YOGYA (KRjogja.com) - Sambil duduk bersila dengan kepala tretunduk di emper Bangsal Ponconiti Kompleks Keben Kraton Yogyakarta menghadap ke selatan, Sumanto (55) khusyuk mendengarkan waosan macapat yang dilakukan persis di depan Regol Sri Manganti. Hujan cukup deras yang mengguyur tempat acara dan sekitarnya tidak menyurutkan semangat warga Sentolo Kulonprogo ini.

"Ingin ikut berdoa agar dapat keberkahan dari Allah SWT," tutur pria 2 anak yang mengaku sudah sejak sore menunggu di lokasi.

Sumanto menjadi satu dari ribuan warga, mulai abdi dalem hingga masyarakat biasa yang ikut Lampah Budaya Mubeng Beteng malam 1 Suro 1950 Je atau bertepatan 2 Oktober 2016. Tidak hanya abdi dalem yang mengenakan busana Jawa, tapi banyak diantara peserta yang hanya memakai busana bebas tanpa alas kaki.

"Kegiatan ini bukan hajat dalem. Tapi kegiatan yang dilakukan abdi dalem bersama masyarakat. Karena kegiatan yang baik dengan tujuan mulia, maka Kraton memberikan fasilitas agar bisa serempak dan lancar," tutur Ketua kegiatan KRT Gondohadiningrat dijumpai KRjogja.com di sela acara.

Rangkaian Lampah Budaya Mubeng Beteng sendiri berangkat tepat pukul 24.00 WIB sesaat setelah lonceng Brajanala. Rombongan diberangkatkan dari Pelataran Keben Kraton Yogyakarta.

Di bagian depan rombongan ada abdi dalem sifat bupati yang membawa Dwaja Gula Klapa. Keduanya diiringi Klebet Bangun Tolak (Kota Yogyakarta), Mega Ngampak (Sleman), Podang Ngisep Sari (Gunungkidul), Pandan Binetoto (Bantul) dan Pareanom (Gunungkidul). Sesuai adat tradisi, semua peserta mubeng beteng melakukan lampah bisu tanpa bercakap, makan bahkan merokok. (R-7)