by pamongbudaya|| 14 Oktober 2020 || || 1.733 kali
Ada ungkapan yang menyebutkan “belum mengunjungi Yogyakarta jika belum mengunjungi Tugu (Pal Putih)” menandakan bahwa Yogyakarta identik dengan simbol Tugu Pal Putih. Tugu ini sebetulnya adalah tugu pengganti dari Tugu Golong Gilig yang roboh karena gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Setelah beberapa tahun terbengkelai, tugu ini dibangun kembali pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII (1877-1921) dan selesai pada tahun 1889. Oleh pemerintah Hindia Belanda tugu ini diberi nama De Witte Paal atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Tugu Pal Putih.
Pada tahun 2012 Dinas Kebudayaan DIY melakukan rehabilitasi pada bangunan tugu ini, yang jika merujuk pada Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka Tugu Pal Putih termasuk struktur cagar budaya dan bukan bangunan cagar budaya. Pekerjaan rehabilitasi yang dilakukan antara lain adalah perbaikan plasteran yang rusak/pecah, pengecatan dengan cat untuk dinding eksterior dan pengecatan dengan prada emas untuk ornamen-ornamen tertentu dan tulisan di prasasti. Pekerjaan lainnya adalah pembuatan taman di sekeliling struktur tugu yang digunakan sebagai pembatas antara tugu dengan lalu lintas di sekitarnya. Hal ini untuk mengurangi resiko struktur tugu tertabrak kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Taman ini juga dimaksudkan untuk membatasi masyarakat yang ingin berfoto di sekitar struktur tugu agar tidak menyentuh atau menaikinya untuk mengurangi resiko kerusakan. Keberadaan taman di sekitar struktur tugu juga digunakan untuk menampilkan tugu di atas permukaan tanah secara utuh. Pekerjaan peninggian jalan di sekitarnya selama bertahun-tahun membuat bagian bawah struktur tugu tidak terlihat. Selain itu terdapat satu pekerjaan yang cukup penting, yaitu penggantian puncak tugu dari bahan kayu jati yang diganti dengan bahan sejenis dan selanjutnya diberi warna dengan prada emas. Puncak tugu yang diganti disimpan di Kraton Yogyakarta.
Tampilan Tugu Pal Putih setelah pemberian warna kuning emas dengan menggunakan prada emas pada beberapa ornamen dan prasasti dapat dilihat pada foto yang menyertai tulisan ini. (DD)
by admin || 07 Maret 2014
Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender. Adangiyah. Nama dari jenis ...
by admin || 05 Maret 2014
Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...
by admin || 04 Maret 2014
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...
by pamongbudaya || 30 Juli 2020
Pada tahun 2018 Dinas Kebudayaan DIY melakukan kegiatan rehabilitasi dinding benteng kraton Yogyakarta. Kegiatan pada tahun 2018 ini berada di dua plengkung dan tiga pojok beteng yaitu Plengkung ...
by pamongbudaya || 31 Agustus 2020
Untuk memperkuat informasi tentang cagar budaya Tugu Pal Putih Yogyakarta dan hubungannya dengan Kraton Yogyakarta dalam sebuah sumbu filosofi, maka Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta ...
by pamongbudaya || 02 September 2020
Pada tahun 2015 Dinas Kebudayaan DIY melakukan rehabilitasi pada beberapa bangunan di kawasan cagar budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pekerjaan dilakukan di beberapa tempat yaitu ...