Nandung Srawung: Warisan Seni Rupa dari para Seniman Pendahulu-Legacy.

by ifid|| 16 Agustus 2024 || || 253 kali

...

Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY melalui Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar pameran seni rupa Nandur Srawung. Kegiatan ini dibuka pada Kamis (15/8) dan akan dilaksanakan hingga 28 Agustus yang lalu

Nandur Srawung XI mengangkat tema "Legacy: Wasiat," sebuah pameran yang menyoroti  warisan seni rupa dari para seniman pendahulu yang telah memberikan kontribusi  signifikan pada sejarah bangsa Indonesia dan dunia seni rupa itu sendiri. Pameran ini tidak  hanya merayakan karya-karya seni yang menginspirasi tetapi juga mengeksplorasi  bagaimana warisan tersebut mempengaruhi seniman-seniman masa kini dalam berbagai  aspek sosial, budaya, dan artistik

Kepala Kundha Kabudayan atau Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan Taman Budaya Yogyakarta merupakan laboratorium sekaligus ruang untuk mengekspresikan seni. Baginya, Nandur Srawung #11 ini terbilang istimewa. Sebab, pelaksanaannya tak jauh dari Peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI dan Peringatan Undang-Undang Keistimewaan ke-12 DIY. Menurut Dian, ini sejalan dengan tema Nandur Srawung kali ini, yakni Wasiat: Legacy.

"Legacy, warisan ini sangat masuk dengan tematik-tematik di Jogja saat ini. Agenda kami pada malam hari ini merupakan implementasi nilai Mikul Dhuwur Mendhem Jero, ini cara memaknai generasi penerus di seni rupa," tandas Dian 

Kundha Kabudayan, kata Dian, turut memberi dukungan pada kegiatan ini dengan dana keistimewaan. Lewat gelaran Nandur Srawung #11 pihaknya ingin mengajak masyarakat untuk menghargai karya seniman terdahulu. Melalui berbagai karya yang ada, masyarakat dibawa untuk melihat karya seni rupa dari berbagai generasi. "Ini maknanya dalam dan jadi tantangan bagi generasi sekarang spesial yang ikut aktivitas Nandur Srawung. Bagaimana menjawab tantangan yang terjadi dulu dan sekarang," ungkapnya.

Kepala Taman Budaya Yogyakarta Purwiati menjelaskan karya dibagi menjadi beberapa dekade mulai dari 1945-2015. Karya juga terbagi menjadi tiga klaster. Menurutnya, ini mengundang para seniman untuk menyajikan karya yang mengambil inspirasi dari seniman pendahulu. Baik dari segi pemikiran, metode yang digunakan, hingga gagasan artistiknya. Purwiati mengatakan pameran Nandur Srawung #11 akan digelar di Taman Budaya Yogyakarta pada 15-28 Agustus 2024. Dimulai pada pukul 11.00-21.00 WIB. "Pameran ini dibuka setiap hari dan gratis," kata Purwiati.

Salah satu kurator, Sujud Dartanto, menjelaskan dia bersama kurator lainnya membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mengkurasi karya yang ada. Karya tak hanya hadir dari DIY, tapi juga daerah lain seperti Madura hingga Tuban. Total ada 81 karya dari 75 seniman yang dipamerkan.

Sujud menambahkan karya yang ada di Nandur Srawung kali ini terbilang bervariasi. Ada karya lukisan dengan warna-warna cerah dan kekinian. Di sisi lain ada juga karya dengan warga gelap dengan kesan khas tempo dulu. Beberapa karya maestro seni juga ada di sini, seperti Djoko Pekik dan Djayengasmoro.

"Kami ingin perupa itu selalu confidence bahwa pencapaian yang ada sekarang itu tidak lepas dari pencapaian sebelumnya. Agar ke depan kualitas karya juga semakin baik," ujarnya.

Sujud mengaku sudah 8 kali ikut serta pada pameran Nandur Srawung. Menurutnya, karya seni yang dia kurasi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari sisi kualitas. Karya seni yang ada pun semakin bervariasi. Dari segi audiens pengunjung Nandur Srawung dari tahun ke tahun juga meningkat. Pada 2023 lalu, Nandur Srawung dihadiri oleh 22.000 pengunjung. "Harapannya paling tidak di tahun ini ada lebih dari 22.000 pengunjung yang hadir," ungkapnya.

Menggali Warisan Seni  

Pada setiap periode dalam sejarah bangsa Indonesia, selalu ada seniman-seniman yang  meninggalkan jejak mendalam, baik melalui karya seni mereka maupun melalui pemikiran  dan metode berkarya yang mereka kembangkan. Warisan ini menjadi fondasi penting yang  membentuk perkembangan seni rupa di Indonesia. Para seniman ini telah menanamkan  benih-benih kreativitas dan kebebasan berekspresi yang terus tumbuh dan berkembang di  tangan seniman-seniman generasi berikutnya.  

Pameran ini mengundang para seniman untuk mengajukan karya-karya yang mengambil  inspirasi dari warisan para pendahulu, baik dalam hal pemikiran, metode berkarya,  maupun gagasan artistik. Setiap karya yang dipamerkan adalah sebuah dialog antara masa  lalu dan masa kini, sebuah cara untuk menghormati dan melanjutkan jejak para pendahulu  dalam konteks zaman yang terus berubah.  

Menghidupkan Kembali Pemikiran dan Metode  

Seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini didorong untuk mengeksplorasi warisan  seni dengan cara yang inovatif dan pribadi. Mereka diajak untuk tidak hanya meniru, tetapi  juga menafsirkan ulang dan menghidupkan kembali pemikiran dan metode para pendahulu  dalam konteks kekinian. Ini termasuk bagaimana mereka menghadapi isu-isu sosial,  budaya, dan politik pada zamannya, serta bagaimana mereka menggunakan medium dan  teknik seni untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.  

Wasiat Seni dalam Konteks Kontemporer  

Pameran ini juga menjadi wadah untuk refleksi dan diskusi mengenai relevansi warisan  seni dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer. Bagaimana warisan dari  seniman-seniman terdahulu dapat membantu kita memahami dan merespons isu-isu  global saat ini, seperti krisis kemanusiaan, ketidakadilan sosial, dan perubahan geopolitik?  Para seniman diundang untuk menjawab pertanyaan ini melalui karya-karya mereka,  menjadikan pameran ini sebuah dialog interaktif antara generasi. 

 

Aplikasi Terbuka bagi Seniman  

Aplikasi ini membuka peluang bagi para seniman untuk mengirimkan karya seni yang telah  mereka hasilkan dalam dua tahun terakhir, yang terhubung dengan warisan para seniman  pendahulu. Nilai-nilai, gaya seni, dan gagasan yang diwariskan ini dikelompokkan  berdasarkan dekade, mulai dari tahun 1945 hingga 2015. Jejak sejarah para seniman  menjadi sumber pemikiran dan kreativitas yang memberikan kontribusi penting melalui  karya dan ide-ide mereka.  

Setiap periode waktu mencerminkan konteks zaman di mana para seniman berusaha  memberikan kontribusi melalui seni dan pemikiran mereka. Dari peristiwa-peristiwa dan  karya-karya yang dihasilkan, beberapa tema telah diidentifikasi sebagai rujukan untuk  menginspirasi karya seniman masa kini. Aplikasi ini mengajak para seniman untuk  menghubungkan karya mereka dengan warisan artistik yang kaya dan beragam dari para  pendahulu, menciptakan dialog kreatif antara masa lalu dan masa kini.  Pembagian periode ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap nilai-nilai  dan semangat yang dapat ditautkan dengan karya-karya seniman masa kini. Pembagian  tersebut tidak dimaksudkan untuk merumuskan periodisasi sejarah, namun sebagai upaya  memberikan gambaran umum mengenai praktik pewarisan tersebut.  Sesuai dengan tawaran aplikasi ini, pameran akan dibagi menjadi beberapa klaster, yaitu:  

  1. Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa (1945 – 1955)  

Pada periode 1940-1950, Indonesia mengalami fase penting dalam membangun  kesadaran nasionalisme dan identitas sebagai bangsa merdeka. Ini adalah masa  puncak perjuangan melawan kolonialisme dan revolusi fisik, yang mendorong  semangat kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia. Kesadaran nasionalisme  tumbuh subur di kalangan seniman seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Emiria  Soenassa, dan A?andi, yang melalui karya-karya mereka menggambarkan  perjuangan dan kondisi sosial rakyat Indonesia, serta menyuarakan aspirasi  kemerdekaan.  

Di sisi lain, kekaguman terhadap keindahan alam Indonesia, yang sering disebut  "Hindia Molek," juga menginspirasi banyak seniman. Seniman seperti Basar Idjonati,  Basoeki Abdullah, dan Wakidi menciptakan karya yang menonjolkan pesona alam  tropis Indonesia. Kedua sisi ini—kesadaran nasionalisme dan kekaguman terhadap  keindahan alam—berinteraksi dan berdinamika dalam karya seni rupa Indonesia  pada masa itu. Para seniman tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga  menciptakan estetika yang menciptakan dialog antara semangat kebangsaan  dengan keindahan alam, meninggalkan jejak fondasi penting bagi perkembangan  seni rupa Indonesia.  

Hingga saat ini karya-karya yang mengambil jejak dari para seniman masa itu dapat  ditemukan pada karya-karya seniman mutakhir. Para seniman banyak yang 

 

mengambil gagasan mengenai kebangsaan dan keindahan alam Indonesia pada  karya-karya masa kini.  

  1. Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia (1955-an hingga 1965)  

Pada periode 1950 hingga 1960, visi estetik nasionalisme kerakyatan semakin  merebak di kalangan pelukis Indonesia berkat munculnya berbagai sanggar seni  seperti Seniman Indonesia Muda (S.I.M), Pelukis Rakyat, dan Sanggar Bumi Tarung.  Sanggar-sanggar ini menjadi pusat perkembangan seni rupa yang berfokus pada  nilai-nilai kerakyatan dan nasionalisme. Beberapa karya yang menonjol dari periode  ini termasuk “Kawan-Kawan Revolusi” karya S. Sudjojono, “Laskar Rakyat Mengatur  Siasat” karya A?andi, dan “Pengantin Revolusi” karya Hendra Gunawan, yang  mencerminkan semangat perjuangan dan kondisi sosial rakyat Indonesia.  Memasuki era 1960-an, visi estetik kerakyatan dalam seni lukis menjadi sangat  dominan, terutama ketika kesenian mulai digunakan sebagai alat persaingan politik.  Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mempropagandakan realisme sosialis yang  sejalan dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan Manipol  (Manifesto Politik) di masa "Demokrasi Terpimpin". Figur vokal seperti S. Sudjojono  mendorong perubahan gaya ke realisme untuk mencerminkan kehidupan rakyat  dan memudahkan komunikasi dengan masyarakat. Perubahan gaya Sudjojono  menuju "realisme nasi" menandai pentingnya fungsi komunikatif dalam seni,  membuka jalan bagi wacana realisme sosialis. Karya-karya dari periode ini, seperti  “Pekerja yang Membangun Kota” karya Amrus Natalsya dan “Tuan Tanah Kawin  Muda” karya Djoko Pekik, menonjolkan ekspresi rakyat, potensi perlawanan, dan  konflik sosial. Selain lukisan, media seperti poster dan patung juga berperan dalam  menyebarkan ideologi tersebut.  

Di sisi lain, organisasi Gelanggang yang didirikan pada tahun 1946 oleh Mochtar  Apin bersama Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Baharuddin Marasutan,  muncul sebagai wadah bagi seniman Indonesia yang memperjuangkan modernitas  dan kebebasan berekspresi dalam seni. Gelanggang berperan penting dalam  lanskap seni rupa Indonesia, terutama dalam era pasca-kemerdekaan, di mana  kebutuhan untuk merumuskan identitas budaya nasional yang baru sangat kuat  dirasakan. Mochtar Apin, salah satu pendiri Gelanggang, adalah seorang pelukis,  ilustrator, penulis, dan pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Dalam  karya-karyanya, Apin sering mengusung gaya kubisme dan ekspresionisme abstrak,  dua aliran seni yang sangat mencerminkan semangat modernisasi dan inovasi.  Gelanggang bukan hanya sebuah organisasi seni, tetapi juga sebuah gerakan yang  menekankan pentingnya kebebasan individu dalam berkarya dan berekspresi.  Anggotanya berusaha melampaui batasan-batasan tradisional, baik dalam teknik  maupun tema, untuk menciptakan karya-karya yang inovatif dan relevan dengan  perkembangan zaman. Mereka menganggap bahwa seniman harus bebas dari  segala bentuk tekanan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk 

 

menciptakan karya seni yang jujur dan otentik. Melalui Gelanggang, Mochtar Apin  dan rekan-rekannya mendorong dialog dan pertukaran ide yang dinamis, baik di  antara seniman Indonesia sendiri maupun dengan seniman dari berbagai belahan  dunia. Mereka memandang kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan  dunia, dengan hak yang sah untuk berkontribusi dan berinteraksi dalam kancah seni  global.  

  1. Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk (1965-1975)  

Periode lantunan lirisisme dan perayaan bentuk, yang berlangsung sekitar tahun  1960-1970, merupakan babak penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Paska  tahun 1965, terjadi perubahan besar dalam panorama seni rupa Indonesia, di mana  paradigma seni kerakyatan mulai mengendur, dan humanisme universal menjadi  semakin dominan di ranah seni dan kebudayaan.  

Landasan paradigma humanisme universal membawa lahir pendekatan seni yang  dikenal sebagai lirisisme. Pendekatan ini menonjolkan kesadaran akan kebebasan  manusia dan kreativitas dalam penciptaan karya seni. Ungkapan-ungkapan seni  yang muncul dari pendekatan ini cenderung abstrak, intuitif, imajinatif, dekoratif,  dan improvisatif, dengan tetap menyatukan elemen-elemen tradisional dengan  ekspresi modern.  

Jejak pendekatan seni ini sudah mulai terlihat sejak masa Seniman Indonesia Muda  (S.I.M), di mana seniman seperti Oesman E?endi (OE), Zaini, Nashar, dan Rusli,  telah memperkenalkannya. Namun, momentumnya semakin pesat pasca 1965,  didukung oleh langkah-langkah pemerintah dalam mendirikan akademi seni dan  pusat-pusat kesenian. Konsensus kultural juga menekankan pentingnya seniman  untuk mempertahankan Identitas lokal-nasional dalam karya-karya mereka.  

Beberapa seniman yang menonjol dalam periode ini antara lain Amang Rahman,  Ahmad Sadali, Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Widayat, dan Srihadi Soedarsono.  Karya-karya mereka menampilkan transisi abstrak dari elemen alam dan tradisi,  menandai kehadiran lirisisme dalam seni rupa Indonesia. Generasi baru seniman  seperti Umi Dahlan, Sunaryo, Nyoman Tusan, hingga Made Wianta, turut  memberikan sumbangsih dalam mengembangkan dan memperkaya wacana seni  rupa lirisisme di Indonesia.  

Periode lirisisme dan perayaan bentuk ini menggambarkan dinamika yang kaya  dalam evolusi seni rupa Indonesia, serta menjadi pijakan penting bagi  perkembangan seni rupa di masa-masa selanjutnya. 

  1. Menggali Akar dan Mendobrak Batas (1975-an hingga 1985-an)  



Pada periode ini, banyak seniman kembali melakukan pencarian terhadap gaya  tradisional seperti lukisan dekoratif dan memperkaya karya-karya mereka dengan  falsafah lokal. Tokoh-tokoh seperti Widayat dan G. Sidharta Soegijo menjadi  representasi dari kecenderungan ini, menggabungkan idiom tradisional dalam  karya-karyanya untuk menghadirkan narasi yang kaya akan makna dan nilai budaya.  

Di samping itu, era ini juga menyaksikan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru yang  mendobrak praktik seni yang dianggap stagnan karena dominasi gaya dekoratif dan  formalisme. Gerakan ini bertujuan untuk membebaskan seni dari keterbatasan keterbatasan tersebut, dan memulai penjelajahan baru terhadap media seni yang  tidak lagi terikat pada gaya atau medium tertentu. Inovasi dalam penggunaan media  dan pendekatan baru terhadap ekspresi artistik menjadi ciri khas dari Gerakan Seni  Rupa Baru, yang menandai era keberanian dan eksperimen dalam seni rupa  Indonesia.  

  1. Pengembara di Dunia Mental dan Mimbar Bebas (1985-an hingga 1995-an)  

Pada era 1980-an hingga 1990-an, seni rupa menyaksikan lahirnya aliran-aliran baru  yang muncul sebagai respons terhadap setting sosiopolitik yang ada. Pertanyaan  mendasar seperti bagaimana aliran seni ini muncul, apa agen yang melahirkannya,  dan kepentingan apa yang diadvokasi, menjadi pokok pembicaraan. Di tengah  kompleksitas ini, seni lukis surealis Yogyakarta menjadi salah satu bahasa yang  paling baik dalam menyuarakan situasi kehidupan sosial, budaya, dan politik di  Yogyakarta pada paruh kedua 1980-an dan awal 90-an. Karya-karya surealis  Yogyakarta merekam periode kehidupan yang dipenuhi perubahan dan beragam  artefak budaya, sekaligus mencerminkan gagasan-gagasan yang terkait dengan  modernisasi dan globalisasi.  

Beberapa seniman di Yogyakarta, seperti Ivan Sagita dan Lucia Hartini, dikenal  sebagai tokoh surealisme Jogja yang mencerminkan realitas sosial dan budaya  melalui karya-karya mereka. Di luar gaya surealistik yang rigid dan penuh ketelitian  muncul seniman lain seperti Entang Wiharso, Pupuk DP, Nasirun, dan sebagainya  yang menggabungkan idiom tradisi, dunia mimpi, dalam goresan ekspresif untuk  mengomentari situasi kontemporer.  

Tidak hanya itu, sejumlah seniman juga menggunakan seni sebagai sarana untuk  mengomentari dan melakukan protes terhadap penguasa secara terbuka. Karya karya dari seniman seperti Semsar Siahaan, FX Harsono, Dadang Christanto,  Moelyono, yang kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya seperti Komunitas  Taring Padi, menjadi wujud konkret dari ekspresi seni sebagai bentuk perlawanan  terhadap ketidakadilan dan penindasan. 

 

  1. Seni Publik dan Media Baru (1995-an hingga 2005-an)  

Pada era 1995-an hingga 2005-an, seni rupa mengalami gelombang semangat  independen yang sejalan dengan munculnya gerakan masyarakat madani pasca  reformasi politik di Indonesia. Industri budaya menyaksikan berkembangnya  jaringan independen dalam berbagai bidang seperti komik, musik, dan film. Dalam  konteks seni, semangat independen ini juga merambah ke ranah publik dengan  munculnya seni rupa publik, yang diwujudkan misalnya oleh Apotik Komik.  

Selain itu, era ini menjadi momentum bagi penjelajahan terhadap medium-medium  baru dalam seni rupa, seperti video, fotografi, seni instalasi, dan seni pertunjukan.  Heri Dono adalah seorang seniman dengan praktik seni yang lintas medium, dari  lukisan, instalasi, pertunjukkan, seni bunyi dan sebagainya. Krisna Murti, sebagai  perintis video art di Indonesia, membuka jalan bagi munculnya seniman-seniman  media baru. Seni performance, yang awalnya lebih dikenal sebagai bagian dari seni  protes di ruang publik dalam bentuk happening art, mulai berkembang. Seniman seniman seperti Arahmaiani dan Iwan Wijono menggunakan seni performance  untuk menyampaikan pesan-pesan yang menyoroti isu-isu sosial dan politik yang  relevan pada masanya. Dalam bidang yang lebih kompleks, House of Natural Fiber  mengembangkan keterkaitan antara seni dengan bidang sains dan teknologi. Masa  ini makin menguatkan pandangan bahwa seni rupa tidak hanya menjadi wadah  ekspresi kreatif, tetapi juga menjadi medium untuk eksplorasi ilmiah dan teknologi  yang berdampak pada pemikiran dan tindakan dalam masyarakat.  

  1. Seni Pop dan Kampung Global (2005-2015)  

Pada periode 2006-2015, budaya populer semakin merasuk dalam praktik seni  kontemporer. Langkah awal yang diambil oleh Eddy Hara dengan menggunakan  idiom populer seperti kartun dan animasi menjadi inspirasi bagi banyak seniman  muda selanjutnya. Mereka tidak hanya mengadopsi gaya populer, tetapi juga  dengan lancar melakukan sinergi dengan budaya populer, seperti yang dilakukan  oleh seniman Eko Nugroho yang berkolaborasi dengan brand fashion ternama Louis  Vuitton.  

Di sisi lain, gerakan seniman muda semakin menembus batas-batas dunia global,  membentuk apa yang disebut sebagai "kampung global". Mereka menggunakan  teknologi digital dan media internet sebagai alat untuk menjangkau audiens tanpa  terbatas oleh batas geografis. Hal ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi dan  berkolaborasi dengan seniman dan penikmat seni dari berbagai belahan dunia,  membawa pandangan lokal mereka ke panggung internasional dan sekaligus  menerima pengaruh global dalam karya-karya mereka. 

 

Dari rentetan jejak sejarah ini, kami mengundang karya-karya yang dapat mengikat  diri dengan karya-karya para tokoh yang melintasi sejarah seni rupa. Kehadiran  karya-karya ini menjadi penanda bahwa pewarisan pengetahuan dan semangat  berkarya dalam seni rupa masih berlanjut hingga saat ini, dalam konteks yang  semakin berkembang, aktual, dan kontekstual.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta