Makna Benda Di lingkungan Kraton Yogyakarta

by admin|| 05 Maret 2014 || 97.345 kali

...

 

              Sultan Hamengku Buwana I mengokohkan saujana budaya Yogyakarta ketika merancang Kraton Yogyakarta dan lingkungannya. Dipilihnya hutan beringan yang berlokasi diantara sungai Code dan sungai Winongo merupakan upaya yang memperhatikan potensi ekologi danjuga kosmologi. Di dalam rancangan itu banyak ditemui komponen-komponen pembentuk ruang yang memiliki simbol dan makna tertentu, misalnya konsep sangkan paraning dumadi, yaitu pemahaman tentang asal dan tujuan hidup. Simbol-simbol tidak hanya pada bangunan atau ornamen, namun juga dalam pemilihan dan penataan tanaman.

              Di kraton Yogyakarta dan lingkungannya banyak ditanam tanaman yang memuat makna simbolik, dan juga tanaman untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya :

a.                   Sepanjang jalan dari panggung Krapyak sampai Plengkung Gading ditanam pohon Asam dan Tanjung. Sementara dari Plengkung Gading sampai Alun-Alun Selatan hanya ditanam pohon Asam.

b.                   Di area masuk dan di tengah alun-Alun Selatan masing-masing ditanami dua buah pohon Beringin. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan Pakel. Sementara di tepi jagang ditanami pohon gayam berderet-deret.

c.                   Mengapit bangunan Sitihinggil Kidul ditanam pohon gayam yang berstruktur kusat, dan berbunga harum. Sementara kalangan menafsirkan bahwa Gayam mengandung arti ayem atau tenteram. Di lingkungan tersebut juga ditanam pohon mangga Cempora dan Soka.

d.                   Di Kemandungan Selatan ditanam pohon seperti Kepel, Mangga, Kelapa Cengkir Gading dan jambu Dersana.

e.                   Di sekitar area dapur kraton yaitu Sekullangen dan Gebulen yang menjadi satu kesatuan dengan Tamansari terdapat beragam pohon buah seperti Jambu air, Kepel, Kelapa, Belimbing Lingir, dan Sawo Kecik. Di area itu juga ditanam beragam tipe pohon Kanthil.

f.                    Di ruang-luar area Kedhaton ditanam pohon Sawo Kecik yang mampu menaungi ruang dibawahnya dan menjadi akustik yang baik untuk suara gamelan. Selain pohon Sawo Kecik, juga ada pohon kanthil yang ditanam di sekitar Gedong jene.

g.                   Di area Sri Manganti ditanam Jambu Telampok Arum yang buahnya harum, mangga, Jambu Dersono, kepeldan Kemuning.

h.                   Di kanan-kiri Gerbang Brajanala ditanam pohon Kepel. Selain itu juga ada pohon-pohon Tanjung, Cengkir Gading serta Keben.

i.                     Di area Sitihinggil terdapat empat macam pohon yaitu :

§         Pohon Kepel Jantan sejumlah 18 buah yang ditanam secara simetris di sekeliling Sitihinggil.

§         Pohon Soka ditanam di bagian timur dan barat Sitihinggil.

§         Pohon jambu Dersono ditanam di sebelah barat sitihinggil.

§         Pohon Kemuning ditanam di belakang Sitinggil. Ada narasumber yang memaknai penampilan pohon kemuning yang lembut itu sebagai lambang bahwa area ini adalah bagian yang hening.

j.                     Di area Pagelaran ditanam dua pohon Beringin di kanan kiri pagelaran, serta enam pohon Gayam yang ditanam berjajar antara Stitihinggil dan Pagelaran.

k.                   Di tengah Alun-Alun Utara ditanam sepasang pohon beringin yang dikelilingi oleh tembok, nama kedua tanaman ini adalah Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Di sekeliling alun-alun juga ditanam 64 pohon Beringin dengan jarak 24 m antara satu dengan lainnya. Sepanjang jalan dari alun-alun hingga Tugu ditanami pohon Asam dan, di depan istana Gubernur Belanda (kini Gedung Agung) terdapat pohon Beringin, Asam dan Kenari.

 

Pohon merupakan kekuatan dan ciri utama penataan taman tradisional Kraton Yogyakarta. Selain secara ekologi mampu memberikan kesejukan dan menjadi paru-paru lingkungan, pohon juga memberi naungan bagi ruang di bawahnya, sehingga dapat digunakan untuk beragam kegiatan. Kalau ada perdu atau tanaman bunga umumnya akan ditanam didalam pot seperti dapat diperkirakan dari tinggalan pot-pot di Taman Sari.

              Dalam menyusun letak pohon-pohon tersebut ada kecenderungan untuk memadukan pohon yang kokoh serta monumental dengan pohon yang lembut dan artistik. Hal ini melambangkan keseimbangan dalam kehidupan serta keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Sementara itu untuk penghijauan jalan diuatamakan pohon-pohon yang rindang, berbunga cantik dan harum, serta indah dipandang. Akan tetapi, kini tinggal tatanan yang berada didalam Kraton yang relatif masih utuh. Tampaknya penataan kota Yogyakarta masa kini mengesampingkan konsep tata taman tradisionalnya. (Laretna Adhisakti)

 

 

Benteng

 

              Kraton Yogyakarta dikelilingi oleh cepuri (benteng dalam yang langsung melingkupi kraton), dan baluwarti (benteng luar yang melingkupi kraton dan beberapa pemukiman di sekitarnya serta beberapa bangunan komponen kota). Benteng-benteng tersebut mempunyai makna simbolik, yaitu berkaitan dengan kesakralan wilayah yang dihuni oleh penguasa beserta kerabatnya. Selain itu benteng juga memiliki makna praktis, yaitu berkaitan dengan usaha pertahanan dari serangan musuh. Berkaitan dengan makna yang terakhir itu, maka baluwarti kraton Yogyakarta dilengkapi pula dengan jagang, yaitu parit pertahanan. Tembok baluwarti tersebut secara keseluruhan tebalnya sekitar 4 m, dan di setiap sudutnya terdapat bastion yang dalam bahasa jawa disebut tulaktala.

              Keadaan benteng dan sekitarnya pada zaman dahulu digambarkan dalam gubahan tembang Mijil berikut :

Ing Mataram betengira inggil,

Ngubengi kadhaton,

Plengkung lima mung papat mengane,

Jagang jero, toyanira wening,

Tur pinacak suji,

Gayam turut lurung.

 

              Sebagaimana digambarkan dalam tembang diatas, untuk memasuki kawasan di dalam lingkup baluwarti ada lima buah pintu gerbang utama, yaitu gerbang Nirbaya, Jagabaya, Jagasura, Tarunasura dan Madyasura. Namun, yang terbuka sampai sekarang hanya empat gerbang, yakni : Tarunasura di sebelah timur Alun-Alun Ler, Nirbaya di sebelah selatan Alun-Alun Kidul, Jagabaya di sisi barat baluwarti dan Jagasura di sebelah barat Alun-Alun ler. Gerbang-gerbang ini dihubungkan dengan berbagai jalur dan simpul jalan yang mendukung kegiatan komunikasi dan transportasi antar kawasan.

              Kawasan di dalam lingkup baluwarti, biasa disebut Jeron Beteng, sampai saat ini masih menunjukkan ciri-ciri kawasan tradisional yang dahulu berhubungan langsung dengan kraton, baik secara fisik maupun sosial. Perubahan tidak terjadi secara drastis. Pola perkampungan tradisional masih terlihat nyata baik dari bangunan-bangunan berarsitektur jawa yang masih banyak terdapat di kawasan itu, dari toponim-toponim yang khas, maupun dari aspek sosial berupa orang-orang yang masih menyandang gelar yang terkait dengan sultan dan kraton.

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Perkumpulan Kridho Beksa Wirama

by admin || 04 Juni 2012

Didirikan oleh G.B.H. Tedjokusumo dan BPH. Soerjodiningrat pada tanggal 17 Agustus 1918 atau 9 Dulkangidah 1848 hari Sabtu Wage. Pendirian perkumpulan Kridha Beksa Wirama di dorong atas hasrat untuk ...


...
Perkumpulan Kesenian Irama Citra

by admin || 04 Juni 2012

 Lahir pada tanggal 25 Desember 1949. Munculnya organisasi ini dilatarbelakangi berhentinya usaha-usaha untuk mempelajari kesenian Jawa sejak pertengahan bulan Agustus 1945 hingga kira-kira ...


...
Yayasan  Siswa Among Beksa

by admin || 04 Juni 2012

Paguyuban ini didirikan oleh BPH. Yudonegoro pada tanggal 12 Mei 1052 bersama dengan para anggota Bebadan Among Beksa Kraton Yogyakarta berdasarkan pancasila dan berazaskan kekeluargaan serta gotong ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta