Sejarah Makam Imogiri

by admin|| 05 Maret 2014 || 38.153 kali

...

Pemakaman Imogiri

              Pemakaman kerajaan Mataram-Islam yang dibangun berikutnya adalah Pemakaman Imogiri. Lokasi pemakaman ini di Dusun Pajimatan, Girirejo, kecamatan Imogiri, Bantul, kira-kira 12 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kompleks makam ini berdiri di atas sebuah bukit yang bernama Bukit Merak. Di bawah bukit tersebut ada Dusun Pajimatan yaitu pemukiman para abdi dalem juru kunci yang bertanggung jawab atas keberlangsungan upacara-upacara serta pemeliharaan pemakaman kerajaan ini. Beberapa sumber tertulis, seperti Babad Momana dan Babad ing Sangkala, menyebutkan bahwa Sultan Agung memerintahkan membuat pemakaman kerajaan di Bukit Merak pada dekade ketiga-keempat abad XVII.

              Sebenarnya sebelum Imogiri, Sultan Agung memeerintahkan untuk membuat makam keluarga kerajaan di bukit Girilaya. Namun karena Panembahan Juminah yang mengawasi pembangunannya meninggal dalam proses itu dan dmakamkan di Girilaya maka Sultan Agung memerintahkan untuk membuat pemakaman baru. Melalui pemilihan lokasi yang tidak sederhana akhirnya terpilihlah Bukit Merak, dan Sultan Agung-lah yang pertama dimakamkan di tempat tersebut pada tahun 1645 M. Pemilihan lokasi makam di tempat yang tinggi, mengingatkan pada kepercayaan prasejarah bahwa nenek moyang bersemayam di tempat yang tinggi.

              Kemegahan pemakaman Imogiri sudah tampak dari kaki Bukit Merak karena untuk mencapai situs pemakaman di puncak Bukit Merak yang tingginya sekitar 100 m dari permukaan laut orang harus menapaki sekitar 410 anak tangga. Dari kaki bukit pemandangan itu sangat mengesankan!

              Di area puncak bukit itu terdapat delapan kelompok makam, yang masing-masing disebut Kedhaton. Kedelapan Kedhaton itu adalah: 1) Sultan Agungan, 2) Pakubuwanan, 3) Bagusan/Kasuwargan, 7) Besiyaran, dan 8) Saptarengga; dengan Kedhaton Sultan Agungan berada di tengah dan di tempat yang paling tinggi. Kedhaton ke-3 sampai dengan ke-5 adalah milik Kesunanan Surakarta, sedangkan yang ke-6 sampai ke-8 adalah milik Kesultanan Yogyakarta. Adapun Kedhaton ke-1 dan ke-2 menjadi tanggung jawab Yogyakarta dan Surakarta. Lokasi dan kepemilikan kedhaton-kedhaton itu menggambarkan sejarah dan situasi politik yang dialami kerajaan Mataram-Islam sejak berdirinya. Selain itu, hal tersebut menunjukkan bahwa ketika pusat pemerintahan pindah ke Plered, lalu Kartasura, kemudian Surakarta dan Yogyakarta tidak dibuat pemakaman kerajaan lagi.

              Adapun raja-raja yang dimakamkan di Kedhaton-Kedhaton  tersebut adalah:

§         Di Kedhaton Sultan Agungan : Sultan Agung, Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat III

§         Di Kedhaton Pakubuwanan : Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, Sunan Paku Buwana II

§         Di Kedhaton Bagusan/Kasuwargan : Sunan Paku Buwana III – V

§         Di Kedhaton Astana Luhur : Sunan Paku Buwana VI – IX

§         Di Kedhaton Girimulya : Sunan Paku Buwana X – XI

§         Di Kedhaton Kasuwargan Yogyakarta : Sultan Hamengku Buwana I dan III

§         Di Kedhaton Besiyaran : Sultan Hamengku Buwana IV – VI

§         Di Kedhaton Saptorenggo : Sultan Hamengku Buwana VII –IX

Makam-makam tersebut ada di dalam cungkub-cungkub, masing-masing dengan gaya arsitektur yang bervariasi. Namun, yang menarik perhatian justru cungkub makam Sultan Agung sederhana, tidak mempunyai hiasan apapun. Demikian pula jirat dan nisannya yang dibuat dari sela cendani. Hal ini berbeda dengan makam keturunan-keturunannya. Sebagian di antara mereka bangunan makamnya diberi berbagai ornamen, bahkan ada yang nisannya diprada.

              Perlu dicatat bahwa ada dua raja yang tidak dimakamkan di Imogiri, karena kondisinya tidak memungkinkan. Pertama adalah Sunan Amangkurat I yang dimakamkan di Tegalarum, dekat Tegal, karena wafat di Wanayasa (suatu tempat di Banyumas Utara) dalam perjalanan mencari bantuan ke Batavia. Kedua adalah Sultan Hamengku Buwana II yang dimakamkan di Pasareyan Hastana Kitha Ageng, karena beliau wafat pada waktu Perang Diponegoro sedang berkecamuk.

              Pemakaman Imogiri dilangkapi dengan masjid-makam yang berada di kaki bukit, dan biasa disebut Masjid Pajimatan. Unsur-unsur kekunoan masjid ini tampak jelas, antara lain dari keberadaan parit di depan masjid. Di depan masjid Pajimatan ini berpangkal tangga untuk naik ke pemakaman yang berada di puncak bukit Merak. Di ujung tangga naik yanhg berjumlah ratusan itu terdapat sepasang kolam, dan satu-satunya gapura bentuk candi bentar disebut Gapura Supit Urang yang dilengkapi dengan kelir di belakangnya. Tampaknya Gapura Supit Urang secara simbolik merupakan gapura petama untuk masuk ke semua pemakaman di Imogiri ini, karena gapura lain berbentuk paduraksa yang biasanya digunakan untuk masuk ke halaman-halaman yang lebih dalam. Di halaman Supit urang terdapat empat tempayan besar berisi air dari mata air Bengkung. Air di keempat tempayan itu dipercaya berkhasiat sehingga pada upacara nguras enceh yang diadakan setiap Bulan Sura banyak orang yang minta airnya.

              Plered yang merupakan kota kerajaan kedua dalam kerajaan Mataram-Islam tidak meninggalkan jejak-jejak yang dapat dinikmati secara visual, kecuali oleh ahli arkeologi atau ahli sejarah. Jejak-jejak itu antara lain tinggal berupa jalur fondasi benteng kraton, beberapa potong sisa tanggul yang semula tingginya 4 m, umpak masjid, fondasi bangunan, makam Ratu Malang  di Gunung Kelir, dan toponim yang diantaranya menggambarkan adanya suatu sistem keairan yang luas. Perlu dicatat bahwa kata plered berarti bendungan.

              Sebenarnya sampai masa Perang Diponegoro benteng Kraton Plered masih digunakan sebagai salah satu pertahanan pasukan Diponegoro. Kerusakan benteng dimulai sejak pabrik gula bermunculan di Yogyakarta, karena bata benteng diambil untuk endirikan pabrik serta bangunan lain. sementara itu tinggalan-tinggalan lain kemudian juga “dimanfaatkan” secara tidak benar. Misalnya tanah tanggul dipaki untuk membuat bata, atau tanggul itu sendiri dihancurkan untuk membuat jalan. Selain itu, karena tidak terpelihara alam juga berperan dalam proses pelapukan bangunan-bangunan di kota Plered.

              Tidak jauh dari bekas kota kerajaan Plered yakni di arah timur laut ada sebuah bukit padas yang disebut Gunung Kelir. Di puncaknya terdapat pemakaman yang berisi beberapa kubur kuno. Pemakaman Gunung Kelir ini berkait dengan sisi gelap pemerintahan Sunan Amangkurat I yang dikenal otoriter dan sewenang-wenang. Makam utama di situs itu adalah makam Ratu Malang, salah seorang istri Sunan Amangkurat yang sangat dicintainya, dan direbut dari suaminya, konon seorang dalang bernama Ki Panjang Mas. Waktu Ratu Malang meninggal, Sunan Amangkurat sangat berduka dan mencurigai orang-orang di sekitar Ratu Malang meracuninya. Sementara ia memerintahkan membangun makam bagi Ratu Malang, ia juga memerintahkan supaya banyak abdi dan selir dibunuh dengan cara yang keji. Selain beberapa makam kuno, di situs tersebut juga ada tembok-tembok keliling, lubang-lubang segi empat di permukaan bukit padas itu (mungkinkah calon liang lahat?), dan yang menarik torehan-torehan berbentuk wayang kulit di beberapa bagian tembok keliling.

              Ada pusaka budaya yang terkait dengan pemerintahan Sunan Amangkurat I, tetapi lokasinya relatif jauh dari Plered, namun justru dalam kondisi yang terpelihara. Pusaka budaya itu adlah pemakaman Banyusumurup. Pemakaman ini menjadi saksi bisu sejarah pemerintahan Sunan Amangkurat I yang penuh intrik dan kesewenangan. Kompleks makam ini berada di dekat pemakaman Imogiri, tetapi berada di suatu lembah yangh dikelilingi oleh tiga buah bukit. Di sini dimakamkan Pangeran Pekik (paman raja), keluarga dan pengiringnya, serta Rara Oyi (calon istri raja). Mereka dimakamkan di Banyusumurup setelah dibunuh oleh Amangkurat I pada tahun 1578 J (1655 M). Selanjutnya pemakaman ini digunakan untuk menguburkan keluarga raja atau pembesar kraton yang dipidana mati, diantaranya Patih Danureja I.

 

 

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Konsepsi Kosmo Filosofi Kraton

by admin || 01 April 2012

Secara Umum Karaton Yogyakarta adalah bagian dari mata Rantai kesinambungan pembangunan karaton-karaton di Jawa sehingga terdapat satu keterkaitan Tipologis yang mengaitkan Karaton Yogyakarta dengan ...


...
Sejarah Kota Yogyakarta

by admin || 01 April 2012

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur ...


...
Toponim Ngayogyakarta

by admin || 01 April 2012

Untitled Document Kota Yogyakarta pada masa lalu menjadi ibu kota kasultanan Yogyakarta, sebenarnya adalah sebuah kota yang terencana dimana komponen - kompenenya memang sudah diatur sedemikan ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta