Sejarah Yogyakarta

by admin|| 04 Maret 2014 || 34.535 kali

...


Sejarah kehidupan manusia dimulai dari masa prasejarah, dan dari masa ke depan mengalami perkembangan, mulai dari pola hidup berpindah-pindah. kepada pola hidup menetap, pembentukan komunitas dengan tokoh-tokoh pemimpin, sampai pada tingkat membentuk negara. Dari belum mengenal tulisan sampai kepada menulis naskah dalam berbagai huruf dan bahasa. Tahap-tahap dalam sejarah kehidupan manusia itu tercermin dari tinggalan-tinggalan arkeologis, baik berupa artefak, ekofak, maupun fitur. Dalam tahap-tahap itu manusia memilih tempat baik sementara maupun menetap untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya. Pemilihan lokasi tersebut tidak lepas dari tersedianya sumber daya alam pendukung kehidupan dan wawasan-wawasan praktis serta filosofis.

 

Yogyakarta sebagai suatu satuan administratif juga mengalami tahap-tahap kehidupan manusia seperti di atas, sebagaimana tercermin dalam beragam tinggalan arkeologis yang ditemukan di berbagai lokasi. Salah satu lokasi tersebut adalah kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Di beberapa desa di sepanjang aliran Sungai Oyo ditemukan alat-alat batu paleolitik, yaitu alat yang paling tua dalam tahap kehidupan manusia. Jejak-jejak budaya manusia dari kurun waktu yang tertua, yakni masa Prasejarah, di Yogyakarta juga ditemukan di daerah Sanden, Kabupaten Bantul.

 

Masa berikutnya adalah masa yang biasa disebut masa atau periode Klasik atau Hindu-Budha, karena dilatarbelakangi oleh agama Hindu-Budha yang beradal dari India. Dalam periode ini mulai terbentuk pemerintahan berbentuk kerajaan, yang tertua di Indonesia terdapat di Kutai (Kalimantan Timur), dan Tarumanagara (Jawa Barat), yaitu pada abad V M. Dalam perkembangan berikutnya, pusat-pusat kerajaan juga terdapat di pedalaman Jawa Tengah dan DIY sekarang, yaitu di dataran Prambanan dan Kedu.

 

Berdasarkan prasasti Sojomerto diketahui bahwa di Jawa pada abad VII M telah berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang pendiri Dinasti Sailendra yaitu Dapunta Salendra. Namun belum dapat diketahui secara pasti nama kerajaannya. Berdasarkan berita Cina pada Zaman Sung awal (420-470 M) Jawa disebut She P’o. Selanjutnya dalam prasasti Canggal (dekat Muntilan) dari tahun 732 M diketahui di Jawa ada seorang raja bernama Sanjaya. Adapun nama kerajaan Mataram pertama kali diketahui dari prasasti Mantyasih 907 M yang juga menyebut Sanjaya sebagai raja pertama yang memerintah.

 

Dalam prasasti ini juga disebutkan dafta nama raja-raja yang memerintah sesudah Sanjaya, antara lain : Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, dan Balitung. Daftar nama raja-raja Mataram tersebut diketahui lebih lengkap lagi dengan diketemukannya prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M. Berdasarkan bacaan serta penafsiran atas beberapa prasasti diperoleh daftar nama raja-raja Mataram Kuna sebagai berikut :

  1. Dapunta Salendra (abad VII)

  2. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)

  3. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784 M)

  4. Rakai Panaraban (784-803 M)

  5. Sri Maharaja Rakai Panunggalan ?

  6. Sri Maharaja Rakai Warak (Dyah Manara) (803-827 M)

  7. Dyah Gula (827-828 M)

  8. Sri Maharaja Rakai Garung (828-827 M)

  9. Sri Maharaja Rakai Pikatan (Dyah Saladu) (847-855 M)

  10. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala) (855-885 M)

  11. Dyah Tagwas (885 M)

  12. Rakai Panumwangan (Dyah Dewendra) (885-887 M)

  13. Rakai Gurunwangi (Dyah Bhadra) (887 M)

  14. Sri Maharaja Rakai Wungkalhumalang /Watuhumalang (894-898 M)

  15. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-909 M)

  16. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaksaya (910-913 M)

  17. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong (913-919 M)

  18. Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919-925 M)

 

Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut juga diketahui bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Mataram Kuna kira-kira mencakup kawasan Provinsi DIY, Provinsi Jawa Tengah, dan bahkan mungkin sampai dengan Provinsi Jawa Timur. Lebih jauh berita Cina dari Dinasti T’ang memberi gambaran singkat tentang sistem birokrasi di kerajaan tersebut : terdapat 28 negara bawahan yang merupakan wilayah-wilayah ke-rakai-an (watak). Raja sebagai penguasa dibantu oleh 4 menteri utama, yaitu Rakarayan Mahamantri I Hino, Rakarayan Mahamantri I Halu, Rakarayan Mahamantri I Sirikan, dan Rakarayan Mahamantri I Wka. Adapun penguasa-penguasa di wilayah watak yang merupakan raja-raja bawahan adalah para rakai.

 

Beberapa prasasti dari masa itu juga memberikan gambaran tentang kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Pada saat-saat tertentu kondisi politik cukup stabil, namun pada saat lain terjadi intrik politik. Sudah barang tentu hal semacam itu menyebabkan terjadinya pasang surut kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dapat diduga bahwa candi-candi yang menjadi bukti kejayaan kerajaan Mataram Kuno, seperti percandian Lara Jonggrang, hanya dapat dibangun pada saat kondisi politik cukup stabil. Namun sayang sekali bahwa kraton yang menjadi pusat kerajaan Mataram Kuna, saat ini belum dapat diketahui secara pasti keberadaannya, mungkin karena pada umumnya kraton tersebut dari bahan yang tidak tahan lama seperti kayu. Di sisi yang lain, tempat-tempat pemujaan (candi) dibuat dari bahan yang lebih tahan lama seperti batu andesit, batu putih dan bata. Di samping itu, menarik perhatian pula bahwa pusat kerajaan Mataram Kuna sering berpindah tempat, yang mungkin disesuaikan dengan dinamika kehidupan politik dalam kerajaan. Sampai saat ini dari sumber prasasti diketahui bahwa ibukota kerajaan Mataram Kuna pernah berada di Mdang ri Poh Pitu, di Mdang ri Mamratipura, dan di Mdang ri Bhumi Mataram.

 

Pada abad X M pusat kerajaan Mataram Kuna dipindahkan ke tempat lain yang lebih jauh, yaitu Jawa Timur. Apa penyebabnya sampai sekarang belum diperoleh jawaban yang memuaskan dan pasti. Dengan perpindahan ini dapat diperkirakan bahwa kehidupan bernegara di wilayah yang kini bernama Yogyakarta menyurut, karena raja adalah “patron” bagi kehidupan rakyatnya. Namun, ini tidak berarti bahwa kehidupan bermasyarakat juga berhenti. Rakyat tentu ada yang masih tinggal di situ, mungkin ada pula kaum pendeta yang tetap tinggal untuk “menghidupkan” candi-candi yang ada, dan membimbing kehidupan rohaniah masyarakat. Selama sekitar 5 – 6 abad berikutnya kehidupan politik, budaya, sosial, dan ekonomi berpusat di wilayah Jawa Timur dalam wadah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singasari, Majapahit dll.

 

Masa masuknya pengaruh Islam di Indonesia khususnya di jawa belum dapat diketahui secara pasti. Namun tinggalan arkeologis menunjukkan adanya pengaruh Islam di Jawa abad XI M. Tinggalan itu berupa nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang berangka tahun 485 H = 1082 M. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit, eksistensi pengaruh Islam mulai kokoh dengan berdirinya kerajaan Demak Bintara pada ± 2476 M, dengan raja pertama Raden Patah. Kerajaan ini diakui sebagai awal bagi munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada masa-masa selanjutnya di Jawa. Setelah wafatnya Sultan Trenggana, yaitu rajak Demak ketiga, kerajaan dipindahkan oleh menantunya yaitu Sultan Hadiwijaya ke daerah pedalaman, yaitu di Pajang. Mulai saat itulah kerajaan yang semula berbasis maritim kemudian menjadi agraris.

 

Berakhirnya kekuasaan kerajaan Pajang pada perempat akhir abad XVI M mengantarkan munculnya kekuatan politik baru, yaitu kerajaan Mataram-Islam dengan pusat pemerintahan di Kota Gede yang sekarang termasuk dalam wilayah DIY. Kerajaan Mataram Islam inilah yang menjadi cikal-bakal kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu sejarah Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mataram Islam.

 

Penguasa pertama kerajaan Mataram Islam adalah Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram. Kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan tidak berlangsung lama, karena ia meninggal enam tahun kemudian. Sepeninggal Ki Ageng, pimpinan tertinggi di Mataram dipegang oleh Sutawijaya, yang bergelar Ngabehi Loring Pasar. Setelah naik tahta gelarnya adalah Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Pada waktu itu kharisma pemimpin agama Islam di Jawa (wali sanga) masih terasa. Hal ini terbukti dari legenda adanya restu dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya (Senopati) sebagai pemimpin Mataram yang sah. Di samping itu beberapa pernikahan Senopati dngan putri dari tokoh-tokoh penting masa itu semakin memperkuat kedudukan politisnya. Sebagai contoh adalah pernikahannya dengan Retno Dumilah, putri Panembahan Rangga Madiun sekaligus cucu Sultan Trenggana, juga pernikahannya dengan putri Ki Penjawi dari Pati.

 

Untuk memperkuat kedudukan Senapati sebagai penguasa kerajaan Mataram Islam yang baru berdiri, maka selama pemerintahannya ia banyak melakukan berbagia peperangan. Peperangan ini dilakukan terhadap para bupati yang memberontak atau pun tidak mengakui kekuasaannya, di antaranya adalah peperangan melawan bupati Pati, Madiun, dan Surabaya. Meskipun demikian, Senopati juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan dan penataan fasilitas pendukung ibu kota Mataram saat itu. Pembangunan yang pernah dilakukan oleh Senapati sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, antara lain berupa pembangunan benteng dari bata, dan pembuatan parit yang lebar mengelilingi kota kerajaan. Senapati juga memberikan perintah untuk membangun sebuah masjid Agung, yang berhasil diselesaikan pada tahun 1589 M. Masjid ini sampai sekarang masih dapat disaksikan, walaupun telah mengalami beberapa perubahan fisik.

 

Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama, sebagai pemimpin awal kerajaan Mataram Islam, telah berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke arah utara dan timur. Namun keberhasilannya menaklukkan Pati, Surabaya, Jepara, dan Madiun, disertai pula dengan kegagalannya menaklukkan berbagai wilayah di Jawa Timur. Meskipun demikian, pemerintahan Senapati telah mempunyai kerangka dasar yang cukup kuat dan baik. Ia meninggal pada tahun 1601 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung yang dibuatnya, tepatnya di selatan makam ayahnya. Sebelum meninggal dunia, ia telah mengatur suatu suksesi kepemimpinan di kerajaan Mataram Islam, agar sepeninggalnya kekuaaan diserahkan kepada Pangeran Jolang.

 

Pangeran Jolang sebenarnya bukanlah anak lelaki tertua Panembahan Senapati. Seperti diketahui Panembahan Senapati mempunyai dua orang permaisuri, yaitu puteri dari Pati, dan puteri dari Madiun. Pangeran Jolang adalah anak lelaki Panembahan Senopati dari puteri Pati, atau dengan kata lain Pangeran Jolang adalah cucu dari Ki Penjawi. Di duga penobatan Pangeran Jolang didasari oleh ingatan akan jasa-jasa Ki Penjawi, dan demi menjaga hubungan baik dengan keluarga besar di wilayah Pati. Akan tetapi hal ini mengakibatkan Pangeran Puger yang menjabat Adipati di Demak dan Pangeran Jayaraga yang diangkat sebagai Adipati Panaraga, bersama-sama memberontak terhadap Mataram. Namun, akhirnya kedua Adipati tersebut dapat ditundukkan kembali, dan masing-masing diasingkan ke Kudus serta Nusa Kambangan.

 

Masa pemerintahan Pangeran Jolang hanya berlangsung sekitar 12 tahun. Meskipun demikian, seperti halnya ayahnya, ia juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan fasilitas kota kerajaan Mataram Islam. pada tahun 1603 M raja memerintahkan pembangunan Prabayaksa di kraton, dan dua tahun kemudian telah selesai dibangun sebuah pertamanan yang diberi nama Taman Danalaya. Taman ini terletak di sebelah barat kraton dan dilengkapi dengan suatu segaran (kolam). Adapun pembuatan kompleks pemakaman Kota Gede dilakukan, antara lain adanya pembangunan fisik lainnya amat pesat dilakukan, antara lain adanya pembangunan lumbung di Gading, membuat krapyak di Beringan. Di samping itu juga digalakkan usaha pertanian dan perkebunan seperti tanaman pohon merica, kemkus, dan kelapa.

 

Masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir pada tahun 1613 M, yaitu saat ia jatuh sakit di hutan perburuan (krapyak) dan akhirnya meninggal dunia. Pangeran Jolang kemudian dimakamkan di Astana Kapura Kota Gede. Karena meninggal pada saat berburu, maka ia dikenal pula dengan sebutan Panembahan Seda Ing Krapyak. Perlu dicatat sebelum masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir, terjadi kontak dan hubungan dengan bangsa Belanda.

 

Pada pertengahan tahun 1613 M, Raja Mataram mengirim seorang utusan untuk menemui pimpinan VOC Belanda di Banten, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, untuk menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dagang dengan mereka. Utusan tersebut berhasil membawa misinya, sehingga pada tanggal 22 September 1613 kapal Belanda merapat di pelabuhan Jepara (yang saat itu menjadi wilayah Mataram) dan kemudian mereka mendirikan loji ditempat itu.

 

Penguasa tertinggi Mataram kemudian bergulir dan dipegang oleh putra Panembahan Seda ing Krapyak yaitu RM Jatmiko yang dikenal pula dengan nama Pangeran Rangsang. Setelah menjadi raja disebut Sultan Agung Senapati ing Alaga. Kronologi pengangkatan Sultan Agung menjadi Raja Mataram tergolong unit, karena yang mula-mula diangkat sebagai raja adalah adiknya (RM Martapura). Namun hanya sebentar setelah memegang kekuasaan RM Martapura meletakkan jabatan dan mempersilahkan kakaknya untuk menggantikannya. Langkah ini dirasa tepat, karena sebagaimana lazimnya suksesi kepemimpinan biasanya dimulai dari yang lebih tua dahulu. Hal ini mempunyai maksud agar pihak yang lebih tua tidak merasa dilangkahi, sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Berbagai contoh sejarah yang berkaitan dengan perselisihan keluarga dalam memegang kekuasaan sering kali terjadi, karena adanya ketidakpuasan terhadap pemegang kekuasaan oleh pihak yang lebih tua.

 

Pada awal masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi berbagai pertempuran. Pertempuran-pertempuran tersebut dimaksud untuk menaklukan kembali berbagia wilayah bawahan yang berusaha memberontak. Mereka ini adalah para bupati pemegang kekuasaan di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan. Berbaai pertempuran tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1625 M, yaitu dengan pengerahan pasukan untuk mengepung Surabaya. Selain itu juga masih ada pertempuran-pertempuran dalam skala yang lebih kecil, yaitu penaklukan Pati, Giri serta Blambangan. Setelah selesai menaklukkan wilayah Blambangan, Sultan Agung memerintahkan sebagian penduduknya untuk pindah dan tinggal di Mataram.

 

Sementara itu hubungan dagang dengan VOC yang dirintis oleh Panembahan Seda Ing Krapyak, makin meningkat frekuensinya. Bahkan ada beberapa utusan Gubernur Jendral yang dikirim ke Mataram, di antaranya Hendrick de Haan, Jan Vos, dan Pieter Franssen. Hubungan yang baik ini mulai memburuk pada tahun 1624 M, karena Sultan Agung mulai melihat adanya ketidakberesan dari pihak Belanda. Sultan Agung melihat kehadiran Belanda di Batavia adalah sebagai kekuatan politik yang mampu mengancam kekuasaannya. Dengan semakin memburuknya hubungan Mataram dengan Belanda, maka pada tahun 1628 dan 1629 M pasukan Mataram mengepung Batavia. Namun sayang pasukan Mataram gagal mengalahkan Belanda, karena kurangnya logistik, timbulnya berbagai penyakit, serta penggunaan senjata api oleh tentara Belanda.

 

Kegagalan penaklukan Batavia oleh Sultan Agung tampaknya diimbangi dengan usaha legitimasi secara spiritual. Hal dibuktikan dengan pengubahan gelar Susuhunan yang dipakainya sejak tahun 1624 M, maka sejak tahun 1641 M ia bergelar Sultan. Usaha yang lain adalah melakukan ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1633 M sekaligus membangun pintu gerbang kompleks makam. Pintu gerbang tersebut bernama gapura Panemut yang berbentuk candi bentar dan sekarang masih dapat dilihat sebagai pintu gerbang ketiga di kompleks makam tersebut.

 

Berbagai langkah besar dan fenomenal dilakukan oleh Sultan Agung pada masa pemerintahannya. Langkah-langkah besar yang dilakukan itu merupakan suatu usaha mengadakan penyeimbangan antara tradisi Hindu (yang lebih dulu ada) dengan tradisi Islam. Tindakan yang paling spektakuler terlihat pada adanya usaha penyusunan dan penggunaan sistem kalender baru. Kalender baru yang disusun merupakan perkawinan antara perhitungan tahun Hijriyah dengan tahun Çaka, yang saat itu menunjukkan angka 1555 Çaka. Sistem kalender tersebut terbukti dapat diterima oleh masyarakat Jawa, dan masih digunakan sampai sekarang dengan sebutan penanggalan Jawi.

 

Meskipun pada masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi peristiwa politik, tetapi dia tidak melupakan berbagai pembangunan fisik baik dilingkungan kota kerajaan maupun di berbagai tempat lain. Di antaranya mulai menyiapkan pembangunan kraton baru di Kerta-Plered, dan pembangunan pemakaman di Girilaya (sekitar 10 km arah selatan Kota Gede). Pembangunan makam tersebut dimulai pada tahun 1629 M dengan dipimpin oleh Panembahan Juminah. Akan tetapi pemakaman tersebut akhirnya tidak digunakan oleh Sultan Agung, karena sudah dipakai untuk memakamkan Panembahan Juminah yang meninggal dalam masa pembangunan itu.

 

Setelah itu, Sultan Agung membangun pemakaman baru di Bukit Merak. Kegiatan ini dimulai pada tahun 1732 M atau tiga tahun setelah pembangunan makam di Girilaya. Pembangunan makam di Bukit Merak berlangsung selama 13 tahun, dan setelah selesai diberi nama Imagiri. Belum genap setahun setelah pembangunan makam Imagiri selesai, Sultan Agung meninggal di pendapa Kraton, dan dimakamkan di Imagiri. Sebelum jenazahnya dimakamkan, terlebih dahulu dilakukan upacara pentahbisan putra mahkota sebagai pemegang tampuk kekuasaan Mataram-Islam.

 

Setelah pemerintahan Sultan Agung, maka yang memimpin Mataram adalah Sunan Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, pada tahun 1647 M, pusat pemerintahan dipindah dari Kota Gede ke Plered. Berbagai peristiwa berdarah terjadi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, terutama pembunuhan terhadap kerabat dan beberapa tokoh penting yang tidak sepaham dengan kebijakan politik pemerintahannya. Sebagai contoh adalah pembunuhan terhadap Tumenggung Wiraguna dan keluarganya, Pangeran Alit (adik Sunan sendiri), dan para ulama beserta keluarganya. Peristiwa-peristiwa politik yang terjadi, diimbangi dengan berbagai pembangunan fisik pendukung kraton baru.

 

Pembangunan fisik pendukung kraton sangat menakjubkan dan berlangsung secara spontan. Berbagai bangunan yang dibuat membuat kagum bangsa Belanda yang berkunjung ke Plered. Sumber tertulis menyatakan pembuatan pagar keliling kraton dari bata dan bagian puncaknya berwarna putih atau dari batu padas. Pembuatan pagar keliling ini diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan. Setelah itu (sekitar dua tahun kemudian), didirikan masjid Plered dan setahun kemudian dilakukan perluasan terhadap tempat berburu di sisi timur (krapyak wetan). Belum puas dengan kondisi kratonnya, Sunan Amangkurat I juga memerintahkan untuk membuat bendungan atau segaran. Di samping itu juga dilakukan pembuatan lokasi pemakaman untuk Ratu Malang di Gunung Kelir pada tahun 1668 M.

 

Sementara itu hubungan bilateral dengan sekutu-sekutunya mulai kurang harmonis. Hal ini berkaitan dengan sikap Sunan yang terkesan arogan dan tiran dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sikap demikian ini menyebabkan banyak pihak yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaannya. Sebagai contoh adalah penguasa di Jambi dan Kalimantan. Namun demikian sikap Sunan tetap tidak berubah, sebab tindakan yang dilakukan banyak didukung oleh orang-orang Belanda melalui VOC. Sikan Sunan terhadap VOC berbeda 180o bila dibanding dengan sikapnya terhadap penguasa pribumi. Hal ini terbukti dengan adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1646 M, yang antara lain berisi tentang pengakuan Mataram terhadap kedudukan VOC di Batavia. Bahkan VOC setiap tahun mengirim utusan ke Mataram. Sikap ini pada masa berikutnya menjadi bumerang bagi pemerintah Mataram, karena VOC mulai melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mataram.

 

Berbagai sikap politik yang dilakukan oleh Sunan, menjalin hubungan dengan VOC dan menyingkirkan orang berpengaruh di sekitarnya, menimbulkan permusuhan diantara kerabat sendiri. Permusuhan yang paling mencolok berlangsung antara Sunan Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom, yang mengakibatkan hilangnya simpati rakyat terhadap pemimpinnya. Akibat yang paling parah adalah adanya perlawanan Trunajaya, yang pada akhirnya menghentikan kekuasaan Sunan Amangkurat I di Mataram. Pada waktu itu Sunan Amangkurat I meloloskan diri ke Imagiri, kemudian meneruskan perjalanan ke arah barat untuk minta bantuan VOC. Namun, ia meninggal di Wanayasa (wilayah Banyumas Utara sekarang) pada tanggal 10 Juli 1677. Tiga hari kemudian jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi. Makam Sunan Amangkurat I ini merupakan satu-satunya makam pemimpin Mataram yang berada jauh dari wilayah kekuasaannya.

 

Sebelum meninggal dunia, Sunan Amangkurat I masih sempat mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II, sekaligus mewariskan berbagai tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawa lari. Sementara itu putra lain dari Sunan Amangkurat I, yaitu Pangeran Puger, melarikan diri ke arah Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah) dan mengangkat diri menjadi raja dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Setelah Trunajaya mengundurkan diri ke Kediri, maka Pangeran Puger kembali ke Plered dan menduduki istana kerajaan.

 

Hubungan baik antara VOC dengan Mataram, yang dirintis oleh Sunan Amangkurat I tampaknya terus berlanjut. Sunan Amangkurat II yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya tetap menjalin hubungan dengan VOC. Bahkan secara ekstrim disebutkan dalam Babad Tanah Jawi ia setiap hari berpakaian gaya Belanda, dan tidak terpisahkan dengan Belanda. Kerja sama dengan VOC tersebut sebenarnya bukan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Sebagai contoh apabila Sunan Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC maka ia harus membayar biaya perang, bahkan VOC pernah meminta wilayah di sebelah timur Krawang sampai Sungai Pamanukan. Kedekatan hubungan ini semakin memudahkan VOC masuk ke dalam kehidupan politik

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Konsepsi Kosmo Filosofi Kraton

by admin || 01 April 2012

Secara Umum Karaton Yogyakarta adalah bagian dari mata Rantai kesinambungan pembangunan karaton-karaton di Jawa sehingga terdapat satu keterkaitan Tipologis yang mengaitkan Karaton Yogyakarta dengan ...


...
Sejarah Kota Yogyakarta

by admin || 01 April 2012

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur ...


...
Toponim Ngayogyakarta

by admin || 01 April 2012

Untitled Document Kota Yogyakarta pada masa lalu menjadi ibu kota kasultanan Yogyakarta, sebenarnya adalah sebuah kota yang terencana dimana komponen - kompenenya memang sudah diatur sedemikan ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta