BANTUL (KRjogja.com) - Nguras enceh di Kompleks Makam Raja Yogyakarta di Pajimatan Imgiri tidak sekadar tradisi tahun di Bulan Sura. Namun nguras enceh atau gentong tersebut jadi representasi kuatnya nilai-nilai warisan masa lalu yang masih relevan diterapkan dalam era modern sekarang ini. Meski mayoritas pengunjung dalam tradisi nguras enceh itu kategori  orangtua. Tetapi masih diyakini tradisi itu akan tetap lestari ditengah pesatnya perkembangan zaman.

Ari Wulan warga Banguntapan Bantul mengatakan, nguras enceh merupakan bagian terpenting dalam sejarah peradapan  Kraton Yogyakarta. Namun diakui perkembangan zaman  berlahan mulai mengikis animo masyarakat untuk berpartisipasi dalam tradisi itu.

“Lihat saja  ada ribuan orang hadir dipelataran ini, tetapi hampir semua orangtua. Tetapi saya pribadi tetap yakin tradisi ini akan tetap lestari,” ujar Ari Wulan.

Perempuan tersebut percaya, sebagai masyarakat Jawa nguras enceh  memberikan berkah kepada umat manusia. Namun banyaknya manfaat spiritual itu tergantung kepada masing-masing individu.

Penghageng Makam Raja Yogyakarta di Pajimatan Imogiri, KRT Hasto Ningrat mengatakan, empat enceh itu pemberian beberapa kerajaan yang pernah ditaklukan Sultan Agung.  Enceh itu berasal dari Bangkok Thailand, Aceh, dan Palembang.

“Coraknya beda, karena diberi empat kerajaan dalam dan luar negeri.  Soal khasiat, semua  tergantung kepercayaan masing-masing, prosesi ini lantaran saja,” jelasnya.

Ritual nguras enceh dimulai do’a dan tahlil dipimpin sesepuh abdi dalem. Usai doa dipanjatkan, empat gentong berusia ratusan tahun itu diisi air baru. Setelah itu warga mulai berebut mendapatkan air dari enceh Kyai Mendung dan Nyai Siyem dari kasunanan Surakarta, dan Enceh Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti dari Kasultanan Yogyakarta. (Roy)