by ifid|| 03 Oktober 2024 || || 50 kali
Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa 2024 selama tiga hari sejak Rabu 2 Oktober hingga Jumat 4 Oktober 2024. Forum tersebut bertujuan untuk saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan perhatian terhadap berbagai gagasan dan praktik. Dalam dinamika seni rupa dan budaya kontemporer di negara-negara yang berada di sekitar kawasan khatulistiwa.
Direktur YBY Alia Swastika mengatakan, simposium ini digelar di tiga lokasi. Yakni di Kampoeng Mataraman, Sewon, Bantul; Museum Pendidikan Indonesia UNY; dan ISI Yogyakarta. Forum ini dirancang sebagai arena pertemuan bagi praktisi, pekerja, pemerhati, dan peneliti di bidang seni rupa serta kebudayaan di negara-negara sekitar kawasan khatulistiwa.
“Sebagai organisasi seni, kami tidak berfokus pada penciptaan karya seni saja, tetapi kami juga punya perhatian lebih pada peristiwa produksi pengetahuan, diskusi, simposium, dan seminar yang jadi sebuah ruang untuk saling bertemu dan berbagi,” katanya, di Kampoeng Mataraman,Rabu malam.
Menurutnya, kerja kesenian tidak cukup hanya dengan membuat karya di studio lalu berpameran. Serta hanya melihat bahwa ruang seni steril dari persoalan politik. Namun, seniman dan pekerja seni yang terlibat dalam ekosistem seni didorong memiliki keberpihakan terhadap kelompok yang terpinggirkan. Secara khusus, YBY memberi penekanan pada isu dekolonisasi dan desentralisasi. Sejak 2019, YBY konsisten memberi perhatian pada komunitas yang selama ini tidak terlihat sebagai pusat kebudayaan. “Mereka sebenarnya memainkan peran yang penting dalam membantu identitas kolektif pada kerja kesenian dan kebudayaan,” ujar Alia.
Simposium Khatulistiwa 2024 ini memilih topik tentang kerja perawatan. Topik itu, kata Alia, menjadi penting untuk dibahas dengan mempertimbangkan risiko-risiko kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi. Berbagai risiko itu hadir sebagai dampak dari kepemilikan terbatas sumber daya alam oleh kelompok elite, kebijakan negara yang tidak adil, dan kekerasan pengetahuan sejak masa penjajahan.
“Akibatnya, sebagian besar dari kita harus mengalami kerentanan fisik, sosial, dan psikologis karena berbagai risiko yang harus ditanggung secara individual maupun kolektif,” ucap Alia.
Sementara topik besar yang dipilih diambil dari salah satu istilah dalam bahasa Sansekerta, yaitu ‘mupakara’. Terma ‘mupakara’ diartikan sebagai merawat dan menjaga. Mupakara bisa jadi sebuah metode pembacaan alternatif terhadap kerja perawatan melalui pengetahuan kultural.
Simposium ini berisi pemaparan dalam enam tema. Antara lain Keadilan Gender, Kesehatan Reproduksi, dan Identitas Seksual; Solidaritas Lokal-Global dan Sejarah dan Warisan Penjajahan; lalu Konservasi dan Arsip. Kemudian Agraria, Lingkungan dan Ekologi; Perdesaan, Perkampungan, dan Perkotaan; serta Media dan Aktivisme Digital. “Pemaparan ini terbagi dalam beberapa kelas yang sesuai dengan tema tema dan subtema dari Simposium Khatulistiwa,” jelas Alia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan, pihaknya mengapresiasi konsistensi YBJ dalam menggelar program kebudayaan yang berbasis pada produksi pengetahuan.
Kerja keperawatan penting untuk direfleksikan, utamanya kerja kerja keperawatan berbasis komunitas akar rumput. Dan dari topik-topik diskusi yang dibawakan Biennale Yogyakarta mencakup kerja-kerja keperawatan dari berbagai aspek dan berbagai komunitas sehingga tercipta lingkungan inklusif.
Diadakannya simposium di perguruan tinggi dan ruang publik juga sejatinya tepat sasaran dengan demikian terjalin proses transmisi pengetahuan secara alternatif bagi mahasiswa dan masyarakat secara luas. Sangat penting adanya ruang-ruang pendidikan semacam ini.
“Kami harap ini jadi suatu ruang bersama yang sangat inklusif terhadap berbagai pemikiran, pengetahuan, respons, kritikan dan tanggapan dari berbagai stakeholder,” kata Dian.
Ia menilai, rangkaian simposium ini juga menjadi menarik lantaran digelar di lokasi-lokasi yang representatif. Yakni di perguruan tinggi dan ruang publik. Sehingga akan terjadi proses transmisi pengetahuan secara alternatif. Baik bagi peserta dan para pemerhati seni. Dian menambahkan, pihaknya selalu turut serta mendukung YBY dalam menggelar simposium seperti ini.
Ia berharap, ide dan inovasi baru untuk mengembangkan kebudayaan dapat muncul dan berkembang dalam forum ini. “Seiring dengan dinamika dan kondisi zaman serta tantangannya,” pungkas Dian.
Simposium Khatulistiwa merupakan forum global yang dirancang sebagai arena pertemuan bagi praktisi, pekerja, pemerhati, dan peneliti di bidang seni rupa serta kebudayaan di negara-negara sekitar kawasan Khatulistiwa. Simposium Khatulistiwa 2024 memilih topik tentang kerja perawatan. Topik tersebut berangkat dari pertanyaan besar kami tentang "bagaimana cara merawat solidaritas antar warga di tengah kondisi krisis ekologi dan ketimpangan ekonomi saat ini?" Pertanyaan yang membayangkan kerja-kerja perawatan menjadi dasar untuk menghadirkan dan menumbuhkan solidaritas antar warga secara berkelanjutan. Kerja-kerja perawatan yang kami maksud tidak terbatas pada model kerja profesional, berupah, atau sosial. Akan tetapi, juga dipahami sebagai bentuk perhatian, pelibatan, perbincangan, pembagian sumber daya, kehadiran, keintiman, afeksi dan sebagainya.
Topik kerja perawatan menjadi penting untuk dibahas dengan mempertimbangkan risiko-risiko kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi. Berbagai risiko tersebut hadir sebagai dampak dari kepemilikan terbatas sumber daya alam oleh kelompok elit, kebijakan negara yang tidak adil, dan kekerasan pengetahuan seda masa penjajahan. Akibatnya, sebagian besar dari kita harus mengalami kerentanan fisik, sosial, dan psikologis karena berbagai risiko yang harus ditanggung secara individual maupun kolektif.
Biennale memilih satu istilah dalam bahasa Sanskerta, yaitu mupakara. Di dalam seraf maupun geguritan, istilah ini hadir sebagai kata kerja dan kata sifat. Mupakara bisa diartikan merawat dan menjaga. Mupakara bisa jadi sebuah metode pembacaan alternatif terhadap kerja perawatan melalui pengetahuan kultural. Sebagai kata sifat, mupakara melekat dalam sosok Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kesuburan oleh masyarakat Jawa. Pada kondisi serba krisis, Dewi Sri justru melakukan tindakan merawat, mulai dari merawat tanaman bunga, kebersihan dapur, lumbung padi, hingga mengajarkan mantra penolak hama. Bisa jadi, kerja perawatan Dewi Sri adalah siasat untuk bertahan dari himpitan kuasa dan siklus kekerasan. Mupakara kemudian menjadi konsep dalam keseluruhan kerja perawatan Dewi Sri perawatan sebagai tindakan sehari-hari dalam krisis, duka, dan kerentanan. Tak sekedar perawatan dalam makna normatif, tapi sebuah upaya bersolidaritas dan saling bergandengan tangan untuk berbagi hidup.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...