by ifid|| 02 Oktober 2024 || || 50 kali
Perempuan telah dicatat dalam sejarah dan sastra peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Zoetmulder mengistilahkan perempuan sebagai sakti (daya aktif) para dewa yang personifikasinya diwujudkan sebagai istri (Zoetmulder, 2011, 986). Pekik tersebut didukung dalam penggambarannya dalam kitab Manu Smrti, yang menyebut bahwa perempuan adalah pelita rumah tangga yang memenuhi dharma ksatria (Wahjono, 2004, 80). Pada beberapa sumber sastra, perempuan adiluhung paling diingat oleh masyarakat Jawa adalah Srikandi. Tokohnya kerap menjadi alegori dari upaya pembentukan identitas ideal dari perempuan, dan diadaptasi dari masa ke masa. Pada awal abad XIX, predikat srikandi disandang oleh Raden Ayu Djajaningrat dan para prajurit perempuan dari Keraton Yogyakarta. Peter Carey menganalogikan prajurit perempuan ini sebagai srikandi kedaton yang mengelilingi Sultan di Prabayeksa saat runtuhnya tatanan Yogyakarta oleh Inggris. Para perempuan ini jauh lebih bernyali di antara para Pangeran yang menyelinap keluar keraton untuk mencari selamat dengan berlari ke desa-desa terdekat (Carey, 2011, 389–390). Babad Bedhahing Ngayogyakarta menjadi akta sejarah yang menampar jenama ‘perkasa’ laki-laki Jawa. Di titik tersebut, perempuan mampu mensubtitusi maskulinitas laki-laki hingga kedudukannya dalam pemikiran Jawa berubah pasca Perang Jawa (1825-1830). Paruh abad ke-19, perempuan Jawa berada dalam bayang-bayang kolonial. Mereka digolongkan sebagai subaltern (golongan marginal yang berkedudukan rendah). Disebutkan bahwa kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara, karena tidak ada telinga dari kaum laki-laki kolonial maupun pribumi untuk mendengarkannya. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak bisa berkomunikasi secara literal, tetapi tidak ada posisi subjek dalam wacana kolonialisme yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengartikulasikan diri sebagai pribadi. Mereka ditakdirkan untuk diam. Beberapa narasi tandingan kemudian lahir untuk membantah takdir perempuan sebagai golongan subaltern. Simone de Beauvoir dalam the second sex turut menggagas konstruksi pemikiran bahwa perempuan bukanlah realitas yang ajeg, melainkan suatu yang ‘menjadi’ sehingga secara terus-menerus perlu didefinisi. Proses pendefinisian berhubungan dengan beberapa faktor dan variabel. Kondisi yang meringkus perempuan dalam proses penyusunan sejarah lokal lantas menjadi wujud dari gerakan perlawanan yang naik-turun, tidak menentu dan tergantung pada siapa yang mendefinisikannya. Berangkat dengan pemikiran domestik tentang perempuan ‘domestikasi gender’, Keraton Yogyakarta menggelar pameran akhir tahun dengan tajuk Parama Iswari, Mahasakti Keraton Yogyakarta. Pameran tersebut menjadi tawaran atas renaisans perempuan untuk mendefinisikan kembali ‘keperempuanannya’ berdasarkan peran dan kapasitas. Menurut Nyi R. Ry. Noorsundari, selaku Pimpinan Produksi Pameran Paramaiswari, pameran ini bercerita tentang peran perempuan di Kraton Yogyakarta dari masa HB 1 sampai dengan saat ini. Adapun koleksi yang ditampilkan adalah yang berhubungan dengan perempuan, baik busana, perhiasan, manuskrip juga arsip catatan keuangan. “Pada pameran ini juga terdapat kegiatan pendukung seperti workshop dan public lecture yang dimaksud untuk diskusi dan edukasi ke masyarakat kedudukan dan peran wanita dalam berbagai tahap kehidupan.Parama Iswari utamanya perempuan utama, bahwa sebenarnya perempuan juga berperan dalam kelangsungan hidup bangsa,” ujarnya. Mahasakti Kraton Yogyakarta, melihat peran perempuan sebagai pendamping dan pendukung utama pria demi keseimbangan kehidupan, dan persepsi yang jujur tentang kekuatan perempuan. Fajar Wijanarko atau Mas Jajar (MJ) Pradanareja Guritno selaku Kurator Pameran Paramaiswari menambahkan, Parameswari [parama-iswari]: dalam kamus bahasa Jawa berarti langkung luhuring pawestri atau lebih dari perempuan utama. “Parameswari sebuah term yang disematkan pada perempuan utama dalam tatanan kerajaan Jawa. Istilah tersebut telah digunakan sejak abad ke-9 dan dipelihara dalam memori kolektif budaya Nusantara sampai abad ke-21. Kedudukan parameswari dan ketokohan perempuan yang melekat acapkali berafinitas sebagai sakti,” jelasnya. Jenama yang mengikat pada raja sekaligus kuasa yang melampaui kadarnya. Berangkat dari pendekatan kronologi, narasi parameswari sebagai perempuan yang melintasi sejarah dirangkap dalam satu situasi budaya. Impresi dari kiprah prameswari yang dikumpulkan dan dipadu dalam satu ruang pamer membawa intensi agar perempuan mampu membangun definisi ulang tentang keberadaannya secara adaptif. “Konteks perempuan sebagai bagian dari militer, pemrakarsa budaya, hingga aktivis sosial terus berubah dan menjelma sesuai relevansi hari ini,” tambahnya. Keraton Yogyakarta mencatat gender parameswari sebagai perempuan utama bukan hanya pada dikotomi perempuan di ruang privat. Raden Ayu Kadipaten adalah parameswari dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga panglima perang prajurit Langenkusumo. Kiprahnya dalam dunia militer patut diperhitungkan. Dia dicatat sebagai guru sekaligus nenek dari Pangeran Diponegoro yang kemudian hari mengibarkan Perang Jawa (1825-1830). Catatan lain tentang ketokohan parameswari sebagai perempuan yang berdaulat dimiliki oleh setiap Sultan yang bertakhta. Raden Ayu Andayaningrat, seorang diplomat ulung yang menjadi negosiator dari kembalinya Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan di Saparua. Periode yang paling kentara adalah kehadiran GKR Kencana, permaisuri dari Sultan Hamengku Buwono VII yang memiliki daya matematis yang ulung, Ia adalah perempuan yang mengatur keuangan di Keraton Yogyakarta. “Dari data kronologis yang dikumpulkan, akhirnya, Keraton Yogyakarta tidak secara khusus mengonstruksi dialog perlawanan terhadap dogma feminis yang sebenarnya belum selesai dipahami. Ihwal yang ditangkap cenderung berpusat pada data sejarah sebagai jalan untuk menyelami aksi-reaksi seorang parameswari sebagai perempuan,” tutup MJ. Pradanareja Guritno.
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, mendukung kegiatan yang dilakukan oleh Kawedanan Kridhamardawa, Keraton Yogyakarta dengan Pertunjukan Wayang Wong pada: 1 Oktober, 2 Oktober, 4 Oktober, dan 5 Oktober 2024, Pukul 19.00 WIB di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pagelaran
Pertunjukan tersebut juga menjadi pertunjukan pendukung Penyelenggaraan Pameran Pameran oleh Kawedanan Radya Kartiyasa, Keraton Yogyakarta pada: yang akan di buka secara sermi oleh Sri Sultan Hamngkubuwono X pada hari Sabut malam (5/10) di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, sedanghakan untuk Pameran secara resmi dapat di kunjungi mulai tanggal 6 Oktober 2024– 26 Januari 2025 08.30– 14.30 WIB di Kagungan Dalem Kedhaton, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...