by pamongbudaya|| 04 Juli 2022 || || 3.249 kali
Kemajuan Teknologi sebagai Penggerak
Sekitar abad ke 12 hingga 15 Masehi, Eropa mengalami kemunduran dalam banyak hal. Pencerahan yang dikenal dengan renaissance kemudian mendorong kemajuan teknologi dan kebudayan mereka. Tahun 1700an di kota-kota besar Eropa saat itu, seperti, London, Amsterdam, Leyden, dan Paris terjadi perubahan cara pandang manusia terhadap dunia, yang mengubah secara fundamental bagi jalannya peradaban manusia ke depan. Fenomena ini kemudian membuat banyak orang tertarik dengan seluk-beluk kehidupan alam dan dunia bendawi di sekitar mereka. Gejala ketertarikan tersebut ditemui hampir di semua kalangan, baik oleh penguasa, seperti Gubernur dan Raja, pendeta, bangsawan, tuan tanah, bahkan pedagang, yang berjalan seiring dengan pengalihan tugas-tugas kerja seperti pemrosesan makanan, pembuatan tekstil, dan pekerjaan kayu dan besi kepada kaum pekerja atau buruh (Pearce, 2010).
Kemajuan teknologi transportasi, terutama dengan adanya penemuan mesin uap, telah memicu pergerakan pelayaran ke seluruh penjuru dunia untuk menemukan sumber-sumber komoditas perdagangan baru. Pelayaran yang tidak hanya untuk tujuan dagang, tetapi punya tujuan lain yakni politik kolonialisme. Kolonialisme mencirikan dominasi internal suatu kelompok atas kelompok yang lain. Dominasinya mencakup kebudayaan, ideologi, sistem nilai, dan lain sebagainya (Vonk, 2013). Para pedagang, pegawai pemerintah di negeri jajahan, dan para peneliti sering membawa pulang ke Eropa berbagai macam benda budaya seperti senjata-senjata tradisional, benda-benda seni dan kerajinan dari wilayah yang disinggahi atau kuasai. Pun juga tulang-tulang tengkorak manusia dari berbagai ras yang ada di muka bumi tak luput dari perhatian mereka, yang kemudian turut diangkut ke Eropa. Benda-benda tersebut kemudian dikenal dengan benda etnografi yang pada awalnya dikumpulkan di istana atau rumah para bangsawan dan saudagar sebagai koleksi benda-benda yang dianggap aneh oleh orang-orang Eropa kala itu (Koentjaraningrat, 1987).
Munculnya Pameran-Pameran
Makin hari semakin banyak benda etnografi yang terkumpul dan tersimpan. Hal tersebut mendorong pemiliknya untuk memamerkan benda etnografi yang telah terkumpul. Pada akhir abad 18 pengetahuan mengenai benda-benda etnografi menjadi makin populer di kalangan orang kaya Eropa. Kemudian muncullah ide untuk mengorganisasi museum-museum etnografi.
Paruh kedua abad 19 merupakan tahun-tahun yang penuh dengan pameran industri di kota-kota besar di kawasan Atlantik Utara. Mulai dari pameran yang bertajuk Great International Exposition di Crystal Palace, London tahun 1851, sampai pada pameran New York’s “Crystal Palace” Fair tahun 1853 yang kemudian bergulir secara bergantian selama hampir tujuh dekade.
Tahun 1867 Louis Napoleon menyelenggarakan Paris Exposition dengan maksud untuk menunjukkan kepada dunia tentang stabilitas dalam negeri selama masa pemerintahannya. Benda-benda koleksi Louis XIV di Paris, Perancis dipamerkan untuk memperlihatkan bagaimana tatanan dunia di bawah kekuasaan dinasti Bourbon. Demikian juga yang dilakukan di Inggris, pameran benda-benda seni digelar secara temporer untuk tujuan politis guna menunjukkan kekuatan pemerintahan Tudor. Pesan yang ingin disampaikan dalam pameran kala itu adalah pemberian makna baru terhadap benda koleksi sebagai lambang kedigdayaan penguasa (Yamaguchi, 1991).
Pameran tersebut dalam konsep dan konstruksinya, dianggap sebagai bagian dari era imperialisme klasik. Barang yang dipamerkan didominasi bahan-bahan mentah untuk industri. Pameran juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan yang menjelma menjadi kerajaan bisnis yang bergerak dalam bidang manufaktur yang bahan bakunya diperoleh dari wilayah koloni jajahan mereka. Sebagai sebuah fenomena, pameran industri ibarat pesta perayaan penguasaan bangsa yang beradab (Barat) atas sumber daya alam dan budaya dari bangsa yang dianggap terbelakang atau primitif (Hinsley, 1991).
Orang-orang Eropa pada saat itu merasa tidak cukup hanya dengan mengambil dan memamerkan benda-benda budaya, bahkan mereka memboyong manusia/individunya langsung ke Eropa dari negeri asalnya. Orang-orang ini dipertontonkan untuk memuaskan rasa keingintahuan mereka tentang dunia lain di luar Eropa.
Pameran pertama di New York tahun 1853, bertemakan “Machinery” berisi hal-hal terkait dengan seluk-beluk permesinan, terutama untuk memperkenalkan mesin jahit. Namun dalam pelaksanaannya ditampilkan pula manusia-manusia pelaku budaya. Di antara yang ditampilkan dalam pameran adalah seorang penari misterius yang dijuluki Lady in Red, kemudian manusia liar dari Borneo (Wild Man of Borneo), manusia kanibal dari Fiji, serta tenda yang menampung tiga ratus orang yang berasal dari lima puluh suku Indian.
Praktik untuk mengirimkan misi ke wilayah terpencil untuk membawa kembali komunitas-komunitas yang dianggap eksotis untuk dipamerkan kepada publik Eropa marak di era 1870an. Seperti yang dilakukan oleh pelatih hewan dan ahli kebun binatang dari Hamburg bernama Carl Hagenbeck. Sekitar tahun 1876, Hagenbeck mengirim koleganya yang bernama Johan Adrian Jacobsen untuk mencari dan membawa koleksi artefak dan enam orang Eskimo dari Greenland ke Hamburg. Kemudian misi serupa dilaksanakan sampai akhirnya terjadi tragedi di mana seluruh anggota dalam misi tersebut meninggal akibat cacar yang menurunkan semangat Hagenbeck untuk memamerkan orang-orang dari suku terpencil. Dua tahun kemudian usaha tersebut dimulai lagi dan berhasil menggelar pameran di dua puluh tujuh kota selama sebelas bulan tour yang melibatkan sekitar dua ribu artefak (Hinsley, 1991).
Pameran semacam itu digambarkan sebagai bentuk perpaduan antara rasa ingin tahu yang mendalam dan ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan, antara ruang mengerikan dan ruang pamer medis, antara pertunjukan sirkus dan kebun binatang, antara pertunjukan teater dan display etnografi yang hidup dan nyata. Pameran-pameran semacam itu ditentang oleh orang-orang protestan konservatif yang memaksa mereka untuk memindahkan tempat display pamerannya dari teater atau tempat pertunjukan ke dalam museum (Kirshenblatt-Gimblett, 1991).
Budaya sebagai Komoditas
Hal menarik disampaikan oleh Curtis M. Hinsley, seorang sejarawan Amerika, bahwa sebenarnya pameran yang menampilkan segala macam bentuk etnografi tersebut pada dasarnya menunjukkan kekuatan uang dalam membentuk relasi manusia. Disampaikannya bahwa The Columbian Exposition tak lebih merupakan perayaan untuk menciptakan pasar. Perdagangan dan pertukaran mengandung asa untuk dapat memecahkan masalah perbedaan di antara umat manusia. Proses komersialisasi berasumsi bahwa pada dasarnya segala hal dapat dijual dan setiap orang mempunyai harga, dengan kata lain dunia dapat dilihat sebagai uang (Hinsley, 1991).
Kemajuan teknologi transportasi yang digunakan dalam perdagangan seperti kapal uap dan kereta api, pada dasarnya merupakan simbol dari pergerakan barang, jasa, dan tentu saja manusia. Pergerakan utamanya didorong oleh kolonialisme yang berlayar dari pusat (Eropa) ke daerah periferal (jajahan) dan kemudian kembali lagi ke Eropa. Maka tidak mengherankan jika masyarakat di daerah jajahan menjadi pasar yang menarik. Dengan kata lain, ketertarikan utama orang Eropa terhadap masyarakat asing di wilayah jajahannya bukan disebabkan oleh keindahan budayanya tetapi lebih pada faktor ekonomi yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan material dan finansial bagi kolonial (Hinsley, 1991).
Museum dan Kolonialisme
Memamerkan koleksi etnografi menjadi kegiatan yang umum dilakukan pada abad 19 di Eropa. Salah satu acara yang cukup fenomenal adalah World Fair. Materi etnografi yang ditampilkan dalam World Fair berasal dari masyarakat negara-negara yang dijajah oleh negara-negara Eropa (Hinsley, 1991). Pameran ini diakui sebagai pameran yang terbesar dan paling kompleks dalam konteks program-program acaranya. Pameran berfungsi sebagai laboratorium arsitektur, pusat penelitian lapangan antropologi, gambaran “kebudayaan awal” manusia, penggerak konsumerisme, sekaligus nasionalisme, dan tempat untuk merekonstruksi masa depan yang diimpikan oleh pandangan kolonialisme. Di sisi lain World Fair ikut andil dalam pengembangan museum di Eropa, di mana benda-benda yang ditampilkan dalam World Fair kemudian banyak yang dikirim ke museum demi menghemat biaya pengiriman kembali ke negara asal benda tersebut (Rydell, 2006).
Sebagai institusi sosial dan budaya, museum berperan dalam mengemas pengetahuan melalui pameran. Museum mengoleksi obyek, memilih topik, dan membangun wacana lewat kegiatan pameran. Dengan begitu, museum bukan hanya mementaskan kebudayaan tetapi memegang otoritas yang besar dalam ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, museum memiliki kekuatan untuk membentuk ideologi dan keyakinan masyarakat tentang sesuatu yang dianggap benar melalui pameran mereka (Dai-Rong, 2006). Museum berkontribusi dalam pembangunan dan penyebaran budaya kekuasaan kolonial kepada masyarakat abad 19. Sebagai alat kolonialisme, museum memamerkan mimpi-mimpi kolonial untuk mengontrol dan mengatur masyarakat melalui eksplorasi, pengumpulan, dan pengklasifikasian yang lebih detail terhadap alam dan budaya yang ada di dunia (Legene, 2012).
Kepustakaan
Dai-Rong, Wu. 2006. Cultural Hegemony in The Museum World. Conference Paper.
Hinsley, Curtis. M. 1991. “The World as Marketplace: Commodification of the Exotic at the World?s Columbian Exposition, Chicago, 1893” dalam Ivan Karp danSteven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.
Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1991. “Objects of Ethnography” dalam Ivan Karp dan Steven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.
Kontjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Legene, Susan. 2012. “Powerful Ideas Museums, Empire Utopias and Connected World” Dalam ICMAH – COMCOL Annual Conference. South Africa.
Pearce, Susan. 2010. “The Collecting Process and The Founding of Museums in The Sixteenth, Seventeenth, and Eighteenth Centuries” dalam Susanna Pettersson (ed). Encouraging Collections Mobility – A Way Forward for Museums in Europe. Helsinki: Finnish National Gallery
Rydell, Robert W. 2006. “World Fairs and Museum” dalam Sharon Macdonald (ed). A Companion to Museum Studies, Oxford: Blackwell Publishing.
Yamaguchi, Masao. 1991. “The Poetics of Exhibition in Japanese Culture” dalam Ivan Karp dan Steven D. Lavine (ed). Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution.
Oleh: Sony Saifuddin (Pamong Budaya Pemda DIY)
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...
by pamongbudaya || 22 November 2019
Oleh Sony Saifuddin* 2019 Istilah museum memiliki dua pengertian, pertama adalah yang dipahami secara umum yaitu tempat berkumpulnya sembilan Dewi Muse (Dewi Kesenian), kedua lebih khusus ...
by admin || 02 Januari 2020
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY membuka pendaftaran Duta Museum DIY 2020 dari tanggal 6 - 17 Januari 2020.Kamu yang berminat untuk memajukan kebudayaan dan permuseuman di DIY ?Daftar ...
by admin || 08 Januari 2020
Pada hari Kamis, 2 Januari 2020 yang lalu, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) menempatkan edukator museum ke beberapa museum di Daerah istimewa Yogyakarta. 18 tenaga edukator ini ditempatkan di ...