by ifid|| 30 Mei 2024 || || 206 kali
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) DIY kembali menyelenggarakan acara budaya bertajuk "Ajur Ajer #2 Mbanyu Mili" dengan tema yang mengusung makna mendalam tentang kesinambungan dan keberkahan. "Mbanyu Mili", dalam pandangan masyarakat Jawa, melambangkan aliran air yang tak pernah berhenti, mencerminkan kehidupan dan kebudayaan yang terus berjalan serta keberkahan yang melimpah dari Sang Maha Kuasa. Acara digelar selama empat hari, mulai dari Senin hingga Kamis, 27-30 Mei 2024, di beberapa lokasi bersejarah di Yogyakarta, yaitu Gedhong Pracimasana, Kampung Wisata Tamansari, Ndalem Pakuningratan, dan Plaza Ngasem. Sajen dan Pemanfaatannya dalam Kehidupan Sehari-hari Salah satu kegiatan utama dalam rangkaian acara ini adalah "Workshop Warisan Budaya Tak Benda: Workshop Sajen dan Pemanfaatannya dalam Kehidupan Sehari-hari". Workshop ini menghadirkan dua narasumber terkemuka dari Yogyakarta, RR Noor Dwi Artyandari Atian dan Satriya Anggang Saputra, yang akan berbagi pengetahuan tentang sajen dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini merupakan langkah nyata Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) DIY dalam menindaklanjuti penetapan upacara-upacara adat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang memiliki 180 warisan budaya tak benda, dengan 50 di antaranya telah disahkan sebagai warisan budaya tak benda. Dalam rangkaian acara Ajur Ajer #2 Mbanyu Mili di Yogyakarta, salah satu kegiatan yang paling dinantikan adalah Workshop Warisan Budaya Tak Benda dengan tema "Sajen dan Pemanfaatannya dalam Kehidupan Sehari-Hari". Narasumber pertama, RR Noor Dwi Artyandari Atian atau yang sering di sapa Bu Ndari, seorang Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dan pegiat sajen yang dikenal luas di Yogyakarta, menyampaikan banyak hal menarik dan mendalam terkait peran sajen dalam tata kelola kehidupan masyarakat Jawa. "Sajen menjadi bagian dari tata kelola di masyarakat. Di budaya Barat, proses kehidupan sering dirayakan dengan selebrasi yang meriah, sementara dalam budaya Jawa, perayaan ini lebih bersifat kontemplatif," kata Ndari. Setiap tahap kehidupan orang Jawa diperingati dengan tradisi atau upacara daur hidup. Upacara ini mengandung harapan, pendidikan, dan ajakan atau peringatan. Beliau merinci kelompok upacara ini mulai dari saat seseorang berada dalam kandungan (seperti mitoni), saat lahir, masa kanak-kanak dan pubertas (tedak siti, tetesan, sunatan), hingga pernikahan dan upacara kematian. Pondasi dari setiap upacara tersebut, menurut Ndari, meliputi busana, urutan upacara, dan sajen. "Sajen adalah piranti, biasanya berupa bahan makanan, yang mendukung jalannya upacara ritual kehidupan. Sajen merupakan bentuk relasi manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama," jelas Noor. Hubungan dengan Tuhan tercermin dalam bentuk harapan dan doa, dengan alam dalam bentuk penghargaan terhadap lingkungan, dan dengan sesama dalam bentuk kepedulian dan kebersamaan. Noor menekankan bahwa sajen adalah doa tanpa kalimat, yang mengandung makna mendalam dalam setiap bagiannya. Selama sesi workshop, Ndari memaparkan tentang berbagai jenis sajen siraman, mulai dari filosofi, tatanan, hingga maknanya dalam kehidupan. Salah satu contoh adalah Tumpeng Robyong yang melambangkan aneka warna dari kehidupan. Selain itu, ada juga Tumpeng Gundul yang terdiri dari nasi dengan telur rebus di atasnya, melambangkan harapan agar yang disirami dapat bermanfaat sekujur tubuhnya. "Upacara-upacara siraman untuk non pernikahan memang sekarang jarang dilakukan. Namun, belakangan ini cukup populer karena makna pembersihan diri yang dibawanya," tambahnya. Dalam sesi tanya jawab, Ndari menegaskan pentingnya menyampaikan esensi setiap budaya kepada generasi muda, agar generasi muda memahami dan menghindari kekhawatiran yang berbenturan. "Penata sajen tradisional adalah seseorang yang sudah sepuh dan bijaksana, telah menjalani semua fase kehidupan," jelasnya. Perubahan dalam tradisi boleh dilakukan, tetapi harus tetap mengacu pada rambu-rambu yang jelas dan menghormati keaslian bentuknya. "Inovasi dan pengembangan dalam tradisi adalah hal yang lumrah, selama tetap mempertahankan inti dan makna dari budaya tersebut," tutup Noor dengan penuh kebijaksanaan. Selanjutnya, dalam rangkaian acara Ajur Ajer #2 Mbanyu Mili, Satriya Anggang Saputra sebagai narasumber kedua menyampaikan pandangannya yang mendalam tentang sajen dan relevansinya dalam kebudayaan Jawa. Satriya mengawali dengan menekankan bahwa Yogyakarta adalah kota yang kaya akan sejarah dan budaya. "Yogyakarta penuh akan sejarah. Sajen adalah salah satu bentuk kekayaan budaya yang perlu kita pahami dan lestarikan," ujarnya. Satriya menjelaskan bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sajen adalah makanan atau bunga-bungaan yang dipersembahkan. Namun, ia menambahkan bahwa secara etimologis, kata 'sajen' berasal dari bahasa Jawa Kuno, 'Ji', yang berarti kekuatan alam semesta, dan 'Sa' yang berarti semua. "Sehingga, 'saji' adalah semua kekuatan alam semesta. “Sajen adalah representasi kekuatan alam semesta dalam wujud sajen," jelas Satriya. Ia menegaskan bahwa sajen bukan sekadar benda, melainkan simbol dari kekuatan dan harmoni alam semesta. Lebih lanjut, Satriya menguraikan tentang sembilan jenis tumpeng yang disebutkan dalam teks Korawasrama, yang masing-masing memiliki makna dan fungsi tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa. Jenis-jenis tumpeng tersebut antara lain tumpeng gundul, tumpeng megono (yang diberi sayuran dan telur), tumpeng gudengan (untuk masa pubertas), tumpeng robyong, tumpeng kukuh (yang melambangkan perjuangan melawan hawa nafsu), tumpeng songgo buwono, tumpeng urubing damar, tumpeng kresno, dan tumpeng wilujeng. "Setiap jenis tumpeng memiliki simbol dan makna khusus yang terkait dengan fase-fase kehidupan manusia," tambahnya. Satriya juga menekankan pentingnya generasi muda, terutama Gen-Z, untuk mengulik dan bangga dengan kebudayaannya. "Generasi muda harus mau mengulik dan bangga dengan kebudayaannya. Karena pada dasarnya kita akan menang pada kebudayaan kita sendiri. Kita dapat berdaya dengan budaya kita sendiri," tegasnya. Ia mengajak semua peserta untuk terus melestarikan dan mengembangkan tradisi sajen agar tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan modern. Dalam menutup kegiatan Workshop sesi Pertama dengan tema “Sajen dan Pemanfaatannya dalam Kehidupan Sehari-hari”, pentingnya menyampaikan esensi setiap budaya kepada generasi muda, agar generasi muda memahami dan menghindari kekhawatiran yang berbenturan, agar terus melestarikan dan mengembangkan tradisi sajen agar tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan modern. Ketahanan Pangan Sosial Masyarakat : SEGO PARI GOGO Acara budaya bertajuk "Ajur Ajer #2 Mbanyu Mili", yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan (Kundho Kabudayaan) Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema “ Mbanyu Mili” mengandung makna yang mendalam, mbanyu yang berarti Air, Mili yang berarti mengalir. Dapat diartikan sebagai pencerminan kehidupan dan kebudayaan yang terus berjalan. Workshop Warisan Budaya Tak Benda merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari acara tersebut. Dalam kegiatan workshop Sego Pari Gogo yang menghadirkan dua narasumber dari Kabupaten Gunungkidul, Cb Supriyanto dan Danang Sutopo, yang akan membahas mendalam tentang Sego Pari Gogo. Menurut Cb Supriyanto Dewan Kebudayaan Gung Kidul, Sego Pari Gogo merupakan warisan budaya tak benda yang merupakan khas dari kabupaten Gunungkidul. Sebutan Sego Pari Gogo sendiri muncul ketika Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VII mengeluarkan maklumat No XI dan No XII. Pada era Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VII para petani sudah melakukan kegiatan bercocok tanam dengan budaya yang sangat luar biasa, awal mula adanya Sego Pari Gogo adalah ketika perangkat kepanjen yang diikuti oleh bapak penewu akan mengunjungi salah satu wilayah di kabupaten Gunungkidul yang memerintahkan warga untuk menyiapkan Sego Pari Gogo, dan pada saat itulah Sego Pari Gogo menjadi sebutan pertama di tahun 1900. Bapak Ulu - Ulu atau Kemakmuran merupakan sebutan perangkat desa yang membimbing petani di masing – masing wilayah.Petani menggunakan teknik bercocok tanam dengan mengenal titi mongso. Dengan kegigihan masyarakat yang menginginkan keberhasilan taninya. Ketika menunggu musim hujan tiba masyarakat melakukan persiapan menggarap sawah mereka dengan membuat lah-lahan, setelah membuat lah- lahan kemudian masyarakat mengadakan sedekah labuh dan dilakukan penebaran bibit Pari Gogo. Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX mengeluarkan maklumat No V yang menyebutkan bahwa wilayah Gunungkidul bisa bertahan hidup karena hasil pertanian yang cukup. Maka kelurahan digabung supaya lebih kecil, agar hasil pertanian bisa memenuhi kebutuhan pangan warga Gunungkidul. Ulu-Ulu atau kemakmuran yang berperan untuk membimbing petani untuk mengembangkan sego pari gogo tersebut. sego pari gogo merupakan sesuatu yang istimewa bagi wilayah kabupaten Gunungkidul karena pada jaman dulu sego pari gogo merah ini hanya untuk pejabat atau penguasa. Untuk mengungkapkan rasa syukur kepada tuhan yang maha kuasa. Para petani di bulan November melakukan wirujengan atau rasul. Menurut bapak CB Supriyanto, Sego Pari Gogo dikatakan sego yang paling wulen atau enak, yaitu ketika padi tersebut tumbuh dengan kekurangan air tetapi dipanen dengan baik, yang di bandrol harga lebih mahal, karena manfaatnya Sego Pari Gogo beras merah ini sangat banyak dan bisa di gunakan untuk menurunkan berat badan. Menurut penjelasan Danang Sutopo, selaku perwakilan dari Dinas Pertanian dan pangan Kabupaten Gunungkidul, Sego Pari Gogo ini banyak di kembangkan di zona gunung sewu dan sebagian dari zona ledoksari wonosari, untuk teknis bercocok tanam pada saat bulan Oktober dan November di zona selatan yaitu wilayah Rongkop, Girisubo, Tanjungsari dan Tepus menggunakan teknis ngawu-awu dimana teknis tersebut menggemburkan tanah terlebih dahulu, ketika tanah sudah siap untuk ditanam dan menunggu musim hujan tanah tersebut sudah siap untuk di taburkan benih. Alasan petani kabupaten Gunungkidul menanam benih Sego Pari Gogo ini karena kebutuhan air untuk Sego Pari Gogo ini sangat kecil, tanaman ini tahan terhadap kekurangan air dan umur untuk dipanen Sego Pari Gogo ini sangat pendek sehingga para petani memanfaatkan sisa musim hujan untuk menanam palawija. Di kabupaten Gunungkidul memiliki budaya tanam serempak karena masyarakat petani Gunungkidul mengacu pada musim hujan dan dilakukan dengan goton groyong. “…Bagaimana cara menstrafer nilai budaya tentang sego pari gogo ke generasi yang lebih muda” pertanyaan yang diajukan oleh Nanik. Nilai budaya masih sangat relevan pada jaman sekarang, dengan adanya bimbingan nilai budaya bisa ditransfer dengan cara memberikan penjelasan mengenai budaya, jawab bapak CB Supriyanto dengan tegas. dengan harapan varietas sego pari gogo tetap harus dijaga, dikembangkan dan dekenalkan ke generasi selanjutnya. karena sego pari gogo sendiri memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Melalui ajang ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai makna "Mbanyu Mili" sebagai simbol dari kesinambungan hidup dan berkah yang terus mengalir. Acara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan warisan budaya serta menginspirasi generasi muda untuk terus menjaga dan mengembangkan kebudayaan leluhur. Dengan partisipasi aktif dari masyarakat, Ajur Ajer #2 Mbanyu Mili diharapkan dapat menjadi wadah untuk merayakan dan memperkokoh identitas budaya yang kaya dan penuh makna di Yogyakarta. (Serly/Selvia/fit)
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...