by pamongbudaya|| 22 November 2019 || || 7.193 kali
Oleh Sony Saifuddin*
2019
Istilah museum memiliki dua pengertian, pertama adalah yang dipahami secara umum yaitu tempat berkumpulnya sembilan Dewi Muse (Dewi Kesenian), kedua lebih khusus istilah museum merujuk pada nama sebuah institusi pembelajaran pada masa akhir Aleksandria klasik. Museum memiliki sejarah yang sangat panjang. Kehadirannya di dalam perjalanan hidup manusia tidaklah instan. Bila kita tengok dari sisi temporal, embrionya bermula dari masa prasejarah. Masyarakat masa Neolitik pada sekitar 3000 SM, telah mengumpulkan benda berupa kapak-kapak batu. Berlanjut ke zaman besi, dengan pengoleksian alat-alat dari bahan perunggu di kuil-kuil Yunani, sebagai bentuk ketaatan masyarakat, yang kemudian menjadi harta perbendaharaan kuil. Pengumpulan benda-benda yang dianggap berharga tersebut terus berlangsung di masa klasik Kristen sehingga lazim pada saat itu, benda-benda tersebut dimiliki oleh gereja, selain dimiliki oleh kaum bangsawan dan pedagang (Pearce, 1992).
Kebesaran seorang raja (penguasa) pada masa lampau tidak hanya diukur dari religiusitas dan banyaknya uang yang dimiliki, tetapi juga pada peralatan perang (militer) berikut amunisinya, perpustakaan yang megah berikut koleksi buku-bukunya, serta koleksi patung dan lukisan yang bernilai seni tinggi. Dengan cara ini raja akan disegani oleh kawan maupun lawan, dihormati oleh cerdik pandai maupun orang yang tak berpendidikan, serta dipuji oleh para pecinta seni dan seniman. Tak mengherankan jika benda-benda tersebut terkumpul di dalam kerajaan baik sebagai persembahan dari wilayah kekuasaan yang diberikan secara sukarela, maupun dari hasil pampasan perang atas daerah yang ditaklukkan (Pearce, 1992).
Para Kaisar di Cina membuat dan mengumpulkan koleksi berupa lukisan dan kaligrafi sejak awal abad 3 SM. Sementara di Jepang, sebuah patung Budha berbahan perunggu diletakkan di kuil Todai yang dibangun pada abad delapan, sebagai harta yang sangat berharga bagi kuil. Di Eropa, Lorenzo de Medici di Florence memiliki koleksi benda-benda antik dalam jumlah yang sangat besar. Koleksi-koleksinya disimpan di almari-almari pada suatu ruangan tertentu, yang kemudian dikenal dengan istilah cabinet of curiosities atau wunderkammer pada abad 15 untuk menggambarkan benda-benda di almari-almari yang menimbulkan rasa takjub dan penasaran. Kegiatan mengumpulkan benda-benda telah menjadi tren pada masa tersebut, bahkan hingga sekarang. Biasanya didasari oleh rasa ingin tahu (curious) atas sesuatu hal. Orang-orang berhasrat besar untuk belajar segala hal, terutama tentang benda-benda antik atau hal-hal unik yang jarang dijumpai oleh kebanyakan orang Eropa pada saat itu (Pearce, 1992).
Para pengumpul benda tersebut, yang disebut sebagai amatir, mengoleksi benda-benda didasari atas kegemaran/hobi pada bidang tertentu (biasanya seni), bukan menjadikan koleksi sebagai bahan untuk dipelajari atau diteliti lebih dalam. Kemudian muncul istilah studio, repository, depository dan theatre untuk menyebut tempat di mana rasa seni dan rasa ingin tahu akan sesuatu hal “dirumahkan” atau disatukan dan disimpan dalam sebuah bangunan. Pada abad ke delapan belas istilah museum tidak hanya dipahami sebagai lembaga yang melakukan pengoleksian, namun juga prinsip di balik pengoleksian berikut gagasannya. Kemudian muncul pemahaman bahwa museum adalah sistem konsep di mana kolektor menginterpretasikan dan mengeksplorasi dunia yang didiaminya (Pearce, 1992).
Kegiatan mengoleksi, menyimpan, dan merawat obyek, yang menjadi pekerjaan museum, sering dianggap sebagai pekerjaan orang Eropa/Barat saja. Namun ternyata, hampir seluruh kebudayaan di dunia memiliki tradisi menyimpan dan merawat benda-benda yang dianggap bernilai atau memiliki arti penting bagi masyarakat. Di antara kebudayaan non Barat tersebut bahkan sudah mengenal cara menyimpan, mengonservasi, manglasifikasi, menata, dan menyampaikan pengetahuan tentang benda-benda dengan baik sesuai tradisi masing-masing masyarakatnya. Metode tersebut dapat dianalogikan dengan kuratorial secara profesional di museum modern. Namun sampai saat ini, praktik-praktik kuratorial masyarakat lokal setempat (indigenous) luput dari perhatian ahli museologi dan pelajar dari Barat. Hal ini disebabkan oleh dominasi dan superioritas metode Barat terhadap pengetahuan tentang museum. Pandangan kritis mengenai museum memberikan pemahaman tentang perlunya mendengar suara-suara dari luar dunia Barat. Tujuan dari pandangan ini adalah untuk membebaskan museum dari aturan atau tatanan yang bersifat Euro Sentris.
Bentuk-bentuk Museum Masyarakat Lokal
Kuil dan Candi
Kuil dan candi sering dianggap sebagai persamaan dari museum karena kedua bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan, menata, dan merawat benda-benda yang bernilai tinggi. Penjagaan atasnya biasanya dipercayakan kepada tabib atau biksu yang dapat disamakan sebagai kurator. Sebagai tempat sakral, kuil dan candi menjadi pusat berlangsungnya ritual-ritual keagamaan dan secara tradisi bermacam upacara keagamaan beserta peralatannya hendak dilestarikan secara turun-temurun (Kreps, 2006).
Rumah Penyimpanan yang Disakralkan
Masyarakat adat di sepanjang Kepulauan Nusantara membangun rumah khusus tempat menyimpan benda-benda bernilai tinggi, seperti tengkorak hasil buruan dan jimat. Masyarakat Batak di Sumatera menyebut rumah tersebut dengan parsoeroan sebagai rumah bagi arwah nenek moyang mereka sekaligus sebagai tempat menyimpan peralatan upacara pemujaan seperti gong, genderang, dan keramik. Di Kalimantan Timur, lumbung selain difungsikan sebagai tempat menyimpan padi juga digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka keluarga seperti gong, genderang, kuningan, dan keramik. Kepemilikan lumbung tidak hanya sebatas lingkup satu keluarga, tetapi juga dimiliki secara bersama (komunal) dalam satu masyarakat desa yang disebut sebagai lumbung desa. Dengan demikian lumbung dapat dikatakan sebagai museum masyarakat setempat (indigenous museum). Tidak hanya memiliki kekhasan fungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan, tetapi rancang bangun lumbung didesain khusus untuk melindungi padi yang disimpan dari gangguan hama tikus. Pada suku Maori di Selandia Baru, bangunan tempat menyimpan makanan disebut dengan pataka (Kreps, 2006).
Selain pataka suku Maori juga memiliki rumah pertemuan adat yang digunakan untuk menyimpan berbagai macam benda pusaka seperti pahatan, gambar-gambar, senjata tradisional, dan benda-benda seni. Demikian pula di Kepulauan Solomon terdapat tradisi yang dapat disamakan dengan museum. Beberapa rumah difungsikan untuk menyimpan dan menata benda-benda berharga sebagai bahan pembelajaran, transfer pengetahuan, dan pelestarian kesenian setempat. Budaya setempat menggunakan istilah tabu sebagai sistem keamanan. Status tabu disematkan dengan tujuan untuk membatasi akses dan penggunaannya (Kreps, 2006).
Prinsip tabu juga dikenal di Ghana, Afrika. Di Ghana terdapat hutan yang dianggap sakral yang terlarang untuk dimasuki oleh sembarang orang kecuali dalam kesempatan ritual tertentu. Ukurannya tidak terlalu luas dan dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur mereka. Semenjak masuknya kolonialisme Barat, upacara-upacara tersebut mulai ditinggalkan oleh penduduk Ghana, dan saat ini hutan tersebut telah bertransformasi menjadi museum botani yang menyimpan keanekaragaman hayati di wilayah Ghana (Boaten, 1998).
Di Papua New Guinea dikenal dengan haus tambaran atau rumahnya para lelaki (men’s house), yaitu bangunan kaya dekorasi yang digunakan sebagai tempat berkumpul untuk melakukan ritual yang berhubungan dengan upacara inisiasi bagi kaum laki-laki. Tempat ini juga menjadi pusat produksi peralatan upacara sekaligus tempat menyimpan dan menata peralatan-peralatan. Dengan demikian generasi muda sebagai penerus tradisi dapat belajar mengenai sejarah, kepercayaan, beserta kebudayaan mereka di haus tambaran ini. Pada mulanya kaum wanita dan laki-laki yang belum diinisiasi tidak diperkenankan memasuki haus tambaran. Namun, saat ini ketentuan tersebut telah diubah sebagai penyesuaian terhadap kondisi zaman. Akses dibuka lebar memungkinkan semua untuk memasukinya bahkan orang dari luar suku termasuk para wisatawan (Kreps, 2006).
Dalam hal kepemilikan, museum di Barat menganggap benda koleksi sebagai milik publik atau museum, namun di museum masyarakat setempat (indigenous museum) tidak demikian. Oleh karena itu di beberapa museum Barat yang mengoleksi benda-benda etnografi yang berasal dari budaya Non Barat, kepemilikan koleksi tetap pada individu, keluarga, atau komunitas tertentu sebagai bentuk adopsi terhadap hak kepemilikan sebagaimana yang terdapat pada indigenous museum. Pada beberapa benda yang dianggap sakral, interpretasi tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Sebagai contoh di Museum Provinsi Kalimantan Tengah, staf museum sering meminta bantuan seorang basir untuk membantu mereka dalam menginterpretasikan benda yang berhubungan dengan upacara religi, karena seorang basir selain dihormati juga dianggap sebagai orang yang kompeten dan menguasai informasi mengenai benda tersebut (Kreps, 2006).
Museum masyarakat setempat (indigenous museum) berbeda dengan museum di Barat dalam hal keotentikannya, bagaimana koleksi tersebut digunakan atau diperlakukan, serta audiensnya. Koleksi museum masyarakat setempat umumnya menyatu dengan tradisi yang masih hidup dalam masyarakatnya, kontras dengan koleksi museum etnografi Barat yang koleksinya telah tercerabut dari akar kebudayaan masyarakat pemiliknya dan tidak lagi berfungsi sebagaimana aslinya. Museum dalam tradisi Barat melakukan pemaknaan dan kontekstualisasi baru bagi koleksinya sebagai konsekuensi atas pemisahan koleksi etnografi dari konteks aslinya. Pada dasarnya, baik di museum Barat maupun museum masyarakat lokal setempat, benda-benda koleksi berfungsi sebagai media komunikasi dan transfer pengetahuan melalui kisah atau sejarah yang dapat diceritakan oleh koleksi tersebut (Kreps, 2006).
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya dasar-dasar aktivitas permuseuman terdapat pada kebudayaan Non Barat. Philip Cash Cash, seorang sarjana dari Amerika mengatakan bahwa hubungan manusia dengan benda adalah hubungan sosial, oleh karena itu kuratorial merupakan bentuk praktik sosial. Ia kemudian mendefinisikan kurasi sebagai praktik sosial yang disematkan terhadap prinsip hubungan yang bersifat tetap antara benda dengan lingkungan manusia. Definisi tersebut berimplikasi pada hubungan antara manusia dengan benda bukan semata-mata suatu konstruksi sosial melainkan tradisi atau kebudayaan yang terus berlanjut sepanjang masa. Dalam konteks Indonesia, misalnya saja dengan apa yang disebut sebagai pusaka. Menarik untuk diungkapkan bahwa pada dasarnya semua hal dapat dijadikan sebagai pusaka. Namun tidak semua yang diwariskan dapat disebut sebagai pusaka, tergantung dari sikap sosial masyarakatnya (Kreps, 2006).
Dalam tradisi keraton terdapat abdi dalem yang bertanggung jawab memelihara pusaka. Keris salah satu pusaka yang populer. Perlakuan terhadap keris harus dilakukan secara hati-hati karena keris dipercaya memiliki khasiat. Untuk menjaga keawetannya, keris secara berkala dijamasi atau dicuci dengan jeruk nipis (Citrus aurantiifolia), dipoles dengan minyak khusus, diwarangi, kemudian disimpan kembali ke dalam wadahnya yang disebut warangka. Praktik jamasan tersebut dapat dilihat sebagai metode non Barat dalam mengonservasi sebuah warisan budaya (Ari. dkk., 2012)
Pengakuan dan penghormatan terhadap metode perawatan benda-benda secara tradisional dapat dilihat pada beberapa perkembangan yang terjadi di dunia museum dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah perkembangan museum yang pesat di seluruh penjuru bumi, bahwa museum tidak terbatas di pusat-pusat kota dan konsumsi kaum elit, tetapi saat ini museum dengan segala bentuk dan ukurannya dapat dijumpai di seluruh daerah, bahkan di daerah terpencil sekalipun. Hal ini karena adanya paradigma baru mengenai museum yang tidak hanya berkiblat pada Barat/Eropa (Kreps, 2006).
Dengan menggunakan metode perbandingan kebudayaan dapat diketahui bahwasannya belahan bumi Non Barat memiliki kearifan sendiri dalam mengelola kekayaannya yang berupa benda-benda pusaka, baik cara menyimpan, menata, maupun merawatnya. Biasanya hal tersebut dilakukan secara turun-temurun sehingga menjadi tradisi. Masyarakat mungkin tidak menyadari sepenuhnya, bahwa tradisi tersebut sebenarnya sejalan dengan konsep museum yang dikembangkan oleh orang-orang di dunia Barat.
Referensi
Boaten, Barfuo Abayie. 1998. "Traditional Conservation Practices: Ghana’s Example", dalam African Journal Vol. 14 No. 1.
Kreps, Christina. 2006. “Non-Western Models of Museums and Curation in Cross-cultural Perspective” dalam Sharon Macdonald (ed). A Companion to Museum Studies, Oxford: Blackwell Publishing
Pearce, Susan M. 1992. Museums, Objects and Collections: A Cultural Study. Leicester: Leicester University Press.
Swastikawati, Ari. Rifqi Kurniadi Suryanto. dan Al Widyo Purwoko. 2012. Metode Konservasi Tradisional (Penjamasan) Cagar Budaya Berbahan Logam Besi. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.
*Pamong Budaya pada Dinas Kebudayaan DIY
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...
by admin || 02 Januari 2020
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY membuka pendaftaran Duta Museum DIY 2020 dari tanggal 6 - 17 Januari 2020.Kamu yang berminat untuk memajukan kebudayaan dan permuseuman di DIY ?Daftar ...
by admin || 08 Januari 2020
Pada hari Kamis, 2 Januari 2020 yang lalu, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) menempatkan edukator museum ke beberapa museum di Daerah istimewa Yogyakarta. 18 tenaga edukator ini ditempatkan di ...
by pamongbudaya || 27 Agustus 2020
Oleh : Sony Saifuddin* 2020 Perubahan zaman yang sangat cepat mempengaruhi perkembangan museum yang ada di dunia. Di Barat, sejak era 1970an lahir ...