Yogyakarta Masa Kolonial

by admin|| 05 Maret 2014 || 44.216 kali

...

 

              Di dalam perjalanan sejarahnya, Yogyakarta juga diwarnai oleh unsur pemerintahan kolonial belanda yang berusaha menguasai dan mengawasi gerak para sultan di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu mereka juga menunjukkan keberadaannya dengan tinggal di Yogyakarta. Hal ini tercermin dari berbagai jenis tinggalan Belanda di kota Yogyakarta dan sekitarnya, yang berupa fasilitas-fasilitas utama dan fasilitas pendukung.

              Fasilitas utama bagi kepentingan pengawasan oleh pemerintahan kolonial Belanda terhadap para sultan di Yogyakarta adalah benteng Rustenburg yang dibangun pada tahun 1756-1778, kemudian disempurnakan pada tahun 1786. benteng tersebut kemudian diganti namanya menjadi Vredeburg. Perlu diketahui bahwa burg berarti benteng, rust berarti beristirahat, sedang vrede berarti perdamaian. Nama yang tidak cocok untuk sebuah benteng!

              Setelah itu banyak dibangun fasilitas pendukung yang juga ditempatkan di pusat kota, antar lain Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (tahun 1822), Loji Kebon (kediaman dan kantor residen), kawasan Loji Kecil, perkantoran, dan prasarana-prasarana umum baik untuk kalangan sipil maupun militer. Menarik perhatian bahwa bangunan-bangunan untuk aktivitas politik, militer, ekonomi Belanda “disisipkan” di sepanjang dan memotong poros imajiner Kraton – Tugu. Tampaknya hal itu adalah cermin sikap konfrontatif terhadap lembaga Kasultanan.

              Di kawasan antara benteng Vredeburg – Alun-Alun Ler terdapat bangunan kantor Asuransi Nill Maatschappij (Nill Mij) sekarang bangunan BNI ’46. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan tersebut digunakan untuk kantor radio Jepang dengan nama Hoso Kyoku. Selain itu terdapat pula kantor PTT (Post, Telephone, Telegraph) sekarang menjadi Kantor Pos Besar. Di sebelah timurnya berdiri gedung De Javasche Bank yang sekarang menjadi kantor Bank Indonesia.

              Prasarana umum lainnya adalah gedung NV Grand Hotel de Djogdja yang kemudian diubah menjadi NV Narba, kemudian menjadi Hotel Toegoe; dan Grand Hotel de Djogdja sekarang Hotel Garuda. Stasiun kereta api pertama yang dibangun oleh Nedelandsch-Indie Spoormaatschappij adalah stasiun Lempuyangan yaitu pada tanggal 2 Maret 1872, sedangkan stasiun Tugu dibangun oleh Staat Spoorweg pada tanggal 2 Mei 1887. Pembuatan stasiun-stasiun tersebut dirasa perlu karena pada abad XIX itu transportasi dengan kereta api meluas, sehingga sultan merasa perlu membangun juga prasarana transportasi kereta api.

              Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (tahun 1877- 1921). Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan dan pendidikan. Pada waktu itu karena warga Belanda makin banyak jumlahnya dan aktivitas mereka makin beragam, dibangunlah kantong-kantong pemukiman khusus untuk mereka, lengkap dengan berbagai fasilitas yang diperlukan pada masa pra Perang Dunia II. Kantong-kantong pemukiman itu bergeser dari seputar pusat kota ke arah timur (Bintaran), timur laut (Kota Baru), dan utara (Jetis).

              Seiring dengan perkembangan komunitas Belanda di Yogyakarta kemudian dibangun pula fasilitas-fasilitas religius Kristiani sebagai tempat beribadat. Gereja-gereja tertua di Yogyakarta adalah Protestansche Kerk, sekarang menjadi GPIB Marga Mulya, di utara Loji Kebon; dan Gereja Katolik Franciscus Xaverius, disebut pula Gereja Kidul Loji, di seberang selatan benteng Vredeburg. Protestansche Kerk tersebut diresmikan penggunaannya pada tahun 1857, dengan terlebih dahulu merombak sebuah gedung sekolah yang tidak dipakai lagi. Adapun gereja Franciscus Xaverius didirikan pada tahun 1870, tetapi sayang bangunan aslinya sudah dirombak.

              Perkembangan gereja pada awalnya selalu berkaitan dengan perkembangan kawasan pemukiman orang-orang Eropa seperti tersebut diatas, tetapi kemudian gereja juga muncul di pinggiran kota, tepatnya di wilayah-wilayah missi, antara lain Boro, kalibawang di Kulon Progo, serta Ganjuran di Bantul. Pada perkembangannya, di wilayah kalibawang kemudian muncul tempat peziarahan umat Katolik untuk melakukan devosi kepada Santa Maria yang dikenal dengan nama Sendang Sono.

              Selain pemukiman Belanda dan beberapa macam prasarananya, di Yogyakarta dahulu juga terdapat pemakaman Belanda (kerkhof) yang saat ini sudah berubah menjadi pasar, tempat hiburan, serta rumah penduduk. Pemakaman Belanda tersebut dahulu berada di bagian timur pasar Beringharjo sekarang, dan di daerah Gondomanan sekarang menjadi Pura Wisata.

              Berikut ini akan disampaikan gambaran ringkas beberapa contoh tinggalan masa itu yang penting atau menarik untuk diketahui. Tinggalan-tinggalan tersebut ada yang berupa kawasan, ada pula yang berupa single building dengan beberapa fungsi, seperti rumah tinggal, gereja, atau rumah sakit.

 

 

 

 

 

Gedung Agung

 

              Gedung Agung yang dahulu disebut Loji Kebon didirikan pada tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan. Letaknya berhadapan dengan benteng Vredeburg. Sebagai kediaman residen, arsitektur dan tata ruang interior serta eksteriornya menunjukkan kemegahan gaya Eropa. Di halaman berumput yang luas dan rapi terpajang koleksi arca-arca batu yang dikumpulkan dari berbagai tempat di Yogyakarta oleh para pembesar Belanda. Tanggal 10 Juni 1867 gedung tersebut rusak akibat gempa bumi, dan berhasil dipugar kembali pada tahun 1869. Pada masa pendudukan Jepang, gedung tersebut difungsikan untuk kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan. Saat ibukota Republik Indonesia kita ini pindah ke Yogyakarta tanggal 6 Januari 1946, gedung tersebut digunakan sebagai istana presiden hingga tahun 1949. Meskipun demikian, gedung tersebut tetap berstatus sebagai salah satu istana kepresidenan Republik Indonesia.

 

 

Kawasan Bintaran

 

              Kawasan Bintaran merupakan perkembangan dari pemukiman Belanda awal di Yogyakarta, yaitu di Loji Kecil dan Loji Besar (Benteng Vredeburg), karena kedua tempat tersebut sudah tidak dapat mengakomodasi warga Belanda. Perlu diketahui bahwa menjelang Perang Diponegoro, jumlah orang Eropa di Yogyakarta sudah mencapai 400 orang. Pada awalnya kawasan Bintaran belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum yang diperlukan oleh penghuninya. Orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran masih menggunakan fasilitas umum yang terdapat di kawasan Loji Kecil dan Loji Besar.

              Dengan semakin bertambahnya orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran, maka dibangunlah gereja, dan bahkan juga penjara. Orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah opsir-opsir, dan pemilik atau pegawai pabrik-pabrik gula di beberapa wilayah Yogyakarta.

              Bangunan rumah tinggal di kawasan Bintaran bergaya Indis dan mempunyai bentuk arsitektur yang hampir sama dengan pemukiman Belanda di kawasan Loji Kecil, tetapi halamannya lebih luas. Bangunan indis mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dengan bangunan pribumi. Rumah-rumah tersebut mempunyai jendela-jendela besar, dan plafond tinggi, sehingga udara dapat bersirkulasi dengan mudah. Selain itu, struktur penyangga seperti dinding dan tiang-tiang besi dibuat kokoh. Demikian pula karakter bangunan-bangunan di kawasan itu juga mempunyai beberapa detil khas, antara lain : tritisan yang relatif kecil, balustrade dari teralis besi, daun pintu luar dari kayu berbentuk krepyak dan daun pintu dalam dari kaca, serta mempunyai pilar-pilar.

              Bangunan dengan bentuk arsitektur semacam itu antara lain adalah : bangunan rumah tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII – sekarang Gedung Sasmitaloka Panglima Besar Sudirman, dan kediaman Yoseph Henry Paul Sagers – sekarang rumah tinggal dan kantor Komando Pemadam Kebakaran, bangunan pengawas militer untuk daerah Paku Alaman – sekarang Museum Biologi, dan SMP BOPKRI II.

 

 

Kawasan Kota Baru

 

              Kawasan Kota Baru yang mulai dibangun pada tahun 1920-an pada dasarnya merupakan konsekuensi dari pertumbuhan jumlah warga Belanda di Yogyakarta, karena berkembangnya industri gula tebu dan perkebunan-perkebunan lain, serta makin banyaknya kaum profesional lain yang diantaranya bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan bisnis. Kota Baru – dahulu disebut Nieuwe Wijk – yang mengambil tempat di sebelah timur sungai Code tersebut, jika dilihat dari unsur-unsur struktur fisik, jenis dan fungsi bangunan, serta jaringan jalannya memilki ciri suatu “kota”. Rancangan kawasan tersebut sangat rapi dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Tata ruangnya dirancang seperti kawasan pemukiman di Belanda dengan pola radial, tidak berorientasi pada arah utara-selatan seperti halnya konsep tata ruang kota tradisional.

              Di samping itu, bangunan-bangunan dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang diadaptasikan dengan iklim tropis. Dengan demikian ciri-cirinya yang menonjol antara lain : bangunannya tinggi, besar, berhalaman luas, jendela dan pintu besar dengan krepyak, langit-langit tinggi, ada hiasan kaca-timah, dan teras terbuka. Ciri-ciri tersebut berbeda dengan bangunan masyarakat bumiputera. Hal ini tentunya inheren dengan refleksi penguasa kolonial untuk menunjukkan gaya hidup, dan jati diri mereka sebagai golongan yang mempunyai kebesaran dan kekuasaan.

              Di Kota Baru, di samping hunian juga terdapat fasilitas keagamaan antara lain : gereja Katolik Santo Antonius, gereja Gereformeerde Kerk sekarang gereja HKBP, dan Kolese Santo Ignatius sebagai tempat pendidikan para imam Yesuit; fasilitas kesehatan berupa rumah sakit Petronella (sekarang Bethesda), dan rumah sakit militer (sekarang DKT), fasilitas olah raga berupa stadion Kridosono, dan fasilitas pendidikan diantaranya : ELS, Noormalschool, Christelijk MULO, AMS yang sekarang masing-masing menjadi SD Jl. Ungaran, SMP Negeri 5, SMU Bopkri 1, dan SMU Negeri 3.

              Fasilitas lain di Kota Baru yang juga dirancang secara bagus adalah drainage untuk membuang air, baik limbah rumah tangga maupun air hujan. Selokan-selokan dirancang sedemikian rupa, sehingga selokan-selokan kecil bermuara ke selokan-selokan besar, yang dengan mengikuti kontur kawasan kemudian manuju ke pembuangan akhir, yaitu Sungai Code.

              Karakteristik lain Kota Baru adalah vegetasi yang berupa pohon-pohon perindang, pohon buah-buahan, serta pohon dengan bunga yang harum baunya. Pepohonan itu ditanam baik di halaman rumah-rumah tinggal, halaman bangunan-bangunan fasilitas, maupun di sepanjang jalan serta boulevard. Pohon buah-buahan yang ditanam kebanyakan adalah mangga, rambutan, jambu, belimbing manis dan ada satu dua nangka. Adapun pohon berbunga yang ditanam adalah pohon tanjung. Banyknya pepohonan yang ditanam memperjelas karalter kawasan tersebut sebagai suatu “garden city”.

              Jalan Kerkweg – kemudian Kewek, sekarang Jl. Abu Bakar Ali – menghubungkan Kota Baru dengan pusat kota Yogyakarta lama. Dengan demikian hubungan dengan kantor Residen, Benteng Vredeburg, Societeit, Stasiun Kereta Api, serta tempat-tempat lainnya berjalan lancar.

              Pada masa penduidukan Jepang, Kota Baru dan kawasan hunian Belanda lain di Yogyakarta diambil alih oleh Jepang, antara lain untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi, gudang. Perlu diketahui bahwa seorang perwira tentara Jepang yaitu Butaico Mayor Otsuka menempati rumah bekas karyawan Nilmij, sekarang Kantor Asuransi Jiwasraya Yogyakarta. Rumah tersebut pada tanggal 6 Oktober 1945 digunakan sebagai tempat perundingan para pejuang yang dipelopori oleh Moh. Saleh Bardosono dengan Mayor Otsuka dalam rangka penyerahan senjata. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada awal kemerdekaan (tanggal 6-7 Oktober 1945) kawasan Kota Baru menjadi salah satu kancah perjuangan rakyat dalam perebutan senjata melawan tentara pendudukan Jepang.

              Pada waktu Yogyakarta menjadi Ibu Kota Republik Indonesia dari tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tahun 1949 terdapat beberapa bangunan yang dipergunakan untuk kepentingan pemerintah. Bangunan-bangunan tersebut antara lain Gedung Seminari Tinggi – sekarang Kolese Santo Ignatius – digunakan sebagai Kantor Kementerian Pertahanan, Christelijke MULO – sekarang SMU BOPKRI I – untuk Akademi Militer, Normaalschool – sekarang SMPN 5 – untuk asrama Akademi Militer, AMS – sekarang SMU 3 – untuk menampung pelajar pejuang. Selain itu, rumah Letjen Oerip Sumohardjo – sekarang menjadi Kantor Dinas Parsenibud Kota Yogyakarta – menjadi titik akhir rute gerilya panglima Besar Jendral Sudirman pada tahun 1949, dan kantor Bidang Muskala Depdiknas.

              Latar belakang sejarah dan corak arsitektural menjadikan kawasan Kota Baru sebagai salah satu citra kawasan bagi kota Yogyakarta. Sayang, pada saat ini kawasan Kota Baru yang mempunyai kekhasan gaya arsitektur bangunan, pola dan tata ruang, secara fisik telah mengalami perubahan dan “penggusuran” pada banyak bangunannya. Kapan muncul apresiasi terhadap pusaka budaya Kota Baru?

 

 

Kawasan Jetis

 

              Munculnya kawasan hunian di Jetis, yakni kawasan di seputar dan di utara Tugu, erat kaitannya dengan komunitas Belanda di Yogyakarta yang berkembang pesat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan makin berkembangnya lembaga-lembaga swasta antara lain pabrik-pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan. Hal itu menyebabkan terjadinya pengembangan wilayah hunian bagi komunitas Belanda keluar dari kawasan seputar pusat kota Yogyakarta.

              Bangunan bercorak Eropadi kawasan Jetis antara lain adalah Hotel Phoenix, Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzen Djogdjakarta – sekarang SMUN 11 dan Kantor Jarahnitra, Holandsch-Inlandsche School – sekarang SLTPN 6, serta Princess Juliana School – sekarang SMKN 2, bangunan-bangunan perkantoran militer di jalan AM Sangaji sekarang, dan rumah tinggal di Jalan Diponegoro – dahulu Tugu Kulon – 70 yang pernah digunakan untuk markas IPI.

 

 

Gedung Sasmita Loka

 

              Bangunan ini berada di kawasan Bintaran, didirikan pada tahun 1890 untuk tempat tinggal pejabat keuangan Puro Pakualaman yang bernama Wijnschenk. Setelah revolusi kemerdekaan, bangunan tersebut ditempati oleh Kompi Tukul dari Batalyon Suharto selama 3 bulan kemudian digunakan sebagai rumah dinas Panglima Besar Sudirman.

              Setelah penyerahan kedaulatan dari Jepang ke RI, gedung ini pernah digunakan untuk Komando Militer Kota Yogyakarta, Asrama resimen Infanteri 13 dan penderita cacat, serta Museum TNI AD. Sejak tanggal 30 Agustus 1982 hingga sekarang digunakan untuk museum khusus yang berisi peralatan yang digunakan Jendral Sudirman ketika memimpin perang melawan Belanda.

 

 

 

 

Gereja Santo Antonius Kota Baru

 

              Perintis pendirian gereja ini adalah Romo F. Strater. pada awalnya, kegiatan keagamaan umat Katolik di Kota Baru diadakan di rumah Tuan Perquin (di depan Masjid Syuhada sekarang). Dengan adanya perkembangan umat, kemudian didirikan gereja dengan nama Santo Antonius van Padua. Penanggung jawab pendirian gereja tersebut adalah Romo J.Hoeberecht Sj. dengan dana dari Belanda. Pembangunan gereja selesai tahun 1926, dan pemberkatan dilakukan oleh uskup Mgr.A.van Velsen Sj. dari Jakarta.

              Gereja ini menghadap ke timur dengan bangunan berbentuk memanjang. Namun, pada saat ini sudah ada perluasan ruangan di sebelah utara. Atapnya berbentuk limasan, demikian pula kanopinya. Di bagian depan bangunan terdapat sebuah menara. Plafon berupa tembok berbentuk sungkup yang sangat tinggi. Tiang terbuat dari semen cor sebanyak 16 buah. Altar terdapat di sebelah barat. Pada saat ini ada penambahan lukisan-lukisan dinding bernuansa keagamaan pada tembok lengkung di depan ruang altar. Lukisan yang berwarna-warni menyolok terdapat di sepanjang dinding selatan ruang utama bagian atas. Bangku-bangku di ruang utama masih merupakan bangku lama.

              Di sisi selatan terdapat ruang untuk mempersiapkan upcara, dan tempat menyimpan alat-alat upacara. Di ruangan ini terdapat lampu-lampu kuna, cawan-cawan kuna yang berasal dari tahun 1922, serta salib dengan hiasan batu mulia. Di sisi utara terdapat ruang-ruang pengakuan dosa.

 

 

Susteran Amal Kasih Darah Mulia

 

              Menurut keterangan Suster Kepala, bangunan ini dahulu merupakan rumah tinggal, yang kemudian dibeli untuk dipergunakan sebagai rumah pembinaan calon-calon suster. Rumah tersebut menghadap ke utara, bertingkat dua. Fasadnya berbentuk segilima diapit dua ruangan di kanan-kirinya yang masing-masing mempunyai sebuah enara kecil bertingkat tiga.

              Ruang depan mempunyai tiga pintu dengan dekorasi berupa kaca timah berwarna-warni. Harus dihargai bahwa interior bangunan ini meliputi lantai dengan tegel marmer dan tegel biasa, plafon kayu yang dipernis, hiasan kaca timah, lampu gantung, almari kayubuilt-in, bufet, pelapis dinding dari kayu, bahkan sofa built-in, dapat dikatakan masih utuh. Dari interior dan pernik-perniknya yang mewah dan finishing yang prima dapat diduga bahwa bangunan ini dahulu milik keluarga Belanda kaya.

              Untuk menuju lantai atasa terdapat tangga kayu yang mempunyai hiasan berupa jeruji bersegi delapan. Di dekat tangga terdapat jendela dengan lubang angin diatasnya berbetuk bunga. Seluruh jendela dan pintu ruangan diberi hiasan kaca timah dengan berbagai motif. Dinding ruang tengah di lantai atas ini dahulu juga mempunyai pelapis dari kayu yang melapisiseluruh tembok ruangan, namun karena dianggap terlalu mewah untuk sebuah ruang suster, pelapis tersebut dibongkar dan dibuat sebuah lemari. Di luar ruangan tersebut terdapat sebuah balkaon kecil menghadap ke utara untuk melihat pemandangan.

              Di ruangan sebelah timur sebagian dindingnya juga mempunyai pelapis kayu. Selain itu terdapat pula meja rias mewah yang mempunyai tiga kaca rias berbentuk elips. Kaca yang di tengah berukuran besar, sedang kedua kaca samping yang lebih kecil dapat ditutupkan ke kaca yang lebih besar. Sedangkan kaca meja rias ini selalu ditutup karena dipandang terlalu mewah untuk suatu susteran. Di luar kamar terdapat sebuah kamar mandi dalam. Melihat beberapa data ini dapat ditafsirkan bahwa lantai atas ini adalah bagian pribadi, dan ruang timur berfungsi sebagai master-bedroom.

              Melihat kondisi keseluruhan bangunan indah yang terawat ini sudah sepantasnya jika usaha para suster Amal Kasih Darah Mulia untuk melestarikannya mendapatkan penghargaan. Oleh karena itu, pada tahun 2002 yang lalu mereka memperoleh penghargaan Warisan Budaya yang disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwana X.

 

 

Bekas Kantor Kementerian Luar Negeri

 

              Gedung ini merupakan salah satu bangunan di kawasan Kota Baru, dan berdiri di simpul jalan menuju jembatan Gondolayu. Diduga fungsi awal bangunan ini adalah rumah tinggal, sebagaimana peruntukan kawasan Kota Baru waktu itu. Sayangnya tidak diketahui nama pemilik aslinya.

              Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, ketika Yogyakarta menjadi ibu kota republik Indonesia (4 Januari 1946-1949), gedung ini difungsikan sebagai Kantor Kementerian Luar Negeri dan Kantor Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Pada tahun 1949 hingga tahun 1950, gedung tersebut difungsikan sebagai Kantor Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan saja. Setelah kantor Kementerian Pusat pindah ke Jakarta, maka tempat tersebut difungsikan untuk kepentingan instansi Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan antara lain untuk kantor Jawatan Kebudayaan Pusat (1950-1955); Kantor Perwakilan Jawatan Kebudayaan, Pembinaan Kebudayaan dan Kesenian; Kantor Bidang Muskala Kanwil Depdikbud DIY; serta akhirnya menjadi milik Biro Umum Pemda DIY.

              Bangunan ini awalnya merupakan bangunan rumah tinggal yang terdiri atas sebuah bangunan utama bertingkat dua, gudang, tempat penyimpanan kayu bakar, tandon air minum. Ruang tengah merupakan galery yang di belakangnya terdapat lorong menuju tempat tinggal para pembantu, dapur, kamar mandi dan gudang. Gedung ini berdinding tebal, berbatur tinggi, jendela berukuran lebar dan tinggi dengan teralis dari batangan besi. Kamar-kamarnya berukuran luas dan berlangit-langit tinggi. Daun pintu dan jendela berbentuk krepyak dan menggunakan petak-petak kaca bening (glazen ruiten) dan kaca buram (matglas).

              Rumah tinggal ini dilengkapi tangga I ruangan depan (voorhuis) dan di sudut belakang rumah. Bentuk tangga dibuat langsung ke atas (trapboorm) dan tanganan tangga terbuat dari kayu yang diberi hiasan berukir. Di lantai II terdapat balkon dan mezzanin yaitu ruangan pada lantai bertingkat tetapi tidak seluruhnya menutupi ruangan di bawahnya. Pada bagian atap, tepat di atas balkon, terdapat lucarne, yaitu jendela kecil yang terletak di atas kemiringan atap. Selain sebagai hiasan, lucarne berfungsi sebagai sirkulasi udara. Lingkungan di sekitar bangunan ini dilengkapi dengan sarana drainase yang menunjukkan bahwa pembangunan hunian di kawasan Kota Baru benar-benar direncanakan dengan cermat.

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Konsepsi Kosmo Filosofi Kraton

by admin || 01 April 2012

Secara Umum Karaton Yogyakarta adalah bagian dari mata Rantai kesinambungan pembangunan karaton-karaton di Jawa sehingga terdapat satu keterkaitan Tipologis yang mengaitkan Karaton Yogyakarta dengan ...


...
Sejarah Kota Yogyakarta

by admin || 01 April 2012

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur ...


...
Toponim Ngayogyakarta

by admin || 01 April 2012

Untitled Document Kota Yogyakarta pada masa lalu menjadi ibu kota kasultanan Yogyakarta, sebenarnya adalah sebuah kota yang terencana dimana komponen - kompenenya memang sudah diatur sedemikan ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta