Garebeg.

by admin|| 04 Maret 2014 || 39.464 kali

...

Berasal dari kata gerebeg, gerbeg. Grebeg dalam bahasa Jawa bermakna suara angin. Kata dalam bahasa Jawa (h)anggarebeg, mengandung makna menggiring raja, pembesar atau pengantin. Garebeg yang menjadi salah satu bentuk adat keraton Kesultanan Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Garebeg merupakan suatu upacara kerajaan melibatkan seisi keraton, segenap aparat kerajaan dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Garebeg secara formal bersifat keagamaan yang dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW serta kedua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha). Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar sultan yang bersifat kemuslimatan = Ngabdurrahman sayidin panotogomo kalifatullah.

Upacara ini diselenggarakan tiga kali selama satu tahun sejak masa pemerintah Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sultan Hamengku Buwana IX. Selama masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I sampai IX terjadi banyak perubahan dalam tatacara penyelenggaraan gerebeg. Perubahan yang sangat besar terjadi semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX yang dilakukan sejak awal masa pendudukan tentara Jepang tahun 1942 yaitu tradisi maleman atau selikuran yang diselenggarakan dalam bulan Mulud dihapuskan. Tradisi maleman gerebeg yang diselenggarakan dalam setiap garebeg di komplek sitihinggil-pagelaran dalam juga dihapuskan. Demikian pula pawai kesatuan-kesatuan prajurit keraton yang diselenggarakan dalam setiap garebeg diadakan. Tetapi Sultan Hamengku Buwana IX tetap mempertahankan penyelenggaraan pasowanan mulud yang berlangsung di masjid besar.

              Sesudah Yogyakarta mengalami masa pendudukan singkat oleh Belanda pada akhir tahun 1948 sesudah peristiwa G30S PKI, tradisi yang semula dihapus kemudian dihidupkan kembali meskipun sederhana penyelenggaraannya. Barulah sejak dasawarsa ketujuh abad XX penyelenggaraan garebeg dari tahun ke tahun semakin semarak dengan menghidupkan kembali tradisi sekaten di alun-alun lor (utara) dan dibentuk lagi kesatuan-kesatuan prajurit keraton. Dalam satu tahun di keraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara garebeg sebanyak tiga kali yaitu garebeg mulud, garebeg besar dan garebeg sawal. Pada keraton upacara gerebeg mempunyai tiga arti penting yaitu :

a.          Religius, sebab penyelenggaraan upacara garebeg berkenaan dengan kewajiban Sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama Islam. Hal ini sesuai dengan peranannya sebagai sayidin panatagama kalifatullah.

b.          Historis, berkaitan dengan keabsahan sultan dan kerajaannya sebagai ahli waris syah dari Panembahan Senopati dan Kerajaan Mataram Islam.

c.          Kultural, karena penyelenggaraan upacara ini menyangkut kedudukan sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa yang mewarisi kebudayaan para leluhur yang diwarisi oleh kepercayaan lama.

Pada upacara garebeg sultan mengeluarkan hajad dalem berupa gunungan. Gunungan yang biasa dikeluarkan dalam upacara garebeg yaitu: Gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan gepak, gunungan pawuhan dan gunungan dharat. Sedangkan jenis gunungan kutug/bromo hanya dikeluarkan pada upacara garebeg Mulud Dal.

              Tempat-tempat yang dipakai untuk upacara garebeg terbagi menjadi 2 yaitu :

1.        Tratag Sitihinggil

Merupakan tempat khusus untuk melakukan upacara pasowanan garebeg sultan berada di Bangsal Manguntur Tangkil duduk di singgasana kemasan yang dilatakkan di atas selo gilang yaitubatu yang ditinggikan.

2.        Kompleks Masjid Besar

Tempat yang dipergunakan yaitu pelataran depan serambi Masjid Besar, di sebelah utara dan selatan, dipergunakan untuk mendengarkan gamelan sekaten (Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogowilogi). Ambang pintu depan serambi Masjid Besar dipergunakan untuk upacara penerimaan ssajian selamatan negara berupa gunungan dan lain-lain.

              Perlengkapan yang dipergunakan untuk upacara antara lain: nasi gurih, ketan, kolak, apem, menyan, anglo dan pembaca doa. Pusaka-pusaka keraton sebagai perlengkapan upacara dalam garebeg terdiri atas beberapa jenis, yaitu jenis alat kendaraan (kereta, tandu, pelana kuda, cambuk/cemeti), alat-alat musik (gamelan, genderang, kecer besar/cymbol), alat-alat senjata (tombak, keris, penggada, pedang), alat-alat memasak (periuk/kendhi) dan beberapa jenis bendera. Pusaka-pusaka keraton yang selalu ditampilkan dalam setiap garebeg adalah gamelan Kiai Kodok Ngorek dan Kiai Monggang, serta kereta kerajaan Kiai Garudayaksa. Pada garebeg Mulud Dal ditampilkan semua jenis pusaka karaton, termasuk pusaka Kiai Ageng Pleret, Kanjeng Kiai Godotopan, Kanjeng Kiai Godowedono, Kanjeng Kiai Kopek,Kanjeng Kiai Pangarab arab, Kiai Jetayu, Kanjeng Kiai Pamuk, Kanjeng Kiai Tandhu Lawak.

              Prajurit Dhaheng, prajurit Patangpuluh, prajurit Prawirotomo, prajurit Jogokaryo, prajurit Nyutra, prajurit Ketanggung, prajurit Mantrijero dan ditambah prajurit Bugis dan prajurit Surokarso.

              Benda-benda upacara kerajaan terdiri atas sepuluh macam bentuk benda yang seluruhnya terbuat dari emas. Benda-benda tersebut terdiri dari dua kelompok yaitu: benda upocoro dan benda ampilan (lihat benda upocoro dan lihat juga benda ampilan).

              Banda-benda upacara penting dalam setiap upocoro garebeg itu, sebagian dibawa oleh para abdi dalem wanita yang disebut golongan keparak (keparak poro gusti) dan sebagian lagi dibawa oleh para abdi dalem pria yang disebut golongan pengampil.

 

 

Garebeg, Pasa/Sawal/Bakda. Maksud diadakan garebeg ini untuk menghaormati bulan suci Ramadhan dan menghormati malam kemuliaan (lailatul qodar). Berkenaan dengan malam kemuliaan itu, umat Islam dari seluruh lapisan masyarakat di kasultanan Togyakarta mempunyai tradisi bercorak kejawen yang disebut maleman atau selikuran. Keraton merayakan maleman atau selikuran sebagai suatu upacara kerajaan yang khusus diselenggarakan menjelang pelaksanaan garebeg Pasa/Sawal/Bakda dengan mengadakan pasowanan selikuran (selikur = dua puluh satu) pada tanggal 21 bulan Ramadhan dan dirintis oleh Sultan Hamengku Buwana I dan dilanjutkan oleh para sultan penggantinya. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dilakukan penyederhanaan dan perubahan pasowanan selikuran. Dan sejak awal masa pendudukan Jepang , Sri Sultan Hamengku Buwana IX meniadakan tradisi pasowanan selikuran ini.

              Karena Sultan tak melakukan kunjungan ke Masjid Besar, maka dilakukan kegiatan tradisional di bangsal Kencono. Ngabekten dilakukan setiap tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) dan pada masa Sultan Hamengku Buwana IX dilakukan secara sederhana. Sultan tidak lagi duduk di singgasana emas (dhampar kencono) dan tidak mengenakan busana kebesaran (busana keprabon).

 

 

Garebeg, Besar. Maksudnya untuk merayakan Idul Adha, hari raya Islam yang kedua, terjadi dalam bulan Zulhijah yang dalam kalender Jawa-Islam disebut bulan Besar, sehingga garebeg yang diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha disebut Garebeg Besar.

              Dahulu Garebeg Besar juga disertai dengan pasowanan garebeg di Siti Hinggil, dengan mengadakan selamatan negara di Masjid Besar berupa gunungan dan lain-lain. Sesuai dengan tatacara yang berlaku, dalam garebeg besar, Sultan tidak melakukan kunjungan ke Masjid Besar. Tetapi Sultan menyerahkan sejumlah hewan kurban. Dan merayakan umat Islam yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

 

 

Garebeg, Maulud. Garebeg ini diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal. Bulan Rabiulawal yang merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, disebut juga bulan Maulud. Garebeg yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut Garebeg Maulud (lihat garebeg).

              Tahap-tahap penyelenggaraan untuk Garebeg Maulud:

-          Upacara gladi resik bertugas untuk mengadakan evaluasi kesiap-siagaan prajurit-prajurti keraton. Yang diserahi tugas adalah Bupati Nayoko kawedanan Ageng Prajurit.

-          Upacara numplak wajik sebagai pertanda permulaan pembuatan gunungan secara formal (lihat upacara numplak wajik).

-          Upacara miyosipun Hajad Dalem yang merupakan puncak upacara. Upacara ini tidak lain adalah anggereg, mengantar atau mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam keraton ke Masjid Besar, yang diserahi tugas ini ialah Kiai Pengulu Keraton Yogyakarta.

 

 

Garebeg, Mulud Dal. Merupakan garebeg yang diselenggarakan setiap delapan tahun sekali. Kata Dal adalah nama salah satu tahun Jawa-Islam. Bertolak dari keinginan bahwa kelahiran Rasulullah tepat pada tanggal 12 Maulud tahun Dal, maka penyelenggaraan garebeg Mulud Dal, yang terjadi pada setiap satu windu sekali dilaksanakan secara istimewa dengan penuh kemegahan. Dan lebih banyak mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan lama identitas raja, kerajaan Jawa kuna. Sultan-sultan menampilkan berbagai macam benda pusaka keraton sebagai suatu pernyataan tradisional bahwa Sultan dan Kasultanan Yogyakarta adalah ahli waris sah dari para raja dan kerajaan Jawa terdahulu serta sebagai wakil di suku bangsanya dalam memuliakan para leluhur.

              Kehadiran Sultan di Masjid Besar untuk melakukan kegiatan religius yang bersifat keislaman yaitu untuk menendang tumpukan batu bata yang ditempatkan di sebelah pintu terbuka di pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Hal ini sebagai tindakan simbolik yang melambangkan rakyat pada zaman kesultanan Demak secara resmi telah meninggalkan agama Hindu-Budha untuk memeluk agama Islam. Upacara ini dilakukan hanya setiap delapan tahun sekali atau sekali dalam sewindu.

 

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
PASAR MALAM PERAYAAN SEKATEN

by admin || 01 April 2012


...
GREBEG

by admin || 01 April 2012

Upacaya Grebeg berasal dari kata Grebe, Gerbeg. Grebeg dalam bahasa jawa bermakna suara angin. Kata dalam bahasa Jawa Anggrebeg, mengandung makna menggiring Raja, pembesar atau pengantin. Grebeg ...


...
Garebeg Mulud

by admin || 01 April 2012

Upacara Sekaten diadakan setahun sekali, dimulai pada hari kelima di bulan Mulud (bulan Jawa). Upacara ini merupakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta