by ifid|| 16 Agustus 2024 || || 253 kali
Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY melalui Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar pameran seni rupa Nandur Srawung. Kegiatan ini dibuka pada Kamis (15/8) dan akan dilaksanakan hingga 28 Agustus yang lalu
Nandur Srawung XI mengangkat tema "Legacy: Wasiat," sebuah pameran yang menyoroti warisan seni rupa dari para seniman pendahulu yang telah memberikan kontribusi signifikan pada sejarah bangsa Indonesia dan dunia seni rupa itu sendiri. Pameran ini tidak hanya merayakan karya-karya seni yang menginspirasi tetapi juga mengeksplorasi bagaimana warisan tersebut mempengaruhi seniman-seniman masa kini dalam berbagai aspek sosial, budaya, dan artistik
Kepala Kundha Kabudayan atau Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan Taman Budaya Yogyakarta merupakan laboratorium sekaligus ruang untuk mengekspresikan seni. Baginya, Nandur Srawung #11 ini terbilang istimewa. Sebab, pelaksanaannya tak jauh dari Peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI dan Peringatan Undang-Undang Keistimewaan ke-12 DIY. Menurut Dian, ini sejalan dengan tema Nandur Srawung kali ini, yakni Wasiat: Legacy.
"Legacy, warisan ini sangat masuk dengan tematik-tematik di Jogja saat ini. Agenda kami pada malam hari ini merupakan implementasi nilai Mikul Dhuwur Mendhem Jero, ini cara memaknai generasi penerus di seni rupa," tandas Dian
Kundha Kabudayan, kata Dian, turut memberi dukungan pada kegiatan ini dengan dana keistimewaan. Lewat gelaran Nandur Srawung #11 pihaknya ingin mengajak masyarakat untuk menghargai karya seniman terdahulu. Melalui berbagai karya yang ada, masyarakat dibawa untuk melihat karya seni rupa dari berbagai generasi. "Ini maknanya dalam dan jadi tantangan bagi generasi sekarang spesial yang ikut aktivitas Nandur Srawung. Bagaimana menjawab tantangan yang terjadi dulu dan sekarang," ungkapnya.
Kepala Taman Budaya Yogyakarta Purwiati menjelaskan karya dibagi menjadi beberapa dekade mulai dari 1945-2015. Karya juga terbagi menjadi tiga klaster. Menurutnya, ini mengundang para seniman untuk menyajikan karya yang mengambil inspirasi dari seniman pendahulu. Baik dari segi pemikiran, metode yang digunakan, hingga gagasan artistiknya. Purwiati mengatakan pameran Nandur Srawung #11 akan digelar di Taman Budaya Yogyakarta pada 15-28 Agustus 2024. Dimulai pada pukul 11.00-21.00 WIB. "Pameran ini dibuka setiap hari dan gratis," kata Purwiati.
Salah satu kurator, Sujud Dartanto, menjelaskan dia bersama kurator lainnya membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mengkurasi karya yang ada. Karya tak hanya hadir dari DIY, tapi juga daerah lain seperti Madura hingga Tuban. Total ada 81 karya dari 75 seniman yang dipamerkan.
Sujud menambahkan karya yang ada di Nandur Srawung kali ini terbilang bervariasi. Ada karya lukisan dengan warna-warna cerah dan kekinian. Di sisi lain ada juga karya dengan warga gelap dengan kesan khas tempo dulu. Beberapa karya maestro seni juga ada di sini, seperti Djoko Pekik dan Djayengasmoro.
"Kami ingin perupa itu selalu confidence bahwa pencapaian yang ada sekarang itu tidak lepas dari pencapaian sebelumnya. Agar ke depan kualitas karya juga semakin baik," ujarnya.
Sujud mengaku sudah 8 kali ikut serta pada pameran Nandur Srawung. Menurutnya, karya seni yang dia kurasi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari sisi kualitas. Karya seni yang ada pun semakin bervariasi. Dari segi audiens pengunjung Nandur Srawung dari tahun ke tahun juga meningkat. Pada 2023 lalu, Nandur Srawung dihadiri oleh 22.000 pengunjung. "Harapannya paling tidak di tahun ini ada lebih dari 22.000 pengunjung yang hadir," ungkapnya.
Menggali Warisan Seni
Pada setiap periode dalam sejarah bangsa Indonesia, selalu ada seniman-seniman yang meninggalkan jejak mendalam, baik melalui karya seni mereka maupun melalui pemikiran dan metode berkarya yang mereka kembangkan. Warisan ini menjadi fondasi penting yang membentuk perkembangan seni rupa di Indonesia. Para seniman ini telah menanamkan benih-benih kreativitas dan kebebasan berekspresi yang terus tumbuh dan berkembang di tangan seniman-seniman generasi berikutnya.
Pameran ini mengundang para seniman untuk mengajukan karya-karya yang mengambil inspirasi dari warisan para pendahulu, baik dalam hal pemikiran, metode berkarya, maupun gagasan artistik. Setiap karya yang dipamerkan adalah sebuah dialog antara masa lalu dan masa kini, sebuah cara untuk menghormati dan melanjutkan jejak para pendahulu dalam konteks zaman yang terus berubah.
Menghidupkan Kembali Pemikiran dan Metode
Seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini didorong untuk mengeksplorasi warisan seni dengan cara yang inovatif dan pribadi. Mereka diajak untuk tidak hanya meniru, tetapi juga menafsirkan ulang dan menghidupkan kembali pemikiran dan metode para pendahulu dalam konteks kekinian. Ini termasuk bagaimana mereka menghadapi isu-isu sosial, budaya, dan politik pada zamannya, serta bagaimana mereka menggunakan medium dan teknik seni untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.
Wasiat Seni dalam Konteks Kontemporer
Pameran ini juga menjadi wadah untuk refleksi dan diskusi mengenai relevansi warisan seni dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer. Bagaimana warisan dari seniman-seniman terdahulu dapat membantu kita memahami dan merespons isu-isu global saat ini, seperti krisis kemanusiaan, ketidakadilan sosial, dan perubahan geopolitik? Para seniman diundang untuk menjawab pertanyaan ini melalui karya-karya mereka, menjadikan pameran ini sebuah dialog interaktif antara generasi.
Aplikasi Terbuka bagi Seniman
Aplikasi ini membuka peluang bagi para seniman untuk mengirimkan karya seni yang telah mereka hasilkan dalam dua tahun terakhir, yang terhubung dengan warisan para seniman pendahulu. Nilai-nilai, gaya seni, dan gagasan yang diwariskan ini dikelompokkan berdasarkan dekade, mulai dari tahun 1945 hingga 2015. Jejak sejarah para seniman menjadi sumber pemikiran dan kreativitas yang memberikan kontribusi penting melalui karya dan ide-ide mereka.
Setiap periode waktu mencerminkan konteks zaman di mana para seniman berusaha memberikan kontribusi melalui seni dan pemikiran mereka. Dari peristiwa-peristiwa dan karya-karya yang dihasilkan, beberapa tema telah diidentifikasi sebagai rujukan untuk menginspirasi karya seniman masa kini. Aplikasi ini mengajak para seniman untuk menghubungkan karya mereka dengan warisan artistik yang kaya dan beragam dari para pendahulu, menciptakan dialog kreatif antara masa lalu dan masa kini. Pembagian periode ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap nilai-nilai dan semangat yang dapat ditautkan dengan karya-karya seniman masa kini. Pembagian tersebut tidak dimaksudkan untuk merumuskan periodisasi sejarah, namun sebagai upaya memberikan gambaran umum mengenai praktik pewarisan tersebut. Sesuai dengan tawaran aplikasi ini, pameran akan dibagi menjadi beberapa klaster, yaitu:
Pada periode 1940-1950, Indonesia mengalami fase penting dalam membangun kesadaran nasionalisme dan identitas sebagai bangsa merdeka. Ini adalah masa puncak perjuangan melawan kolonialisme dan revolusi fisik, yang mendorong semangat kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia. Kesadaran nasionalisme tumbuh subur di kalangan seniman seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, dan A?andi, yang melalui karya-karya mereka menggambarkan perjuangan dan kondisi sosial rakyat Indonesia, serta menyuarakan aspirasi kemerdekaan.
Di sisi lain, kekaguman terhadap keindahan alam Indonesia, yang sering disebut "Hindia Molek," juga menginspirasi banyak seniman. Seniman seperti Basar Idjonati, Basoeki Abdullah, dan Wakidi menciptakan karya yang menonjolkan pesona alam tropis Indonesia. Kedua sisi ini—kesadaran nasionalisme dan kekaguman terhadap keindahan alam—berinteraksi dan berdinamika dalam karya seni rupa Indonesia pada masa itu. Para seniman tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menciptakan estetika yang menciptakan dialog antara semangat kebangsaan dengan keindahan alam, meninggalkan jejak fondasi penting bagi perkembangan seni rupa Indonesia.
Hingga saat ini karya-karya yang mengambil jejak dari para seniman masa itu dapat ditemukan pada karya-karya seniman mutakhir. Para seniman banyak yang
mengambil gagasan mengenai kebangsaan dan keindahan alam Indonesia pada karya-karya masa kini.
Pada periode 1950 hingga 1960, visi estetik nasionalisme kerakyatan semakin merebak di kalangan pelukis Indonesia berkat munculnya berbagai sanggar seni seperti Seniman Indonesia Muda (S.I.M), Pelukis Rakyat, dan Sanggar Bumi Tarung. Sanggar-sanggar ini menjadi pusat perkembangan seni rupa yang berfokus pada nilai-nilai kerakyatan dan nasionalisme. Beberapa karya yang menonjol dari periode ini termasuk “Kawan-Kawan Revolusi” karya S. Sudjojono, “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” karya A?andi, dan “Pengantin Revolusi” karya Hendra Gunawan, yang mencerminkan semangat perjuangan dan kondisi sosial rakyat Indonesia. Memasuki era 1960-an, visi estetik kerakyatan dalam seni lukis menjadi sangat dominan, terutama ketika kesenian mulai digunakan sebagai alat persaingan politik. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mempropagandakan realisme sosialis yang sejalan dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan Manipol (Manifesto Politik) di masa "Demokrasi Terpimpin". Figur vokal seperti S. Sudjojono mendorong perubahan gaya ke realisme untuk mencerminkan kehidupan rakyat dan memudahkan komunikasi dengan masyarakat. Perubahan gaya Sudjojono menuju "realisme nasi" menandai pentingnya fungsi komunikatif dalam seni, membuka jalan bagi wacana realisme sosialis. Karya-karya dari periode ini, seperti “Pekerja yang Membangun Kota” karya Amrus Natalsya dan “Tuan Tanah Kawin Muda” karya Djoko Pekik, menonjolkan ekspresi rakyat, potensi perlawanan, dan konflik sosial. Selain lukisan, media seperti poster dan patung juga berperan dalam menyebarkan ideologi tersebut.
Di sisi lain, organisasi Gelanggang yang didirikan pada tahun 1946 oleh Mochtar Apin bersama Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Baharuddin Marasutan, muncul sebagai wadah bagi seniman Indonesia yang memperjuangkan modernitas dan kebebasan berekspresi dalam seni. Gelanggang berperan penting dalam lanskap seni rupa Indonesia, terutama dalam era pasca-kemerdekaan, di mana kebutuhan untuk merumuskan identitas budaya nasional yang baru sangat kuat dirasakan. Mochtar Apin, salah satu pendiri Gelanggang, adalah seorang pelukis, ilustrator, penulis, dan pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Dalam karya-karyanya, Apin sering mengusung gaya kubisme dan ekspresionisme abstrak, dua aliran seni yang sangat mencerminkan semangat modernisasi dan inovasi. Gelanggang bukan hanya sebuah organisasi seni, tetapi juga sebuah gerakan yang menekankan pentingnya kebebasan individu dalam berkarya dan berekspresi. Anggotanya berusaha melampaui batasan-batasan tradisional, baik dalam teknik maupun tema, untuk menciptakan karya-karya yang inovatif dan relevan dengan perkembangan zaman. Mereka menganggap bahwa seniman harus bebas dari segala bentuk tekanan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk
menciptakan karya seni yang jujur dan otentik. Melalui Gelanggang, Mochtar Apin dan rekan-rekannya mendorong dialog dan pertukaran ide yang dinamis, baik di antara seniman Indonesia sendiri maupun dengan seniman dari berbagai belahan dunia. Mereka memandang kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dengan hak yang sah untuk berkontribusi dan berinteraksi dalam kancah seni global.
Periode lantunan lirisisme dan perayaan bentuk, yang berlangsung sekitar tahun 1960-1970, merupakan babak penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Paska tahun 1965, terjadi perubahan besar dalam panorama seni rupa Indonesia, di mana paradigma seni kerakyatan mulai mengendur, dan humanisme universal menjadi semakin dominan di ranah seni dan kebudayaan.
Landasan paradigma humanisme universal membawa lahir pendekatan seni yang dikenal sebagai lirisisme. Pendekatan ini menonjolkan kesadaran akan kebebasan manusia dan kreativitas dalam penciptaan karya seni. Ungkapan-ungkapan seni yang muncul dari pendekatan ini cenderung abstrak, intuitif, imajinatif, dekoratif, dan improvisatif, dengan tetap menyatukan elemen-elemen tradisional dengan ekspresi modern.
Jejak pendekatan seni ini sudah mulai terlihat sejak masa Seniman Indonesia Muda (S.I.M), di mana seniman seperti Oesman E?endi (OE), Zaini, Nashar, dan Rusli, telah memperkenalkannya. Namun, momentumnya semakin pesat pasca 1965, didukung oleh langkah-langkah pemerintah dalam mendirikan akademi seni dan pusat-pusat kesenian. Konsensus kultural juga menekankan pentingnya seniman untuk mempertahankan Identitas lokal-nasional dalam karya-karya mereka.
Beberapa seniman yang menonjol dalam periode ini antara lain Amang Rahman, Ahmad Sadali, Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Widayat, dan Srihadi Soedarsono. Karya-karya mereka menampilkan transisi abstrak dari elemen alam dan tradisi, menandai kehadiran lirisisme dalam seni rupa Indonesia. Generasi baru seniman seperti Umi Dahlan, Sunaryo, Nyoman Tusan, hingga Made Wianta, turut memberikan sumbangsih dalam mengembangkan dan memperkaya wacana seni rupa lirisisme di Indonesia.
Periode lirisisme dan perayaan bentuk ini menggambarkan dinamika yang kaya dalam evolusi seni rupa Indonesia, serta menjadi pijakan penting bagi perkembangan seni rupa di masa-masa selanjutnya.
Pada periode ini, banyak seniman kembali melakukan pencarian terhadap gaya tradisional seperti lukisan dekoratif dan memperkaya karya-karya mereka dengan falsafah lokal. Tokoh-tokoh seperti Widayat dan G. Sidharta Soegijo menjadi representasi dari kecenderungan ini, menggabungkan idiom tradisional dalam karya-karyanya untuk menghadirkan narasi yang kaya akan makna dan nilai budaya.
Di samping itu, era ini juga menyaksikan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru yang mendobrak praktik seni yang dianggap stagnan karena dominasi gaya dekoratif dan formalisme. Gerakan ini bertujuan untuk membebaskan seni dari keterbatasan keterbatasan tersebut, dan memulai penjelajahan baru terhadap media seni yang tidak lagi terikat pada gaya atau medium tertentu. Inovasi dalam penggunaan media dan pendekatan baru terhadap ekspresi artistik menjadi ciri khas dari Gerakan Seni Rupa Baru, yang menandai era keberanian dan eksperimen dalam seni rupa Indonesia.
Pada era 1980-an hingga 1990-an, seni rupa menyaksikan lahirnya aliran-aliran baru yang muncul sebagai respons terhadap setting sosiopolitik yang ada. Pertanyaan mendasar seperti bagaimana aliran seni ini muncul, apa agen yang melahirkannya, dan kepentingan apa yang diadvokasi, menjadi pokok pembicaraan. Di tengah kompleksitas ini, seni lukis surealis Yogyakarta menjadi salah satu bahasa yang paling baik dalam menyuarakan situasi kehidupan sosial, budaya, dan politik di Yogyakarta pada paruh kedua 1980-an dan awal 90-an. Karya-karya surealis Yogyakarta merekam periode kehidupan yang dipenuhi perubahan dan beragam artefak budaya, sekaligus mencerminkan gagasan-gagasan yang terkait dengan modernisasi dan globalisasi.
Beberapa seniman di Yogyakarta, seperti Ivan Sagita dan Lucia Hartini, dikenal sebagai tokoh surealisme Jogja yang mencerminkan realitas sosial dan budaya melalui karya-karya mereka. Di luar gaya surealistik yang rigid dan penuh ketelitian muncul seniman lain seperti Entang Wiharso, Pupuk DP, Nasirun, dan sebagainya yang menggabungkan idiom tradisi, dunia mimpi, dalam goresan ekspresif untuk mengomentari situasi kontemporer.
Tidak hanya itu, sejumlah seniman juga menggunakan seni sebagai sarana untuk mengomentari dan melakukan protes terhadap penguasa secara terbuka. Karya karya dari seniman seperti Semsar Siahaan, FX Harsono, Dadang Christanto, Moelyono, yang kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya seperti Komunitas Taring Padi, menjadi wujud konkret dari ekspresi seni sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.
Pada era 1995-an hingga 2005-an, seni rupa mengalami gelombang semangat independen yang sejalan dengan munculnya gerakan masyarakat madani pasca reformasi politik di Indonesia. Industri budaya menyaksikan berkembangnya jaringan independen dalam berbagai bidang seperti komik, musik, dan film. Dalam konteks seni, semangat independen ini juga merambah ke ranah publik dengan munculnya seni rupa publik, yang diwujudkan misalnya oleh Apotik Komik.
Selain itu, era ini menjadi momentum bagi penjelajahan terhadap medium-medium baru dalam seni rupa, seperti video, fotografi, seni instalasi, dan seni pertunjukan. Heri Dono adalah seorang seniman dengan praktik seni yang lintas medium, dari lukisan, instalasi, pertunjukkan, seni bunyi dan sebagainya. Krisna Murti, sebagai perintis video art di Indonesia, membuka jalan bagi munculnya seniman-seniman media baru. Seni performance, yang awalnya lebih dikenal sebagai bagian dari seni protes di ruang publik dalam bentuk happening art, mulai berkembang. Seniman seniman seperti Arahmaiani dan Iwan Wijono menggunakan seni performance untuk menyampaikan pesan-pesan yang menyoroti isu-isu sosial dan politik yang relevan pada masanya. Dalam bidang yang lebih kompleks, House of Natural Fiber mengembangkan keterkaitan antara seni dengan bidang sains dan teknologi. Masa ini makin menguatkan pandangan bahwa seni rupa tidak hanya menjadi wadah ekspresi kreatif, tetapi juga menjadi medium untuk eksplorasi ilmiah dan teknologi yang berdampak pada pemikiran dan tindakan dalam masyarakat.
Pada periode 2006-2015, budaya populer semakin merasuk dalam praktik seni kontemporer. Langkah awal yang diambil oleh Eddy Hara dengan menggunakan idiom populer seperti kartun dan animasi menjadi inspirasi bagi banyak seniman muda selanjutnya. Mereka tidak hanya mengadopsi gaya populer, tetapi juga dengan lancar melakukan sinergi dengan budaya populer, seperti yang dilakukan oleh seniman Eko Nugroho yang berkolaborasi dengan brand fashion ternama Louis Vuitton.
Di sisi lain, gerakan seniman muda semakin menembus batas-batas dunia global, membentuk apa yang disebut sebagai "kampung global". Mereka menggunakan teknologi digital dan media internet sebagai alat untuk menjangkau audiens tanpa terbatas oleh batas geografis. Hal ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan seniman dan penikmat seni dari berbagai belahan dunia, membawa pandangan lokal mereka ke panggung internasional dan sekaligus menerima pengaruh global dalam karya-karya mereka.
Dari rentetan jejak sejarah ini, kami mengundang karya-karya yang dapat mengikat diri dengan karya-karya para tokoh yang melintasi sejarah seni rupa. Kehadiran karya-karya ini menjadi penanda bahwa pewarisan pengetahuan dan semangat berkarya dalam seni rupa masih berlanjut hingga saat ini, dalam konteks yang semakin berkembang, aktual, dan kontekstual.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...