by admin|| 07 Maret 2014 || 74.970 kali
Sesuai dengan pesan Raden Mas Jolang atau Susuhunan Prabu Hanyokrowati yang meninggal di hutan Krapyak ( sehingga diberi gelar Susuhunan Seda Krapyak ) th 1612 maka Mahkota Kerajaan digantikan bukan oleh putera sulung, melainkan oleh putera ke empat bernama : Raden Mas Durya alias Pangeran Martopuro. Tetapi kemudian ternyata bahwa Pangeran Martopuro menderita penyakit syaraf, sehingga tidak bisa lama memerintah. Pada tahun 1613 digantikan oleh kakak sulungnya yang bernama : Raden Mas Rangsang.
Beliau mempunyai bentuk tubuh mengagumkan, dadanya bidang , badan besar, kekar dengan otot-otot kuat berkat latihan militer yang teratur dan keras. Matanya bening memancarkan cahaya daya tarik yang khas, nampak berkilat-kilat meskipun berada ditempat terang ataupun gelap. Apabila sedang menerima seban dihadap oleh Punggawa-punggawa tinggi, paramparan-paramparan Kerajaan, Panglima-panglima Perang di Siti Hinggil yang luas , Beliau duduk diatas damper dengan tegak laksana ditopang oleh tulang punggung baja yang lentur. Sifat dan sikapnya tenang, berwibawa tinggi karena memiliki kebijaksanaan yang sangat agung.
Meskipun dia duduk tenang memandang pada satu arah, orang merasa bahwa mata yang satu arah itu sebenarnya mampu melihat segala penjuru, sehingga setiap gerakan yang berada di sekitar Siti Hinggil tidak akan lepas dari pengetahuannya. Keadaan itu melukiskan dengan jelas, bahwa RM. Rangsang yang kemudian dikenal dengan sebutan : SULTAN AGUNG memiliki magnitisme pribadi yang besar. Hatinya lembut pada rakyat dan bawahannya, tetapi pada saat yang gawat dia mampu berubah cepat menjadi sangat keras seperti pedang baja. Karena itu pada balai penghadapan yang penuh dengan punggawa-punggawa tinggi, parampar-parampar kerajaan,Panglima-panglima besar, Sultan Agung nampak laksana Singa Jantan di tengah-tengah binatang lain.
Pada zaman kekuasaan RM.Rangsang yang bergelar :Sultan Agung Senopati Ing Ngalogo Abdulrachman yang juga bergelar : Prabu Pandhita Hanyokrokusumo, yang memerintah Kerajaan Mataram dari tahun 1613 – 1645 itulah VOC mulai mengirimkan duta besar ke Ibukota Mataram untuk melaksanakan perundingan-perundi9ngan tingkat tinggi dengan pihak Sultan.
Sultan Agung telah menetapkan Ibukota Mataram yang baru itu di KERTA yang terletak 4 km. di selatan Kotagede ( Kraton Mas Jolang ), ditepi Kali Gajahwong, salah satu cabang dari Kali Opak yang bermuara di Laut Kidul.
Dubes-dubes VOC itu melalui jalan darat menuju Ibu Kota Kerta. Ketika mereka pulang ke Markas VOC, membuat laporan tertulis tentang keadaan Kota Kerta zaman itu seperti yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Penduduk kota Kerta sangat padat , untuk memenuhi kebutuhan daging tiap hari dipotong 4000 ternak. Pasarnya sangat ramai kesibukan-kesibukan hampir tak pernah putus,pedagang-2 jauh dari Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan Jawa Barat datang ke Kota Kerta. Kadang-kadang beras nampaknya lebih mahal daripada Sapi, itu menunjukkan bahwa daerah pedalaman Mataram sangat kaya dengan ternak.
Menurut laporan dubes-dubes itu, ternyata bahwa daerah pusat Kerajaan Mataram khususnya dataran rendah Surakarta sekarang sangat subur. Sawah-sawah sangat luas dengan tanaman padi yang subur. Dimusim panen orang-orang sibuk mengetam padi. Berduyun-duyun orang memikul padi dan gabah, malahan dalam bulan-bulan sesudah panen, kesibukan memikul beras dan gabah serta gerobak-gerobak yang ditarik oleh 6 sampai 8 lembu, bersimpang-siur di jalan raya mengangkut beras dan padi. Hasil bumi yang lain tak perlu diceritakan lagi. Kota Kerta memang kota yang makmur.
Pada zaman itu pedagang – pedagang dari Sumedang ( Propinsi Jawa Barat ) dengan jalan kaki atau naik gerobak dan berkuda datang ke Kerta. Waktu itu perjalanan lewat darat dari Sumedang ke Kerta memakan waktu dua bulan.
Disudut-sudut Kota Kerta ada Gong , bila Gong ini dipukul dengan irama tertentu , maka dalam tempo hanya enam jam , alun-alun Kota Kerta akan dipenuhi oleh 200.000 prajurit lenbgkap senjata yang siap tempur.
Demikianlah militansi penduduk Ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung berkuasa Sultan menyadari bahwa tugas kemiliteran buat Mataram sebagai Negara baru sangat penting. Oleh karena itu meneruskan tradisi zaman silam sejak zaman Majapahit, semua penduduk dikenakan wajib militer.Sudah tentu bagi mereka yang masih memenuhi syarat, tiap-tiap desa sedikitnya harus memiliki seratus prajurit yang tangguh.
Dan Kepala Desa atau Lurah harus merangkap menjadi Komandan sebuah seksi. Karena itu Kepala Desa disebut PENATUS artinya : Pemimpin dari 100 ( Seratus ) Prajurit. Tiap Kecamatan harus memiliki 1000 Prajurit tangguh, dan Camat wajib merangkap menjadi Komandan satu Batalion. Karena itu Camat disebut PENEWU artinya : Pemimpin 1000 ( Seribu ) Prajurit.
Pasukan Khusus bertugas mengawal keamanan Keraton disebut Pasukan : WIROROJO ( Pengawal Raja ). Dalam Pasukan Wiraraja itu terdapat bagian Pasukanyang disebut : SINGOSARI ( Pasukan Kawal Kaputren ) , sedangkan tentara keamanan yang utama adalah Pasukan WIRASINGA yakni pasukan-pasukan tempur yang bertugas melawan musuh yang menyerbu dan menyerang musuh diluar Negara. Pasukan Wirasinga ini dibantu oleh pasukan-pasukan cadangan yang disebut : PASUKAN WIRATANI yakni : pasukan dari kalangan penduduk desa yang dipimpin oleh Penatus dan Penewunya. Pasukan Wiratani sehari-harinya bekerja sebagai petani, tetapi pada saat – saat yang gawat harus bisa dikerahkan memanggul senjata sebagai prajurit perang. Pendek kata zaman itu tiap Kepala Pemerintah ,baik di Pusat maupun di daerah – daerah ( propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa ) wajib memiliki kwalitas ( kemampuan ) sebagai Panglima Perang.
Tiap hari Senin dan Kamis diadakan seban , hari menghadap Raja. Sultan Agung duduk di Sitihinggil , diatas batu datar seluas 3 mt. persegi ( 1,75 x 1,75 mt. ) Diatas batu datar itu diletakkan sebuah kursi Cendana yang berukir indah. Disitulah Sultan duduk untuk menyampaikan amanatnya, Jumlah Pejabat Tinggi dan para Panglima Perang yang duduk bersila menghadap ada sekitar 600 orang, dalam jajaran lapis 3 (tiga) berkeliling.
Dialun-alun pada tiap hari Sabtu diselenggarakan latihan-latihan perang oleh prajurit, yang mengenakan berbagai senjata dan kendaraan , dibawah pimpinan Panglima Pendidikan yang berpengalaman, untuk memelihara ketangkasan dan meningkatkan kemampuan militer.
Selama menerima seban , atau dalam kesempatan-kesempatan yang lain Sultan Agung selalu didampingi oleh parampara-parampara ( penasehat-penasehat ) yang terdiri dari ulama tinggi Islam. Kebiasaan ini diwarisi dari tradisi Maharaja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan abad ke 10.
Menurut pengamatan Duta Besar VOC yang melakukan kunjungan resmi ke Ibu kota Mataram, dan kapalnya berlabuh di Pelabuhan Jepara, maka diketahui dengan jelasbahwa Kerajaan Mataram pada zaman ini memiliki armada-armada dagang yang besar. Kapal-kapal dagang Mataram melakukan pelayaran dan perdagangan dari Jepara ke Jayakarta , Malaka , Palembang , Sukadana ( Kalimantan Barat Daya ) , Banjarmasin dan seluruh Maluku. Kapal-kapal Mataram sudah sebanding dengan kapal-kapal bangsa lain ukuran besarnya : 10,5 sampai 30 last, atau dengan ukuran sekarang : 30 sampai 60 ton. Sedangkan Kapal Belanda pertama yang berlabuh di Banten pada abad 16 hanya 50 ton. Juga diketahui bahwa Sultan Agung mempunyai aneka ragam minat, dia menaruh minat yang besar pada ilmu militer, juga ilmu bumi bahkan filsafat, seni, sastra, hukum dan astronomi, tetapi juga ahli militer, ahli siasat, filsuf dan ilmuwan.
Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai berkat kepemimpinan Sultan Agung , Pertama : beliaulah yang membangun Ibukota Kerta sebagai Ibukota baru bagi Negara Mataram. Sementara Kota Kerta berkembang menjadi ramai dan padat. Beliau merencanakan Keraton Baru yang tetap di desa PLERED terletak sejauh 1 (satu) km. dari Keraton Kerta disebelah Timur Lautnya. Keraton Plered itu merupakan Keraton resmi nantinya, sehingga memerlukan waktu lama untuk membangunnya. Letaknya 7 (tujuh) km. disebelah selatan Kotagede atau sekitar 11 km. disebelah Tenggara kotaYogyakarta sekarang. Berbeda dengan Kotagede ( Ibukota Mataram zaman Panembahan Senopati dan Mas Jolang ) yang dewasa ini tetap menjadi kota ramai, semacam kota satelit bagi kota Yogyakarta sekarang, maka Kerta maupun Plered dewasa ini merupakan desa-desa yang sepi, tanpa kegiatan yang menonjol seperti kota. Plered kini menjadi kota Kecamatan ( dulu disebut Kapanewon ) sedang desa Kerta masuk Wilayah Kecamatan Plered.
Dari kota Yogyakarta melalui jalan aspal besar jurusan Imogiri, sampai pada 7 km lebih sedikit kita membelok ke Timur lewat jalan desa tanpa aspal, kira-kira 2 km dari jalan aspal kita akan menemukan kantor Kecamatan Plered. Dari kantor ini ke selatan 1 (satu) km akan kita jumpai desa NDHATON ( Keraton) dibawah pohon besar Beringin , Akan masih bisa disaksikan sisa fondasi Keraton Plered yang terdiri dari Bata Merah seluas 15 mt. persegi.
Pada tahun 1825 (awal perang Diponegoro ) sisa-sisa fondasi dan tembok-tembok Keraton agak lumayan. Tetapi pada tahun 1890 sisa fondasi tinggal seluas 650 x 550 mt. Sedangkan pada th.1977 sisa fondasi tinggal 15 mt persegi, kiri-kanan fondasi ini merupa kan pekarangan penduduk dengan berbagai tanaman, tak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan sisa Keraton.
Dari desa NDHATON melalui jalan besar desa yang bsempit dan berliku-liku kita dapat menerobos kearah Barat daya, dalam jarak 1 km. kita jumpai Desa Kerta. Di desa ini masih dapat melihat Umpak ( Landasan Saka Guru ) keratin Kerta. Yang nampak di dalam pekarangan kosong itu hanya ada dua buah Umpak yang sama besarnya dengan ukuran 60 x 60 x 80 cm. Dipintu pagar pekarangan kosong itu terdapat sebuah papan nama dengan tulisan : PETILASAN UMPAK KERTA. Jadi bekas lokasi Keraton Kerta itu terletak dekat sekali dengan tubuh Kali Gajah Wong yang airnya mengalir ke selatan, dan beberapa meter di sebelah selatan bertemu dengan batang Kali Opak yang bersumber di Puncak Gunung Merapi dan bermuara di Laiut Kidul. Dengan kata lain Kota Kerta zaman dulu diapit oleh arus Kali Gajah Wong dan Kali Opak dibarat dan Kali Oya di sebelah timur.
Jalan lain menuju Desa Kerta yaitu dari kota Yogyakarta mengikuti jalan besar jurusan Imogiri ke Selatan, sampai pada Kilometer 10 kita temui Kantor Lurah DesaWonokromo ditepi jalan sebelah Timur. Kemudian membelok ke timur melalui jalan besar hingga melewati jembatan baru diatas Kali Gajah Wong dalam jarak 750 mt dari Lurah Desa Wonokromo itu sudah ditemui pekarangan kosong tempat Umpak Keraton Kerta tersebut diatas.
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...
by admin || 01 April 2012
Ambarketawang merupakan situs Kraton (Ambar Ketawang) yang merupakan kediaman Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755-1756. Secara umum terdapat tiga komplek kekunoan (petilasan) yaitu bekas Kraton ...
by admin || 01 April 2012
Pesanggrahan ini dibangun atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai suatu pesanggrahan air di sebelah Barat Kraton Yogyakarta. Secara histories tempat ini merupakan tempat persemedian ...
by admin || 01 April 2012
Kawasan Kraton dibagi menjadi 2 , yaitu kawasan inti dan kawasan ekstensif. Kawasan inti meliputi wilayah di dalam benteng Baluwarti, sebagai pusat kerajaan serta tempat tinggal raja dan keluarganya, ...