by ifid|| 02 Oktober 2024 || || 112 kali
Anak-anak dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diharapkan dapat memperoleh lingkungan sosial mereka (lingkungan sosial anak) yang semakin lebar bagi literasi keluhuran budaya, sehingga anak memiliki bekal kemampuan dalam memahami, menyikapi, menghadapi, berperilaku, menjalani, dan memecahkan berbagai persoalan dinamika kehidupan sesuai dengan keluhuran budaya masyarakat DIY. Ketika perkembangan kehidupan saat ini relatif kurang memiliki ketersediaan ruang literasi terhadap keluhuran budaya dan esensi kehidupan manusia, maka keberadaan dan perkembangan anak sejak dini relatif kurang mendapatkan bekal kemampuan dalam menghantarkan anak pada pemahaman (dalam satu kesatuan yang utuh) terhadap keselarasan maupun kedekatan hubungan antara anak dengan sesama, dengan alam, dengan Sang Pencipta, dan satu kesatuan hubungan antar ketiganya secara utuh.
Keberadaan lingkungan sosial anak saat ini, baik rumah, sekitar rumah (lingkungan ketetanggaan), pendidikan formal, maupun lingkungan sosial lain relatif menyediakan ruang lebih dominan bagi literasi anak sesuai perkembangan kehidupan saat ini semata. Dengan demikian, ketersediaan lingkungan sosial anak semakin kurang memberikan ruang bagi literasi anak sesuai dengan keluhuran budaya maupun esensi kehidupan manusia yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa secara turun temurun. Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan) DIY melalui seksi Publikasi Seni dan Budaya Daerah mengadakan Workshop Jurnalistik Budaya Edisi 3 Tahun 2024 dengan tema “Menumbuhkan Literasi Anak” di Riss Hotel Malioboro Jl. Gowongan Kidul No. 33-49, Yogyakarta 55271. Acara dibuka oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan DIY, Cahyo Widayat sebagai perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY.
Workshop ini diikuti oleh 25 peserta dan menghadirkan tiga narasumber yang berkompeten. Pertama, Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. Selanjutnya, Muh. Arif Wijayanto, yang lebih dikenal sebagai Broto Wijayanto, sebagai pendiri komunitas Deaf Art Community. Narasumber terakhir adalah Ons Untoro, beliau merupakan seorang sastrawan. Kehadiran ketiga narasumber dapat memberikan inspirasi dan pengetahuan berharga kepada para peserta tentang cara menumbuhkan literasi pada anak-anak.
Sri Wahyaningsih menjadi narasumber pertama yang memberikan materi dalam acara workshop ini. Dalam penjelasannya, Sri menjelaskan dasar dari literasi yaitu kemampuan seseorang untuk melek aksara. Ia menjelaskan bahwa "warga melek" berarti Paham, Tahu, dan Mau. Sri menekankan bahwa kesadaran adalah bagian penting dari literasi, yang berarti memahami kenyataan di sekitar kita dan memiliki kehendak untuk bertindak. Sri juga menjelaskan tentang daur belajar dimulai dengan “rencanakan”. Selanjutnya, tahap "lakukan" mencakup tindakan yang memberikan pengalaman langsung. Setelah itu, "ungkap data" atau merekonstruksi kejadian tersebut, menyajikan fakta-fakta yang diperoleh. Kemudian, "menganalisis" atau mengkaji fakta atau data yang diperoleh. Akhirnya, proses ditutup dengan "simpulkan" atau refleksi.
Sri menjelaskan bahwa proses belajar di SALAM dirancang agar setiap anak memiliki kebebasan untuk memilih sesuai dengan kesukaan mereka. Bagaimana anak riset yaitu dengan belajar dari suatu yang nyata yang sesuai dengan kesukaan mereka. Misalnya, jika seorang anak sangat menyukai kereta api, orangtua dianjurkan untuk mengajak anak tersebut melihat kereta api secara langsung. Dengan pengalaman ini, anak tidak hanya dapat mengamati kereta api dari dekat, tetapi juga belajar tentang berbagai aspek tentang kereta api.
Proses pembelajaran di SALAM, terdapat berbagai input yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, murid menjadi pusat dari proses ini, diikuti oleh orang tua dan penyelenggara sekolah yang berfungsi sebagai pemantik, memberikan ide-ide dan dukungan yang diperlukan. Selain itu, masyarakat berperan sebagai narasumber, memberikan wawasan dan pengalaman yang dapat memperkaya proses belajar. Seluruh pihak ini duduk bersama untuk mendiskusikan kecenderungan dan ketertarikan anak. Dalam diskusi ini, mereka mengeksplorasi minat dan potensi dari anak, yang kemudian menjadi dasar untuk mengambil keputusan tentang arah pembelajaran selanjutnya. Kemudian untuk outputnya adalah membangun komunitas belajar.
Selanjutnya, narasumber kedua adalah Broto Wijayanto, pendiri dari Deaf Art Community Yogyakarta. Komunitas ini dibangun untuk memberdayakan para tunarungu melalui berbagai aktivitas seni pertunjukan dan budaya. Dalam materi yang disampaikannya, Broto mengangkat tema literasi bagi anak-anak disabilitas melalui media seni dan budaya. Ia menjelaskan bahwa kesenian memegang peranan penting dalam pendidikan, karena melalui interaksi langsung dengan beragam ekspresi seni, peserta dapat mengasah cita rasa, kreativitas, dan literasi secara bersamaan. Menurut Broto, anak-anak disabilitas adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Broto juga menyampaikan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan informasi, berhak untuk berinteraksi, berkomunikasi satu sama lain, dan berhak memperoleh kesempatan yang sama tanpa terkecuali kaum difabel. Masyarakat cenderung memaksa orang difabel untuk bisa mendengar, melihat, berjalan, mengerti cara berkomunikasi dan berlaku yang sebenarnya bukan cara mereka. Broto juga menjelaskan bahwa Yogyakarta adalah kota inklusi yang menjadi surga bagi orang difabel, berkat banyaknya kegiatan yang dirancang untuk anak-anak disabilitas. Penerimaan warga Jogja terhadap orang-orang difabel sangat baik, menciptakan lingkungan yang mendukung dan ramah.
Kemudian, Broto menampilkan beberapa gambar anak-anak penyandang disabilitas yang sedang berkarya. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan mereka saat melukis, membuat kerajinan dari plastisin, dan menggambar. Melalui visual ini, Broto ingin menunjukkan proses kreatif yang mereka jalani sesuai dengan apa yang mereka sukai, menggambarkan kebahagiaan dan keterlibatan anak-anak dalam seni. Hal ini juga menegaskan potensi dan kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri melalui berbagai bentuk karya seni. Broto menekankan bahwa anak-anak disabilitas berhak mendapatkan akses terhadap literasi dan ilmu pengetahuan.
Narasumber terakhir adalah Ons Untoro, yang memiliki pengalaman luas di bidang jurnalis. Dalam sesi ini, Ons memberikan materi tentang liputan dan wawancara untuk majalah Mata Budaya. Ia menjelaskan bahwa ada dua jenis tulisan dalam liputan pertama, media harian yang menggunakan format straight news atau berita langsung, yang harus dikerjakan dengan cepat karena bersifat hot news. Kedua, tulisan untuk media bulanan yang lebih bersifat feature, memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi topik dengan lebih mendalam dan kreatif.
Ons menyampaikan bahwa dalam wawancara dan liputan, penting untuk selalu mengingat rumus 5 W + 1 H. Rumus ini mencakup pertanyaan dasar yang harus dijawab dalam setiap laporan yaitu What (apa peristiwanya), When (kapan terjadinya), Where (di mana peristiwanya), Who (siapa pelakunya), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, jurnalis dapat menyajikan informasi yang lengkap dan jelas, sehingga pembaca dapat memahami konteks dan detail dari suatu peristiwa dengan baik.
Ons juga menekankan dua prinsip penting dalam wawancara. Pertama, pewawancara harus membuka pikiran responden dengan memulai dengan pertanyaan yang luas, lalu mempertajam jawaban yang belum jelas. Dalam proses ini, pertanyaan berikutnya sebaiknya mengambil kata kunci dari jawaban responden untuk mendalami topik lebih lanjut. Kedua, pewawancara harus menghindari intervensi, artinya mereka tidak boleh menyanggah pendapat responden atau menyampaikan pendapat pribadi yang mengharapkan persetujuan. Dengan mengikuti kedua prinsip ini, wawancara dapat berlangsung dengan lebih efektif dan menghasilkan informasi yang lebih mendalam dan objektif.
Setelah ketiga narasumber menyampaikan materi masing-masing, para peserta workshop diberikan kesempatan untuk bertanya. Peserta pertama, Wardah, menanyakan bagaimana anak-anak disabilitas yang melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perkuliahan dapat beradaptasi dalam proses belajar dan ujian. Broto langsung menjawab, "Mereka cukup aktif mendatangi dosen setelah kelas. Anak-anak tunarungu biasanya memiliki teman dekat yang belajar bahasa isyarat, dan mereka meminta bantuan teman tersebut untuk menerjemahkan saat ujian. Sementara itu, anak-anak tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang kuat, asalkan mereka memahami lokasi yang harus mereka tuju."
Pertanyaan selanjutnya diajukan oleh Fatony, yang bertanya tentang apa yang dilakukan pendamping dalam merumuskan metode belajar, khususnya terkait budaya dan tantangan utama dalam mengembangkan literasi anak. Sri menjawab, "Metode yang kami gunakan adalah dengan mendekati anak-anak, menggali potensi dan keinginan mereka, lalu mengarahkan mereka pada hal-hal yang menarik bagi mereka. Tantangan utamanya adalah ketidakkonsistenan dari orang tua. Konsistensi dukungan dari orang dewasa sangat penting selama proses belajar anak."
Gabriska mengajukan pertanyaan penutup, menyampaikan bahwa selama liputan dia telah menyiapkan segala sesuatunya. Namun, saat bertemu narasumber, dia menemukan banyak cerita menarik yang membuat sebagian persiapan menjadi tidak terpakai. Dia bertanya apakah situasi ini wajar atau perlu diperbaiki. Ons menjawab, "Situasi seperti itu wajar. Prosesnya memang dinamis; baik narasumber maupun pewawancara mengalami perkembangan. Yang penting adalah tetap tidak keluar dari topik." Setelah sesi tanya jawab selesai, workshop dilanjutkan dengan penugasan redaksi kepada para peserta. Kemudian, acara diakhiri dengan penutup. Sharina/fit
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...