Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa (4)

by admin|| 10 Maret 2014 || 55.814 kali

...

A. Dasar Hukum Pemakaian Bahasa Jawa

Dasar hukum pemakaian bahasa Jawa akan menjadi pijakan para pelestari dan pengembang bahasa dan sastra Jawa. Melalui dasar hukum yang lebih tinggi akan diturunkan ke dalam Perda-perda. Dengan aturan itu maka pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Dasar hukum tersebut bersifat mengikat kepada para pemakai bahasa Jawa. Pemakaian dan pengambil kebijakan bahasa Jawa di lingkungan DIY akan memformat secara strategis bagaimana membina dan mengembangkan pemakaian bahasa dan sastra Jawa di aras lokal. Selain hal-hal yuridis tersebut juga dikemukakan dasar hukum pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa sebagai berikut.

(1) UUD 1945 sebagai landasan yuridis formal. Seluk-beluk pengembangan bahasa dan sastra Jawa.

(2) Peraturan Mendagri nomor 40 tahun 2007.

(3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Jo. Peraturan Pemerintah Tahun 1950 sebagaimana telah diubah clan ditambah dengan Undang-undang Nomor : 26 tahun 1959,

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah clan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

(5) Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 2001, tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(6). Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Dinas Daerah di Lingkungan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(7) Keputusan dan percikan pemikiran dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang tahun 2006, meliputi:

(a) Pidato dan makalah-makatah kunci: Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia - Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gubemur Lembaga Pertahanan Nasionat, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia - Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional - Gubemur Jawa Tengah, Gubemur Daerah Istimewa Yogyakarta - Gubemur Jawa Timur;

(b) Makalah utama yang terdiri atas: - Komisi Pendidikan Formal - Komisi Pendidikan Informal dan Nonformal - Komisi Kearifan Lokal, - Komisi Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Jawa,

(c) Makalah Sumbangan, seperti Makalah Bupati Banyuwangi, Bupati Ponorogo, Bupati Bantul Bupati Blora, Bupati Banyumas, dan Walikota Tegal,

(d) Makalah para panelis, masukan dan saran dari peserta selama diskusi berlangsung dalam kongres, serta,

(e) Pandangan-pandangan, pikiran-pikiran, kritik, dan aspirasi darimasyarakat yang tersebar di berbagai media massa.

 

Peraturan Mendagri nomor 40 tahun 2007, telah menggariskan kebijakan yuridis pengembangan budaya daerah. Hal ini dapat dilihat melalui pasal-pasal sebagai berikut. Pasal 1 Dalam peraturan ini dimaksud dengan :

1. Kepala Daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.

2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang rnemegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.

5. Sosialisasi adalah upaya memasyarakatkan nilai dan norma atau peraturan agar dapat diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga swasta, dan masyarakat dalam kegiatan sehari-hari.

Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai sarana komunikasi resmi oleh pemerintah, antara pemerintah dengan rakyat, dan antarwarga masyarakat dalam menyatakan kehendak dan/atau menerima pendapat.

Bahasa Daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok-kelompok etnis di daerah-daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelestarian Bahasa adalah upaya untuk memelihara sistem kebahasaan yang digunakan oleh komunitas/ kelompok masyarakat yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakat tersebut.

Pengembangan Bahasa adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sistem kebahasaan yang digunakan oleh komunitas/kelompok masyarakat yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakat tersebut.

 

Pasal 2 Kepala daerah bertugas melaksanakan :

a. pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa negara di daerah;

b. pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia;

c.sosialisasi penggunaan bahasa negara sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajarmengajar, forum pertemuan resmi pemerintah dan pemerintahan daerah, surat-menyurat resmi/kedinasan, dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah;

d. sosialisasi penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan pelestarian dan pengembangan seni budaya di daerah.

 

Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, kepala daeraih:

a. melakukan koordinasi antarlembaga dalam pengutamaan penggunaan bahasa negara atas bahasa-bahasa lainnya pada berbagai forum resmi di daerah.

b. menerbitkan petunjuk kepada seluruh aparatur di daerah dalam menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/ badan sosial, petunjuk jalan dan iklan, dengan pengumuman penggunaan bahasa negara.

c. memberikan fasilitasi untuk pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah.

d. bekerjasama dengan instansi vertikal di daerah yang tugasnya melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.

 

Pasal 4 Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal dapat melibatkan potensi masyarakat yang terhimpun dalam organisasi kemasyarakatan, badan usaha swasta badan usaha milik daerah/negara, dan/atau lembaga pemerintah.

Pasal 5 (1) Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan kegiatan pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa negara. di daerah, serta kegiatan pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya di daerah sebagaimaula dimaksud dalam pasal 2 dan

pasal 3. (2 Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan pembinaan terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh bupati/wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 6 (1) Menteri melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegia pelestarian dan pengumuman penggunaan bahasa negara di daerah, serta pelestarian dari pengembangan bahasa daerah. (2) Gubernur selaku wakil pemerintah membantu Menteri dalam melaksanakan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan pelestarian dan pengumuman penggunaan bahasa negara di daerah kabupaten/kota, serta pelestarian dan pengembangan bahasa daerah. (3) Hasil pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 7 (1) Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan pemantauan secara berkala atas pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 5 ayat (1) yang hasilnya digunakan sebagai bahan evaluasi. (2) Untuk pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk tim evaluasi yang dipimpin oleh pejabat dari unsur sekretariat daerah dibantu oleh pejabat dari satuan kerja perangkat daerah yang menangani urusan kesatuan bangsa dan politik sebagai sekretaris tim dengan beranggotakan pejabat dari unsur satuan kerja terkait dan instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan. (3) Pelaksanaan kegiatan oleh gubernur selaku wakil pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat (2) didukung pendanaanya oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Pelaksanaan evaluasi secara nasional oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) didukung pendanaannya oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. Dasar hukum itu akan diterjemahkan ke dalam kebijakan Dinas Kebudayaan propinsi DIY untuk menentukan langkah strategis. Kebijakan selalu berkiblat dari landasan hukum yang disesuaikan dengan konteks DIY.

Hal ini mengingat Yogyakarta adalah wilayah khusus yang memiliki karakter landasan yuridis formal yang mewajibkan kepada birokrat tersendiri. Yogyakarta membutuhkan penanganan kebijakan bahasa dan sastra Jawa secara profesional. Konteks pembinaan bahasa dan sastra Jawa di DIY di samping berkiblat pada dasar hukum, juga disesuaikan dengan budaya setempat. Berbagai organisasi bahasa dan sastra Jawa akan didorong terus untuk memunculkan dan menumbuhkan bahasa Jawa. Pendek kata, landasan hukum itu dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu:

(1) berupa landasan yuridis yang mengikat, berupa keharusan yang harus dilaksanakan oleh segenap pemerhati bahasa dan sastra Jawa di aras lokal,

(2) landasan yang masih perlu diterjemahkan ke dalam kehidupan di DIY secara nyata, dengan memperhatikan budaya lokal.

 

B. Refleksi Keputusan KBJ IV

 

Dalam Artikelnya Endraswara (Suara Merdeka, 2006, Minggu) berjudul “Paradoksal, Kotak Hitam, Klobotisme, Dan Perda Bahasa Jawa” telah menyuntik berbagai pihak. Paling tidak, isi tulisan itu sebuah refleksi yang perlu direnungkan. Setuju atau tidak, kini bahasa dan sastra Jawa sedang “teraniaya”. Sakit keras! Maka, tak perlu heran – jika KBJ banyak jeritan histeris. Mungkin, salah satu sebabnya “dia” sedang terjebak pada lingkaran setan yang amat panas. “Dia” sedang terkena teror berbagai pihak yang latah. Maksudnya, pihak yang mau gerilya bahasa dan sastra Jawa hanya waktu KBJ saja. Pasca KBJ bisa jadi -- bahasa dan sastra Jawa mau jatuh ke limbah, biarlah! Paradoksal! Betapa tidak, di keglamoran KBJ, bahasa dan sastra Jawa terkena virus “flu burung”. Yang diduga oleh banyak kalangan tentang silang sengkarut KBJ IV, sekedar pesta sesaat, tak jauh meleset! Sah! Dengan ritual pengambilan api abadi, dari Grobogan, untuk menandai semangat KBJ, selamatan potong tumpeng oleh Gubernur Jateng, penyalaan blencong oleh Mendiknas, tak salah. Paradoknya, masih banyak panitia, pembicara, dan peserta yang tak tahu “berkongres”. Bertanya sambil melantunkan macapat, merebak. Banyak makalah yang diusung sekedar teoritik dan sempit, bukan aspek kebijakan bahasa dan sastra Jawa ke depan. Dari sidang ke sidang, relatif banyak makalah yang tumpang tindih. Persidangan terkesan bukan “kongres”, melainkan sekedar seminar (sarasehan) saja. Potret kegagalan harus muncul di KBJ. Seperti dijelaskan oleh sekretaris komisi E DPRD Jateng, Thantowi Jauhari (Kompas, 12/9), dana KBJ 4,2 miliar, dengan 800 peserta, rasional perhitungan anggaran per peserta 5,3 juta. Sebuah angka yang cukup basah, tetapi ironis. Dikatakan ironis, karena sebagian besar peserta harus menanggung penginapan sendiri, termasuk makan pagi dan sore. Sidang KBJ telah memunculkan arena “dagang ayam”. Ada sebagian pembicara dan peserta yang terang-terangan melakukan promosi produk, seperti buku, media VCD, media kaset, dengan penawaran yang menuju pada limbah bahasa dan sastra Jawa. Dari dana miliaran itu, baru persoalan “perut” yang terkonsumsi. Penerbitan buku-buku bahasa dan sastra Jawa, pemberian hadiah bahasa dan sastra, tak pernah ada. Hanya penerbitan “proyek” Caraka, jurnal KBJ intern yang muncul. Bahkan belakangan terjadi “protes” (bernuansa saru) bahwa pemberian honor minim pada pembicara, pemandu, dan notulis. Keprihatinan berbagai pihak tentang kurangnya greget KBJ, sulit dibantah. Apalagi, KBJ ini juga tak disertai “laporan pertanggungjawaban KBJ III”, cukup aneh sebuah kongres yang seharusnya ada kontinuitas – tanpa evaluasi KBJ sebelumnya. Hal ini harus disadari, karena siapa yang harus tanggung jawab, kabur. Celakanya, jika ada pihak lain yang mengoreksi tentang kredibilitas KBJ, yang terjadi justru salah paham.

Buktinya, perguruan tinggi besar yang membuka program Bahasa Jawa (UGM dan UI) pun tidak terlihat. Kekecewaan mereka, terutama karena tak ada satupun makalah yang “lolos seleksi”, maka memilih tidak hadir. Dari sini memang komunikasi selalu buntu. Maksudnya, panitia tak memberikan jawaban apa pun, bagi makalah yang gagal. Jika demikian berarti pelanggaran pada SK Gubernur tentang tugas panitia yang rigid, terjadi! Dominasi panitia Pengarah memang cukup tinggi. Panitia pengarah, harus merangkap sebagai pemandu lebih dari tiga sidang, ditambah lagi ada yang menjadi pemakalah, akan menyebabkan konsentrasi kurang. Belum lagi ditambah Pengarah juga sering harus banyak intervensi pada hasil Keputusan, lantaran tim perumus, hanya ketua tim saja yang bekerja. Dia tidak berkoordinasi dengan anggota perumus yang lain. Celakanya draf rumusan yang disiapkan awal. Karena panitia inti tak mau menghiraukan saran berbagai pihak, saya cuma bisa berharap di KBJ V Jatim nanti (telah disanggupi oleh Kabag Pendidikan Biro Bintal, Drs. Gunawan Pontjo Putro -- lebih arif lagi. Pengarah, dari orang yang mengetahui substansi Jawa dan perkongresan.

Dari sari-sari KBJ melalui Presiden (diwakili Mendiknas), Mendagri, Menbudpar, Gubernur 3 propinsi, gubernur Lemhanas, pembicara, dan peserta ada beberapa rumusan KBJ yang patut diketengahkan. Mendiknas, Bambang Sudibyo menegaskan, bahwa bahasa Jawa itu digdaya, kaya, maka kebijakan komprehensif bersifat otonom pada Gubernur -- agar mewajibkan muatan lokal bahasa Jawa di sekolah. Sri Hastanto, Dirjen Seni dan Film, mewakili Menbudpar, juga menyatakan bahwa bahasa Jawa itu menyimpan “kotak hitam”, seperti pesawat. Maksudnya, mutiara seluruh budaya leluhur ada di dalamnya. Bahasa Jawa adalah rekaman identitas bangsa. Sejalan dengan ini, maka Gubernur DIY, mengharapkan agar pembelajaran bahasa Jawa berbasis budaya dan lebih menyenangkan.

Target utama keputusan KBJ adalah keberlanjutan pembelajaran bahasa Jawa di SD-SLTA khusus DIY dan Jateng. Adapun Jatim diusulkan segera memberlakukan pembelajaran senada. Jika upaya ini sukses, dapat dinyatakan KBJ sukses besar. Bukan omong kosong lagi. Akan sukses lagi jika materi pembelajaran berkonteks kearifan lokal, yang mengandung nilai budi pekerti luhur. Lebih dari itu, diamanatkan dalam rumusan agar pembelajaran bahasa Jawa mampu memberdayakan sanggar-sanggar bahasa dan sastra, serta memanfaatkan media teknologi global. Secara tegas, Pertama, bahasa Jawa mulai ditinggalkan di jenjang pendidikan formal dan informal, maka perlu langkah strategis menghidupkan kembali kekayaan leluhur sebagai identitas budaya yang tak tergantikan. Kedua, perlu segera dilakukan format ulang pembelajaran, pengkajian, dan pengembangan bahasa Jawa lewat berbagai segi. Ketiga, perlu kerjasama sinergis di antara stakeholders yang menangani bahasa Jawa. Atas dasar simpulan itu, dirumuskan berbagai hal antara lain: Pertama, perlu segera dibentuk dan disyahkan Perda Bahasa Jawa, sebagai “payung agung”. Perda ini menurut Gubernur Jateng akan melandasi gerak pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Di antara substansi yang perlu masuk dalam Perda, yaitu:

(1) penciptaan “hari bahasa Jawa” di instansi,

(2) penyediaan dan pengangkatan guru bahasa Jawa di SD-SLTA sebagai guru bidang studi,

(3) alokasi waktu per minggu,

(4) pemberdayaan MGMP,

(5) pemberdayaan sanggar sastra, dan sebagainya.

 

Kedua, pembelajaran bahasa Jawa perlu direvolusi. Revolusi adalah merombak total, ke arah penyederhanaan kurikulum dan materi. Kurikulum diarahkan pada analisis kebutuhan, otonomi sekolah, dan kontekstual. Relevansi materi yang terkesan sebagai momok (hantu) dan kurang aplikatif, harus dibabat. Di tingkat SD, biarlah pada tingkat menyenangi bahasa Jawa, tidak perlu hafalan istilah jenenge kembang misalnya, melainkan dikemas fungsional estetis. Seperti, dikolaborasikan dengan dengan tembang dolanan dan permainan tradisonal. Ketiga, perlu segera dilakukan standar kompetensi guru pemula (SKGP) bahasa Jawa. Maksudnya, karena dengan munculnya SK gubernur Jateng dan DIY serta segera disusul Jatim tentang pembelajaran bahasa Jawa di SLTA, ada berbagai kesulitan penyediaan guru. Akibatnya ada perguruan tinggi swasta yang belum memiliki tenaga mnemadai, ikut eforia membuka program bahasa Jawa, bahkan ada lembaga kursus yang berpromosi “menghasilkan tenaga guru”. Maka perlu ada standar pemula seorang guru bahasa Jawa, yang kelak ditunjang dengan SK Bupati/Wali Kota pada saat penerimaan guru, hendaknya memiliki SKGP:

(a) harus mampu membaca dan menulis aksara Jawa,

(b) mampu menembang Jawa,

(c) mampu sesorah, dan

(d) mencipta karya berbahasa Jawa.

 

C. Sosialisasi Keputusan Kongres Bahasa Jawa IV


1. Kebijakan Sosialisasi Kongres Bahasa Jawa IV

 

Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV telah disosialisasikan ke masyarakat Jawa Yogyakarta. Keputusan itu banyak memberikan landasan filosofi terhadap pengembangan bahasa dan sastra Jawa. Banyak hal yang dihasilkan dalam kebijakan KBJ IV yang momental. Maka para pengambil kebijakan sudah sepantasnya menyetujui dan mengikuti apa saja ayng diputuskan dalam kongres. Kongres merupakan dasar pijakan moral dan filosofi aktivitas bahasa dan sastra Jawa yang pantas dikedepankan. KBJ IV telah disosialisasikan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi DIY tahun 2007 yang lalu di Benteng Vredeburg. Dalam buku yang telah disusun oleh Dinas Kebudayaan sebagai rangkaian hasil sosialisasi, KBJ IV tanggal 10-14 September 2006 di Semarang merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa sebagai wujud ketahanan budaya lokal yang semakin terpinggirkan karena adanya hegemoni budaya asing. Keputusan-keputusan KBJ telah dirumuskan oleh panitia KBJ IV Tahun 2006 berdasarkan hasil-hasil sidang maupun paparan-paparan makalah. Selain berhasil mervmuskan keputusan KBJ, panitia juga berhasil merumuskan rekomendasi-rekomendasi dalam bidang

(1) pendidikan formal,

(2) pendidikan informal dan nonformat,

(3) kearifan lokal, dan

(4) pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa.

Keputusan dan rekomendasi KBJ IV selengkapnya dapat dilihat dalam paparan di bawah ini.

Rekomendasi penting banyak dituangkan dalam kongres tersebut. Yang sekarang menjadi “PR”berat bagi instansi terkait dengan KBJ IV itu, adalah realisasinya yang strategis. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa rekomendasi penting yang terkait dengan bidang pendidikan formal, pendidikan informal, kearifan lokal, dan pendidikan non formal.


2. Kebijakan Bahasa Jawa di tingkat Pendidikan Formal


Berbagai keputusan KBJ IV terkait dengan pendidikan formal memang telah ada yang berjalan, meskipun belum sempurna. Ada pula yang baru pada tahap perencanaan. Beberapa keputusan penting dalam pendidikan formal adalah sebagai berikut.

a. Bahasa Jawa menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib yang diajarkan di sekolah-sekoiah mulai SD/Ml, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga Provinsi, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur.

b. Pemerintah daerah di tiga provinsi segera menyediakan formasi dan mengangkat guru bahasa Jawa di SD/MI, SMPIMTs, SMA/SMK/MA.

c. Secara bertahap, guru bahasa Jawa harus lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan sastra Jawa.

d. Perlu pengadaan buku ajar bahasa Jawa yang lolos seleksi oleh tim penilai yang independen.

e. Perlu penerbitan pedoman aksara Jawa yang mapan dan lengkap, menjelang KBJ V di Jawa Timur.

f. Perlu segera menggali nilai budi pekerti melalui karya-karya sastra Jawa yang berbentuk wulang sebagai bahan pembelajaran.

 

Situasi pembelajaran di tiap-tiap jenjang pendidikan melalui keputusan KBJ IV, agar mulai ditata ulang. Penataan ulang pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, agar tidak ada kesan bahwa di SD lebih sulit dibanding SMP. Selain itu, penataan kebijakan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa sekaligus mengantisipasi keluhan-keluhan berbagai pihak bahwa pembelajaran bahasa Jawa itu menakutkan. Inti dari keputusan KBJ IV di tingkat pendidikan formal, tergambar bahwa SD meliputi kelas I - V sedangkan Pendidikan Menengah kelas VII - IX. Pada ma sekarang ini bahkan mengartikan pendidikan dasar itu selama (sembilan) tahun. Bahkan bentuk ekstrem-nya seorang Kepala Daerah/ Bupati: bila rakyatnya ada yang tidak bisa melanjutka pendidikan setelah lulus SD beliau yang akan membiayai sekolahnya {paling sedikit anak harus lulus SMP / sekolah dan kelas IX. Pada jenjang tertsebut bahasa dan sastra Jawa wajib diajarkan secara menyeluruh tanpa terkecuali. Semua keputusan dan rekomendasi hasil Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2006 di bidang pendidikan formal perlu ditindak lanjuti oleh ketiga provinsi, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur.

Dewan Bahasa Jawa di tiga provinsi perlu melakukan sosialisasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan dan rekomendasi kongres dengan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi bersangkutan. Oleh karenanya sepatutnya, bahwa guru mendapat penghargaan. Kita turut berbangga hati ada seorang guru di pedalaman mengajar kelas I hingga kelas VI, dikarenakan memang hanya dialah guru satu-satunya yang bertahan "menderita" mengingat kemajuan pendidikan di tempat-tempat lain yang serba lebih enak mudah dalam segala hal. Di DIY yang tengah menggodog Perda Aksara dan Bahasa Jawa sudah sampai DPR diseyogyakan segera direalisasikan Dalam pendidikan formal, Harjowiyono (2007) pada waktu sosialisasi KBJ IV di benteng Vredeburg menjelaskan bahwa meskipun pra TK dan TK tidak termasuk dibicarakan (maksudnya para gurunya) justru ini perlu sekali. Mengapa demikian? Karena anak usia 0 - 12 tahun itu menurut penelitian orang Amerika (psikiater/dokter ahli jiwa), anak usia seusia 0 - 12 tahun itu sangat peka amat atau sangat mudah menerima pelajaran bahasa apa pun, dan demikian merasuk ke dalam jiwa sanubarinya, dan tersimpan dalam di alam pikir para anak tersebut, dan juga tidak mudah lupa meski sampai usia tua (Poedjosoedarmo,1980: 6). Jadi mau tidak mau anak usia 0 - 6 tahun itu perlu diperhatikan juga, terutama bagi orang tuanya dan para gurunya. Anak-anak tersebut pembimbingannya dengan hal-hal yang menyenangkan. Mula-mula diperkenalkan dengan alam sekitamya terutama yang menyenangkan mereka. Semua itu tidak lepas dari makna konteks. Tanpa semua itu, hanya berujud hafalan yang kadang-kadang membosankan. Demikian juga mengenaikan kata-kata halus, asal tidak iepas dari makna konteks. Sambil tiduran sebelum merasa sangat mengantuk, dapat diisi pembelajaran kata-kata halus yang disebut: krama inggil / harus / hormat. Misalnya: Adhik arep bobuk. Halusnya: Bapak/lbu arep sare. Adik akan tidur. Ayah/Ibu akan tidur! Adik arep lunga sekoiah. Bapak arep tindak kantor, dsb. Masih banyak contoh lainnya. Kiranya orang tua / ayah ibu mereka serta gurugurunya akan senang mengajarkan hal-hal yang menyenangkan anak didiknya. Cerita tokoh-tokoh wayang menarik juga bagi anak-anak. Cara mengenalkan pada anak, mereka sekali-sekali diajak melihat pergelaran wayang orang maupun wayang kulit. Dengan begitu anak akan senang dan mengenal nama-nama tokoh tersebut. Apa lagi bila di rumahnya atau di sekolahnya ada gambar wayang dipasang pada dinding untuk hiasan. Bila anak sudah masuk sekolah kelas I, tentu sudah ada mata pefajaran bahasa Jawa. Biasanya anak merasa kesulitan bila belum biasa diperkenalkan dengan bahasa Jawa! Maklum setiap rumah berbeda pula visi dan misinya terhadap masa depan anak-anaknya. Pada hal semua ilmu kelak ada gunanya, meskipun anak tidak memilih keahlian bahasa Jawa (termasuk sastra dan budayanya). Tetapi harus diingat bahwa masa depan anak belum tentu lurus seperti yang dicita-citakannya atau cita-cita orang tuanya. Agar diingat bahwa profesi anak kelak baik diikuti nilai plusnya, hal itu untuk memberi kompensasi atas profesi pokoknya.

Pelajaran tatabahasa Jawa diberikan dalam bentuk: konteks, hal itu tentu tidak akan ambigu maknanya, apa lagi ejaannya tidak membingungkan taling dan pepet dibedakan (taling = e; pepet = e). Sedangkan tentang istilah tatabahasa pakailah bahasa Indonesia saja, misalnya : kata benda, ka ulang / jangan disebut dengan dwilingga, karena ada bahayanya misal: guru-guru dengan omah-omah beda, uceng-uceng deng alun-alun, athi-athi ; belum yang disebut dwilingga (keliru) mlaku-mlaku, yang lain : mloka-mlaku disebut: dwilingga salin swara dst. Hal itu siswa tidak dibebani tentang nama rimba tembung. Jika yang ingin mendalami tatabahasa Jawa denga disiplin bidang linguistik akan lain. Bahan ajar di sekolah biasanya yang dipergunakan buku-buku ba dan buku buatan pengurus MGMP setempat (wajib), sedangkan bila ada buku ajar yang lain, itu hanya tambahan, jadi tidak diwajibkan, meski sebagai pendamping pun tidak disebut. Dalam hal ini pengarangnya harus berlapang dada, apalagi diantara pengarangnya sudah pada pensiun, jangan mengharap buku-buku hasil karangannya, bila tidak terkenal (pengarangnya). Uraian di atas sebenarnya untuk porsi SLTA (SMA/ SMK/ MAN namun sudah terlanjur jadi nanti dalam praktik untuk pengetahuan para gurunya saja. Sedangkan untuk para siswa SLTP (SMP/ MTs) pengetahuan dasar sastra dan unggah-ungguh bahasa Jawa, terutama dalam praktiknya berbahasa Jawa ngoko dan krama tentu diusahakan yang halus hormat dalam kalimatnya ada kata-kata krama inggil atau andhapnya (krama inggil yang bisa diterapkan pada diri sendiri (pembicara = 0 1 / orang pertama). Bila para siswa sudah tidak keliru penerapannya berarti sudah menguasainya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa :

(1) Pengajaran bahasa Jawa sebaiknya mempergunakan bahasa Jawa krama, bila dipergunakan dengan bahasa Jawa ngoko, baik memilih ngoko halus,

(2) Para siswa hendaknya diperkenalkan dengan alam sekitar serta pemeliharaannya,

(3) Sesuai masa kanak-kanak yang suka berdendang, lagu kanak-kanaklah yang selalu diajarkan, lagu dolanan,

(4) Para siswa keias III - VI sudah diperkenalkan puisi Jawa tembang Macapat; dipilih yang kata-katany menyenangkan dan mudah dihafal,

(5) Misalnya ada para guru belum menguasai benar temban macapat tadi, dimohon atasan memberi waktu kesempata untuk kursus tembang macapat itu,

(6) Para guru menganjurkan kepada para siswanya masuk belajar di sanggar-sanggar seni yang berhubungan dengan seni budaya Jawa,

(7) Alokasi waktu pelajaran bahasa Jawa paling sedik 3 (tiga) jam pelajaran, satu jam pelajaran untuk prakti berbahasa dan seni budayanya,

(8) Digiatkannya perpustakaan sekolah sudah memiliki buku-buku berbahasa Jawa, dari tatabahasa, bunga rampai bacaan behuruf Latin maupun Jawa, dan juga kamus eka/ dwi/ bahkan catur bahasa, dan penting untuk praktik berbahas KUUBJ.


3. Bahasa Jawa di tingkat Pendidikan Informal dan Nonformal


Bahasa dan sastra Jawa di tingkat pendidikan informal dan non formal tidak kalah penting dibanding dengan pendidikan formal. Pendidikan informal yaitu keluarga, justru menjadi ajang sosialisasi dan penggunaan bahasa dan sastra Jawa pada tahap awal. Orang Jawa akan lebih banyak melakukan kontak sosial berbahasa di kalangan informal. Kegagalan pendidikan formal, jelas akan berpengaruh terhadap pendidikan formal. Bahasa Jawa di pendidikan formal memang berjalan secara alamiah. Hal ini tergantung masyarakat atau keluarga dalam membiasakan diri agar anak dan remaja tidak kehilangan bahasanya. Dalam keluarga Jawa tiada buruknya membiasakan berkomunikasi harian dengan bahasa Jawa, seyogyanya yang halus/hormat baik ngoko maupun krama. Meskipun visi dan ideal baik orang tua maupun putra putrinya tidak ingin jadi ahli bahasa budaya Jawa. Hal ini setidaknya memperkuat budi pekerti atau akhlak. Dalam masyarakat yang boleh dibilang global ini banyak kita jumpai seorang berprofesi bukan ahli bahasa Jawa, tetapi justru menggeluti bahasa dan budaya Jawa sebagai dalang, ahti karawitan, waranggana, seni campursari, penari Jawa, Sunda, Bali. Mereka itu banyak yang bergetar kesarjanaan: Ir.IS.T., S.H., dokter (dr.), Drs./Dra. Dengan keahlian berbeda-beda, misalnya sarjana sastra budaya menjadi penari serta pengajar Seni Tari, dan bahkan seorang dosen bergelar S.E. menggeluti bidang panatacara (M.C.) dan jadilah sumber keuangan yang tidak sedikit.

Berbagai kegiatan di tingkat non formal, juga akan menjadi acuan bagi siapa saja yang terjun ke pembinaan bahasa Jawa. Berbagai LSM, sanggar, paguyuban, dan sebagai yang terkait dengan bahasa dna sastra Jawa banyak yang menaruh perhatian terhadap pembinaan dna pengembangan bahasa dan aksara Jawa. Di bawah ini ada beberapa stakeholder terkait yang semestinya memiliki andil dalam bidang bahasa dan sastra Jawa, yaitu:

a. Sanggar bahasa dan sastra Jawa, paguyuban bahasa dan sastra Jawa perlu dikembangkan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa.

b. Pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa periu ditingkatkan melalui berbagai kegiatan, seperti lomba, sarasehan, pelatihan, dan kursus di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi maupun antar- ketiga provinsi.

c. Lembaga keagamaan, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga kebudayaan perlu memberikan dukungan.

d. Lembaga politik dan pemerintahan di tingkat terbawah seperti RT, RW/RK, kelurahan, kecamatan sampai presiden perlu membangun komunikasi strategis dengan bahasa Jawa. Meskipun mereka itu bukan semata-mata sebagai pelaksana, tetapi memiliki andil penting dalam menyiapkan berbagai keputusan yang dapat menunjang pelaksanaan bahasa dan sastra Jawa. Pembinaan bahasa dan sastra Jawa di tingkat pendidikan nonformal dan informal, seyogyanya diarahkan ke jalur.

Kearifan lokal sebagai aset budaya Jawa perlu diaktualisasikan dan apresiasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara dengan semangat kebhinekatunggalikaan. Kearifan lokal ini yang akan menandai seseorang memiliki watak bahasa yang cerdas dan berbudi luhur. Ketiga jalur keputusan itu mulai dirintis realisasinya dari tahun ke tahun, menuju KBJ V di Jawa Timur yang akan datang. Pada KBJ V nanti diharapkan telah terselenggara seluruh keputusan KBJ IV. Kongres Bahasa Jawa V tahun 2011 dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, perlu dibentuk Badan Pekerja Kongres. Sebuah badan yang telah digagas sejak KBJ I ini memang memiliki nilai strategis, bahkan belakangan ada pula yang mencetuskan ide untuk membentuk dewan bahasa.

 

D. Pemberlakuan Keputusan Gubernur tentang Bahasa Jawa

 

Pemberlakuan keputusan gubernur DIY, Jateng, dan Jatim patut diacungi jempol. Sayangnya di tiga propinsi itu belum seluruhnya melaksanakan Surat Edaran Gubernur, terutama di Jawa Timur. Adapun di DIY dan Jawa Tengah telah terlaksana dan berangsur-angsur tertata, meskipun gurunya masih mencomot sana sini. Biarlah situasi semacam ini berjalan begitu saja dahulu, pada gilirannya tentu hal itu akan terwujud lebih baik lagi. Di DIY keputusan Gubernur masih berupa Surat Edaran yang ditegaskan lagi dengan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan. Pemberlakuan Surat Edaran itu seringkali terkendala oleh berbagai kebijakan Kepala Sekolah yang hendak menekankan mata pelajaran tertentu. Mata pelajaran bahasa Jawa sering dianggap kurang diperankan dalam penentuan hasil ujian. Bahkan pada tiap sekolah ada yang kurang memperhatikan mata pelajaran bahasa Jawa. Hanya mata pelajaran yang di-Ebtanaskan saja yang dianggap penting, akibatnya pelajaran bahasa Jawa kurang begitu diperhatikan. Yang sampai sekarang belum ada kebijakan Gubernur adalah kebijakan tentang pelestarian dna pengembangan bahasa dan sastra Jawa di lingkungan pendidikan formal dan informal.

Berbagai pembinaan sanggar, paguyuban, yayasan, dan kelompok-kelompok yang menggeluti bahasa dan sastra Jawa kurang ada penekanan. Padahal kelompok atau paguyuban bahasa dan sastra itu sebenarnya amat membutuhkan uluran tangan pemerintah. Oleh karena masih banyak menunggu uluran tangan pemerintah, tidak sedikit paguyuban yang menekuni Jawa terseok-seok jalannnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada baiknya lembaga pemerintah yaitu Dinas Kebudayaan akan segera memperhatikan masalah itu. Maksudnya, dalam waktu yang akan datang Dinas Kebudayaan akan memprogramkan, bagaimana membina aktivitas LSM dan paguyuban yang bergerak di bidang bahasa dan sastra Jawa. Paguyuban dan sanggar (bahkan juga Laboratorium Bahasa dan Sastra Jawa dapat dibentuk di luar sekolah akan diorganisir secara sistematis, agar bentuk, struktur, sistem, pola kerja, dan lain-lain lebih tertata rapi dan menunjukkan hasil yang signifikan. Kegiatan perkumpulan itu dilaksanakan oleh para anggota (baik ada maupun tak ada kartu anggota) dengan didampingi oleh "pembimbing" yang berpengalaman akan diorganisir oleh Dinas Kebudayaan. Dengan cara ini paguyuban akan lebih hidup dan bergerak lebih leluasa. Dinas kebudayaan semacam terpanggil untuk ikut andil dalam hal:

(1) menciptakan lingkungan yang menunjang, yang mencakupi penumbuhan minat menulis, senantiasa menambah pengetahuan, berpacu dalam kebaikan,

(2) membina teknik menulis, teknik berbicara, mencari yang baru dan segar, dan

(3) mengkaji dan diskusi, misalnya tentang situasi di sekitar kita, kemudian mengkritik, da

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa (1)

by admin || 10 Maret 2014

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bahasa dan sastra Jawa merupakan refleksi budaya masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya ...


...
Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa (2)

by admin || 10 Maret 2014

Setelah sedikit berlelah njajah desa milang kori dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa, alhamdullillah wa syukurillah akhirnya masih bisa kami temukan beberapa genggam benih yang siap ditabur, ...


...
Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa (3)

by admin || 10 Maret 2014

A. Visi dan Misi Pengembangan Kebahasan dan Kesasteraaan Visi bidang kebahasaan dan kesasteraan adalah menggali nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam berbagai peninggalan leluhur, berupa ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta