Upacara Labuhan

by admin|| 04 Maret 2014 || 62.536 kali

...

Upacara Adat Tradisional. Kata “upacara” mengandung pengertian peralatan menurut adat, melakukan sesuatu perbuatan yang menurut adat kebiasaan atau menurut agama (Poerwodarminta, 1983:883), sedang “upacara tradisional” secara umum dapat diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan kepada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan di luar kemampuan manusia atau kekuatan supranatural.

Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung, yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Upacara labuhan dalam hal ini berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Asal mula upacara labuhan pada awal masa pemerintahannya Panembahan Senopati mencoba mencari dukungan moril untuk memperkuat kedudukannya. Dukungan itu diperoleh dari Kanjeng Ratu Kidul yaitu makhluk halus penguasa laut selatan (Samudra Indonesia).

              Panembahan Senopati membuat perjanjian kerjasama dengan Kanjeng Ratu Kidul yang pada intinya bahwa Kanjeng Ratu Kidul bersedia membantu segala kesulitan Panembahan Senopati. Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan. Pada periode-periode berikutnya upacara labuhan menjadi tradisi di Kerajaan Mataram. Karena Kanjeng Ratu Kidul dipercaya hidup sepanjang masa, maka para raja Mataram pengganti Panembahan Senopati tetap melestarikan tradisi labuhan sebagai penghormatan atas ikatan perjanjian tersebut. Apabila kewajiban itu diabaikan oleh anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram, maka menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan murka sekali. Akibatnya, Kanjeng Ratu Kidul akan mengirim pasukan jin, dan semua makhluk halus untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan Mataram. Namun apabila anak cucu Panembahan Senopati memenuhi kewajibannya dengan melakukan labuhan di Parangkusuma pada waktu tertentu, maka Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika ada raja Mataram yang meminta bantuan kepadanya, Kanjeng Ratu Kidul dengan senang hati memberikan bantuannya. Kewajiban melaksanakan labuhan ini terus berlangsung sampai sekarang meskipun kerajaan Mataram telah terbagi menjadi dua (yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

              Empat lokasi labuhan dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram (terutama Panembahan Senopati) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus. Disamping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja Mataram mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai peranan penting raja-raja sebelumnya, terutama bagi raja-raja pendiri Mataram (Panembahan Senopati), karena roh-roh halus itu diangggap telah membantu pendiri dinasti tersebut dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan dilaksanakan sebelum hari penobatan Sri Sultan yang sudah memimpin kerajaan, sehingga setiap pergantian raja akan terjadi pergantian jadwal upacara labuhan, karena masing-masing raja berbeda waktu penobatannya.

Labuhan Dalem, Upacara. Kata dalem disini dipakai untuk menyebut Sri Sultan. Labuhan ini disebut labuhan Dalem karena adat ini atas kehendak Sri Sultan beserta para kerabat Keraton Yogyakarta.

              Upacara labuhan ini menunjukkan perbedaan antara keluarga raja dengan rakyat biasa. Karena upacara labuhan hanya boleh dilakukan oleh keluarga raja sedangkan rakyat biasa tidak berhak melakukannya. Dalam hal ini keluarga raja mempunyai kedudukan lebih tinggi dari rakyat biasa, sehingga keluarga raja bertindak sebagai wakil rakyat dan melakukan upacara labuhan demi kesemalatan rakyat seluruhnya. Sejak zaman kemerdekaan waktu penyelenggaraan upacara labuhan adalah satu hari setelah upacara tingalan dalem, namun persiapan kedua upacara tersebut dilakukan secara bersamaan.

Wiyosan Dalem, Upacara. Sama dengan tingalan dalem.

Tingalan Dalem, Upacara. Tingalan dalem atau wiyosan dalem adalah hari kelahiran Sri Sultan yang dihitung bukan berdasarkan gabungan hari dan pasaran yang setiap 35 hari (selapan dina) berulang, melainkan tanggal dan bulan kelahiran Sri Sultan menurut perhitungan tarikh Jawa (ulang tahun). Dengan demikian tingalan dalem hanya terjadi satu kali dalam setahun. Ada beberapa kegiatan untuk menyambut tingalan dalem, antara lain: membuat apem, menyiapkan logam yang terdiri dari emas, perak dan tembaga, serta menyiapkan sajian untuk sugengan plataran.

 

Sajen Labuhan. Sesaji untuk upacara labuhan yang dibuat secara bersama-sama dengan sajian untuk sugengan plataran. Sajian ini dibuat oleh kedua pawon keraton Yogyakarta yaitu pawon Sakalanggen (dapur sebelah timur) dan pawon Gebulen (dapur sebelah barat). Sesaji tersebut terdiri dari: sanggan, tukon pasar, pala gumantung, pala kependhem dan pala kasimpar.

              Tepat pada hari tingalan dalem, kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya menyiapkan barang-barang yang akan dilabuh dan mengatur barang-barang tersebut menjadi tiga bagian pada saat labuhan alit atau empat bagian pada saat labuhan ageng. Masing-masing bagian benda labuhan itu dimasukkan ke dalam kotak kayu kecil yang tertutup. Antara tempat yang satu dengan yang lain, jenis benda yang dilabuh tidak sama, hal ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu untuk memudahkan agar tidak terjadi kekeliruan maka petugas Widya Budaya harus memberi tanda khusus pada masing-masing kotak. Semua kotak tersebut bersama-sama dengan benda labuhan yang lain disimpan di bangsal Sri Manganti, dan diinapkan satu malam hingga keesokan harinya saat pelepasan upacara labuhan.

              Benda-benda yang dilabuh antara lain :

-          Potongan kuku (kenaka) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun.

-          Potongan rambut (rikma) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun

-          Beberapa potong pakaian bekas milik Sri Sultan

-          Benda bekas milik Sri Sultan yang berujud payung (songsong)

-          Layon sekar, yaitu sejumlah bunga yang telah layu dan kering, dari bekas bunga sesaji pusaka-pusaka keraton yang dikumpulkan selama satu tahun

-          Sejumlah barang yang sebagian besar terdiri dari kain.

 

 

Labuhan Ageng. Upacara yang bertepatan dengan tahun Dal. Jadi labuhan ageng hanya dilakukan sekali dalam delapan tahun (satu windu). Jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka untuk tahun tersebut labuhan alit ditiadakan. Pada saat labuhan ageng ini benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi empat bagian untuk dilabuh di empat tempat yang berbeda, yaitu di Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan. Khusus labuhan ageng untuk Gunung Lawu, barang yang dilabuh ditambah dengan sebuah payung yang disebut songsong pethak seret praos. Payung tersebut warnanya sebagian putih dan pada bagian lainnya berwarna keemasan.

Labuhan Alit. Upacara labuhan yang dilakukan di luar tahun Dal, sehingga pelaksanaannya setiap setahun sekali. Namun jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka untuk tahun tersebut labuhan alit ditiadakan. Pada saat labuhan alit, benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi tiga bagian saja, untuk dilabuh di tiga lokasi labuhan, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
PASAR MALAM PERAYAAN SEKATEN

by admin || 01 April 2012


...
GREBEG

by admin || 01 April 2012

Upacaya Grebeg berasal dari kata Grebe, Gerbeg. Grebeg dalam bahasa jawa bermakna suara angin. Kata dalam bahasa Jawa Anggrebeg, mengandung makna menggiring Raja, pembesar atau pengantin. Grebeg ...


...
Garebeg Mulud

by admin || 01 April 2012

Upacara Sekaten diadakan setahun sekali, dimulai pada hari kelima di bulan Mulud (bulan Jawa). Upacara ini merupakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta