Sengkalan di Bangunan Cagar Budaya

by pamongbudaya|| 18 Mei 2021 || || 39.170 kali

...

Pada sejumlah bangunan, kita dapat menemui tulisan yang menunjukkan kapan bangunan tersebut dikerjakan atau selesai dibangun. Tulisan tersebut dapat berupa prasasti yang umumnya dibuat di batu andesit, batu granit atau batu marmer, dapat pula dituliskan langsung di bagian tertentu dari bangunan. Pada bangunan cagar budaya kita dapat menjumpai hal yang sama. Angka tahun pada bangunan cagar budaya ada yang ditulis dengan angka biasa (angka Arab), ada yang ditulis dengan angka romawi dan pada beberapa bangunan di wilayah DIY ada juga yang ditulis dengan angka dalam huruf Jawa. Selain dalam bentuk tulisan angka, ada juga penanda tahun dalam bentuk rangkaian kata dan gambar yang semuanya ini bisa kita sebut dengan istilah sengkalan.

Sengkalan atau candrasengkala adalah susunan kata-kata yang mempunyai arti atau makna perhitungan tahun. Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya sebutan, nama dan Sangkala yang artinya hitungan tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah sebutan atau nama hitungan tahun. Pada pengertian Candrasengkala ini kita menyebutnya sebagai istilah umum. Candrasengkala terdiri dari dua macam yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala. Suryasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bumi terhadap Matahari (Surya), dalam hal ini dikenal dengan tahun Masehi. Sedangkan Candrasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bulan (Candra) terhadap bumi, dalam hal ini adalah tahun Saka/Jawa dan tahun Hijriyah. Pada pengertian Candrasengkala yang ini kita menyebutnya dengan istilah khusus. Untuk menghindari kebingungan maka candrasengkala yang istilah umum kita ganti dengan istilah sengkalan. 

Setiap kata dalam sengkalan mewakili watak sebuah bilangan. Cara mengartikan kata-katanya adalah dibaca dari belakang. Jadi kata pertama mewakili angka satuan tahun, kata kedua mewakili angka puluhan, angka ketiga mewakili angka ratusan dan angka keempat mewakili angka ribuan. Misalnya pada sengkalan yang ada di prasasti Tugu Pal Putih, Yogyakarta tertulis Wiwara Harja Manggala Praja.  Wiwara berarti gerbang, mewakili angka sembilan; Harja bermakna kemakmuran, mewakili angka satu; Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan; sementara Praja bermakna negara, mewakili angka satu. Jadi rangkaian kata itu merujuk pada tahun 1819 (dalam hal ini tahun Jawa).

Berdasarkan bentuknya ada 2 jenis sengkalan yaitu sengkalan lamba dan sengkalan memet. Sengkalan lamba (sederhana) berupa rangkaian kata sedangkan sengkalan memet (rumit) dapat berupa gambar, relief atau patung yang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi dalam penafsirannya jika tidak diikuti sengkalan lambanya.

Untuk membuat dan mengartikan sengkalan ini, perlu mengetahui watak atau sifat/karakter dari sebuah bilangan. Berikut ini adalah sebagian dari kata-kata yang termasuk dalam setiap watak bilangan.

 

Watak Bilangan

Watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang atau berhubungan dengan langit/surga. Contohnya adalah sonya (sepi), nir (hilang, tanpa), akasa (angkasa), tawang (langit).

Watak bilangan 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, atau berjumlah satu seperti manusia, raja, dan benda angkasa / alam.Contohnya adalah niyata (nyata), rahayu (selamat), janma / jalma (manusia), suta (anak), nata (raja) candra (bulan), kartika (bintang).

Watak bilangan 2 adalah kata-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contohnya adalah netra (mata), asta (tangan), nembah (menyembah), lar (sayap).

Watak bilangan 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga, berhubungan dengan pengetahuan atau berhubungan dengan api. Contohnya adalah tri (tiga), kawruh (pengetahuan), wignya (pandai), dahana (api), pawaka (api).  

Watak bilangan 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empat atau berhubungan dengan air. Contohnya adalah catur (empat), toya (air), jladri (laut), tirta (air), wening (jernih).

Watak bilangan 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima, berhubungan dengan angin, raksasa atau peralatan perang. Contohnya adalah panca (lima), indri (angin), yaksa (raksasa), jemparing (panah), cakra (salah satu jenis senjata).

Watak bilangan 6 adalah kata-kata yang memiliki enam, berhubungan dengan rasa, atau yang bersifat bergerak/bergoyang. Contohnya adalah sad (enam), lona (pedas), sarkara (manis), obah (bergerak), winayang (digerakkan).

Watak bilangan 7 adalah kata-kata yang memiliki arti tujuh, berhubungan dengan pendeta, nasehat, gunung atau yang berhubungan dengan tunggangan. Contohnya adalah sapta (tujuh), resi (pendeta), wulang (nasehat), ardi (gunung), turangga (kuda).

Watak bilangan 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan, berhubungan dengan gajah atau reptil. Contohnya adalah astha (delapan), liman (gajah), baya (buaya), naga (naga).

Watak bilangan 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan, berhubungan dengan lubang, gerbang/pintu atau membuka/terbuka. Contohnya adalah nawa (sembilan), guwa (goa), gapura (gerbang), kori (pintu), ambuka (membuka).

 

Penurunan Kata-Kata

Selain watak bilangan juga ada aturan penurunan kata-kata yang terdiri dari 8 macam, yaitu sebagai berikut :

  1. Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti : siti (tanah), endhut (lumpur), dan lebu (debu).
  2. Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah, tetapi dalam penggunaan sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski banyak juga sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah.
  3. Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti: margana menjadi marga karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.
  4. Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta (lintah) menjadi ujel (belut) dan nauti (cacing).
  5. Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlaku nya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra (mata) memiliki watak yang sama dengan kata mandeng (melihat) karena salah satu yang dilakukan netra (mata) adalah mandeng (melihat).
  6. Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: jemparing (panah) yang merupakan alat untuk pancakarna (berperang) adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri.
  7. Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni (api) memiliki watak yang sama dengan kata benter (panas), karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub (berkobar) karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
  8. Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya seperti: raos (rasa) adalah sama wataknya dengan rinaras (serasi).

Sengkalan yang ada di prasasti Tugu Pal Putih, Yogyakarta, tepatnya pada prasasti di sisi selatan tugu dapat dilihat di foto yang menyertai tulisan ini. Sengkalan tersebut tertulis Wiwara Harja Manggala Praja. (DD)

 

Daftar Pustaka : 

Admin. 2017. Sengkalan: Rangkaian Kata Penanda Masa. https://www.kratonjogja.id/tak-benda/lainnya/7/sengkalan-rangkaian-kata-penanda-masa. Diakses 17 Mei 2021.

Admin. 2018. Tugu Golong Gilig, Simbol Persatuan Raja dan Rakyat. https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/11/tugu-golong-gilig-simbol-persatuan-raja-dan-rakyat. Diakses 17 Mei 2021.

Bratakesawa, R dan Hadisoeprapta,TWK. 1980. Keterangan Candrasengkala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah : Jakarta

Artikel Terpopuler


...
Istilah - Istilah Gamelan dan Seni Karawitan

by admin || 07 Maret 2014

Ada-ada. Bentuk lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.    Adangiyah. Nama dari jenis ...


...
Istilah- Istilah Gerakan Tari  Gaya  Yogyakarta

by admin || 05 Maret 2014

Ngithing. Posisi tangan dengan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat keatas dengan masing-masing membentuk setengah ...


...
Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo

by admin || 04 Maret 2014

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi ...



Artikel Terkait


...
Pekerjaan Bangunan Pelindung Pada Kegiatan Rehabilitasi Cagar Budaya

by admin || 23 September 2019

Ketika ada kegiatan pembangunan baik itu berupa gedungmaupun prasarana lain seperti jalan dan jembatan, kita hampir selalu melihat bidang pembatas yang membatasi antara area yang bisa dilalui umum ...


...
"Pre Construction Meeting" pada kegiatan Rehabilitasi Bangunan Cagar Budaya

by admin || 23 September 2019

Pre Construction Meeting atau juga disebut dengan rapat persiapan pelaksanaan kontrak, adalah rapat koordinasi yang dilakukan setelah penandatanganan kontrak dan sebelum pelaksanaan kegiatan ...


...
Pameran Cagar Budaya

by admin || 23 September 2019

Pameran tentang cagar budaya dilakukan dengan beberapa tujuan antara lain adalah pengenalan tentang cagar budaya kepada masyarakat, pemberian informasi mengenai cara-cara pelestarian cagar budaya dan ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta