping itu masih diberi empat buah kelapa muda dan sepasang daun muda serta alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampak, digantungkan empat kalung rangkaian bunga melati.

 

 

Pawuhan, Gunungan. Bentuk gunungan ini sangat mirip dengan bentuk gunungan wadon. Bagian puncaknya ditancapi bendera berwarna putih. Di bagian bawah puncak, ditancapi sejumlah lidi bambu yang setiap ujungnya diberi bulatan kecil berwarna hitam, yang disebut picisan. Gunungan ini dialasi kain bangun tulak dan diletakkan tegak diatas nampan raksasa berkerangka kayu.

 

 

Wadon, Gunungan. Gunungan ini mempunyai bentuk seperti gunung dengan bagian puncak yang terlalu lancip. Juga mirip dengan payung terbuka. Bagian mustaka dihampiri kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam yang sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue berbentuk daun. Sekeliling tepinya ditancapi lidi-lidi bambu panjang, diberi kue ketan berbentuk seperti paruh burung betet, yang disebut betetan.

              Bagian bawah tubuh berupa penyangga berbentuk kerucut terbalik yang dibuat dari sejumlah besar pelepah daun pisang. Selain itu diberi kue berbentuk lingkaran besar terbuat dari ketan berwarna coklat yang besar disebut wajik. Disamping itu diberi aneka macam kue kecil-kecil serta buah-buahan.

              Gunungan wadon diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran kurang lebih 2 x 1,5 meter dengan diberi alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampan, digunakan potongan kain kuning.

Kadang Papat Kalima Pancer. Merupakan satu bentuk ungkapan kepercayaan Jawa yang meyakini bahwa kelahiran setiap insan ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa selalu disertai oleh empat unsur saudara. Kadang papat atau empat bersaudara itu adalah kakang kawah, warna putih, tugasnya melindungi seluruh jasad manusia (kawah berarti placenta); Adhi ari-ari warna kuning, bertugas melindungi langkah-langkah hidup; Arinta rah, warna merah, bertugas mengarahkan kelakuan baik; Arinta puser, warna hitam, bertugas melindungi suara.

              Konsepsi empat satu dalam kepercayaan lama itu berlaku juga untuk para makhluk halus atau dewa-dewa penjaga keempat penjuru mata angin dan yang satu penjaga pusat. Dahulu bahkan konsepsi empat satu itu diberlakukan juga untuk pola pedesaan Jawa.

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
PASAR MALAM PERAYAAN SEKATEN

by admin || 01 April 2012


...
GREBEG

by admin || 01 April 2012

Upacaya Grebeg berasal dari kata Grebe, Gerbeg. Grebeg dalam bahasa jawa bermakna suara angin. Kata dalam bahasa Jawa Anggrebeg, mengandung makna menggiring Raja, pembesar atau pengantin. Grebeg ...


...
Garebeg Mulud

by admin || 01 April 2012

Upacara Sekaten diadakan setahun sekali, dimulai pada hari kelima di bulan Mulud (bulan Jawa). Upacara ini merupakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta