Angkat isu Kota, Arsip dan Teks yang Terpinggirkan - Bawa Penonton untuk lebih Peka

by ifid|| 17 Oktober 2024 || || 44 kali

...

Muncul di tahun 2018 Parade Teater Linimasa menghadirkan isu lingkungan dan masa depan, Di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta menjadi saksi dibukanya Parade Teater Linimasa #7 dengan tema "Kota, Arsip, dan Teks yang Terpinggirkan." Kegiatan ini tidak hanya menjadi wadah bagi para seniman, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang tengah berlangsung di Yogyakarta. Dalam konteks perkembangan pesat pembangunan, pariwisata dan perubahan identitas lokal, parade teater  ini mampu memberikan ruang bagi eksplorasi dan refleksi terhadap isu-isu yang dihadapi Yogyakarta.

Selama tiga hari, mulai tanggal 16 hingga 18 Oktober, kegiatan ini menyediakan kesempatan bagi seniman dan penonton untuk berinteraksi serta menikmati sajian memukau tentang keresahan sosial melalui pentas teater. Kehadiran Parade Teater Linimasa #7 juga menandai pentingnya ruang seni dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada di Yogyakarta. Teater bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan yang mampu membuka wawasan dan menyentuh hati. 

Purwiat, Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta,  menyampaikan apresiasinya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam menyelenggarakan Parade Teater Linimasa #7. Beliau menekankan bahwa acara ini adalah bagian dari komitmen Taman Budaya Yogyakarta untuk menjadi pusat kegiatan seni dan budaya yang inklusif.

“Parade Teater Linimasa bukan hanya sebuah festival, tetapi merupakan upaya kita untuk memperkuat dialog antara seni dan masyarakat. Dalam kondisi Yogyakarta yang terus berubah, penting bagi kita untuk merayakan keberagaman dan mengeksplorasi nilai-nilai yang terpinggirkan,” ungkap Purwiati.

Beliau, mengingatkan tentang pentingnya peran seni dalam menghadapi tantangan yang ada. “Seni teater memiliki kekuatan untuk menggugah kesadaran dan membangkitkan empati. Melalui pertunjukan-pertunjukan yang akan disajikan, Parade Teater Linimasa #7 menjadi cermin bagi Yogyakarta, menampilkan sisi-sisi yang seringkali terabaikan, sekaligus mengajak kita untuk merenungkan bagaimana seni teater dapat berkontribusi dalam memahami dan memaknai realitas sosial,” tambahnya.

Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, yang turut hadir dalam Kegiatan ini menyampaikan, rasa syukur dan bangga atas terlaksananya Parade Teater Linimasa #7. Beliau menekankan pentingnya acara ini dalam konteks Yogyakarta yang terus berkembang, serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga nilai-nilai budaya di tengah modernisasi.

“Yogyakarta adalah kota yang kaya akan warisan budaya dan sejarah. Namun, dalam era yang serba cepat ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan identitas lokal yang kian terpinggirkan. Parade ini menjadi langkah penting untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam merayakan dan melestarikan seni serta budaya kita,” tutur Dian 

Dian mengajak seluruh masyarakat untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga berkontribusi dalam dialog tentang kondisi sosial dan budaya saat ini. “Melalui seni teater, kita bisa menciptakan ruang untuk berbagi cerita, menggali makna, dan menemukan kembali apa yang telah hilang di kota Yogyakarta. Sesuai dengan tema kota, arsip dan teks yang terpinggirkan. Mari kita bersama-sama membangun kesadaran dan kepedulian terhadap kota tercinta ini,” pungkas Dian.


Angkat isu Kota, Arsip dan Teks yang Terpinggirkan

Parade Teater Linimasa #7 menghadirkan enam kelompok teater lintas genre, mulai dari teater tradisional hingga teater kontemporer. Pada pertunjukkan hari pertama menampilkan karya anak-anak dari Teater Sanggar Anak Alam Yogyakarta yang berjudul “Manik-Manik Mimpi” sebuah pertunjukan eksperimental dalam sudut pandang anak-anak yang menghadirkan perspektif unik dalam imaji anak-anak tentang kota Jogja, khususnya dengan ketersediaan dan aksesibilitas ruang bermain mereka.

Mereka mengungkapkan keinginan untuk memiliki taman bermain yang megah, perpustakaan besar, dan fasilitas bermain yang aman. "Aku ingin trampolin yang besar dan lapangan luas untuk bermain bola!" seru mereka dengan penuh semangat. Namun, momen indah itu terguncang ketika getaran tanah mulai terasa karena adanya pembangunan kota. Taman bermain yang mereka impikan mulai hancur, ditimpa oleh kotak-kotak yang jatuh. Roh kota muncul, merebut impian anak-anak dan menimbunnya dengan bangunan baru, menggantikan cahaya bulan dengan kilau lampu-lampu kota. 

Dengan sentuhan seni dan kreativitas, teater ini mengajak kita untuk meresapi makna dari impian anak-anak, serta tantangan yang mereka hadapi dalam dunia yang terus berubah. Teater Sanggar Anak Alam menjadi wadah bagi mereka untuk menyuarakan keinginan dan harapan dalam pementasan Linimasa#7 ini, serta menggugah hati penonton untuk menjaga keindahan imajinasi anak-anak di kota Yogyakarta.

Dari pertunjukan yang disajikan oleh teater Sanggar Alam, secara tidak langsung, sadar tidak sadar ruang untuk ekspresi anak semakin terhimpit oleh perkembangan, pembangunan kota, dan kita dihadapkan dengan dengan kemajuan teknologi yang terus berkebang.

Penampilan kedua dari dalam pementasan teater berjudul “Penari Tanpa Panggung” karya STUDI SENI NGaTHaBaGaMa, kita diajak merenungkan kehidupan penari jalanan di perempatan kota. Mereka tampil tanpa panggung, tanpa sorak-sorai penonton, dan bahkan tanpa tepuk tangan. Di tengah kesibukan lalu lintas, para penari ini berjuang mengandalkan bakat mereka untuk mendapatkan pengakuan, sambil bersaing dengan para pengais rezeki lainnya.

Fenomena penari jalanan semakin mencolok di Jogja, yang seolah menjadi panggung bagi seniman-seniman ini. Mereka bukan pengemis, mereka adalah individu yang berusaha memperlihatkan bakat mereka. Setiap gerakan tubuhnya adalah harapan-harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk anak-anak mereka. 

Pementasan ini menyoroti pentingnya menghargai seni dalam berbagai bentuk, termasuk yang ada di jalanan. Dengan sentuhan kreatif baik dalam gerakan maupun pemanggungan, “Penari Tanpa Panggung” mengajak kita untuk menghargai perjuangan para seniman jalanan. Melalui pertunjukan ini, kita diingatkan bahwa di balik setiap penampilan, ada cerita dan harapan yang mendalam.

Teater Mlati dengan judul "Kota(k) Sampah" menjadi pembuka pertunjukan  parade teater Linimasa#7 yang digelar pada tanggal Kamis, 17 Oktober 2024. Hari kedua kegiatan ini tidak kalah meriah dibandingkan dengan pembukaan kemarin, hal ini terlihat dari sikap penonton yang kembali terpukau dengan penampilan yang kaya akan keragaman dan keunikan menghadirkan dua pertunjukan yang berbeda namun saling melengkapi, "Kota(k) Sampah" dari Teater Mlati dan "Titik Nol Km Berbisik di Kala Waktu Berisik" dari Kinemime Nusantara.

Teater Mlati dengan judul "Kota(k) Sampah", mengisahkan kehidupan sekelompok orang dengan beragam pekerjaan di sebuah tempat yang semakin terdesak oleh timbunan sampah. Cerita ini dimulai dengan gambaran kehidupan sehari-hari mereka yang tampak normal, namun seiring waktu, timbunan sampah mulai mengganggu kenyamanan tempat tinggal mereka. Keberadaan sampah yang terus bertambah membuat para tokoh saling menuduh satu sama lain, menciptakan ketegangan yang semakin memuncak.

Karya ini tidak hanya menggambarkan masalah lingkungan yang kian serius, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial di dalam masyarakat. Setiap karakter membawa beban emosionalnya sendiri, ditambah dengan konsep pemanggungan yang kaya akan visual artistik. Melalui gerak tubuh, puisi, dan musik, penonton diajak merasakan realitas kehidupan berdampingan dengan sampah. Bau dan dampak dari tumpukan sampah yang dibuang sembarangan digambarkan dengan sangat kuat, sehingga penonton dapat merasakan frustasi dan keputusasaan yang mereka alami dari masalah sampah ini. Ketika truk datang untuk mengangkut sampah, momen ini menjadi harapan baru bagi para tokoh yang merasa masalah mereka akan teratasi. Penampil yang kedua, penonton disuguhkan dengan pertunjukan dari Kinemime Nusantara yang berjudul "Titik Nol Km Berbisik di Kala Waktu Berisik". Sebuah karya teater kontemporer yang menggabungkan berbagai elemen, termasuk teater fisik, mimik, dan gerak tubuh yang dinamis, serta sentuhan pantomime. Pertunjukan ini mengeksplorasi tema kerinduan akan tanah kelahiran di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Penonton diajak dalam sebuah cerita tiga babak dengan masing-masing nuansa dan tema yang berbeda dan dimainkan dengan tiga babak

Babak pertama menggambarkan perjalanan pulang para pekerja setelah seharian beraktivitas. Mereka masih mengenakan kostum kerja, mencerminkan beban yang mereka bawa. Musik lembut yang digunakan menciptakan suasana nyaman namun tetap menyiratkan kerinduan akan ketenangan. Pencahayaan hangat dan sedikit redup menyiratkan suasana malam hari, menggambarkan kelelahan setelah rutinitas yang melelahkan.

Di babak kedua, suasana berubah menjadi hiruk pikuk kehidupan modern. Musik dinamis dan suara-suara yang menciptakan tekanan menambah intensitas pertunjukan. Pakaian para pemain yang mencerminkan berbagai profesi menggambarkan kompleksitas tuntutan yang dihadapi oleh individu-individu di era modern. Pencahayaan yang terang dan dramatis menekankan suasana yang penuh tekanan, menciptakan rasa cemas yang terasa nyata bagi penonton.

Babak terakhir memperlihatkan pencarian pelarian dari rutinitas yang menjemukan. Suasana tempat wisata seperti titik nol kilometer menggambarkan keinginan untuk bebas dari kesibukan. Namun, meskipun nuansa terlihat ceria dengan pakaian mencolok dan musik bersemangat, ada nuansa kosong yang mengintai. Pencahayaan yang berlebihan mengingatkan penonton akan ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan dalam pelarian tersebut. Pertunjukan ditutup dengan pesan mendalam tentang pentingnya menemukan makna hidup yang sejati, bukan hanya sekedar pelarian sementara.

 

Di hari terakhir kegiatan Parade Teater Linimasa #7 menampilkan dua pertunjukan yang saling melengkapi dan memberikan wawasan mendalam tentang isu-isu sosial dan budaya yang relevan di masyarakat.

Pertunjukan pertama dibuka oleh komunitas Young Artist From Yogyakarta dengan judul "POV: Ziarah Sarkem Dulu, Kini, dan Nanti." Disutradarai oleh Ahmad Suharno M.Sn, pertunjukan ini menggali kehidupan para pekerja seks komersial (PSK) yang menjadi bagian dari sejarah Sarkem, sebuah kawasan yang sarat dengan konteks sosial dan historis. 

Ahmad Suharno berusaha menyusun kisah hidup para PSK dalam bentuk dramatik yang mendalam, menggambarkan berbagai peristiwa yang mengungkap realitas pahit yang mereka hadapi. Kisah-kisah tentang pertengkaran antar pelanggan, kecemburuan para mucikari, dan konflik antara para istri yang kehilangan suami mereka karena terjebak dalam hubungan dengan PSK, semuanya dirajut menjadi satu narasi yang kuat. 

Melalui pertunjukan ini, penonton diajak untuk melihat Sarkem tidak hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagai ruang yang memiliki cerita-cerita kompleks di dalamnya. Film dokumenter yang ditampilkan bersamaan memberikan konteks tambahan tentang sejarah Sarkem, menambah bobot emosional dari pertunjukan ini. Dengan penggambaran yang realistis dan mendalam, penonton mendapatkan kesempatan untuk memahami sudut pandang yang seringkali terpinggirkan dalam masyarakat.

Setelah pertunjukan dari Young Artist, panggung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta menampilkan Komunitas Manah Ati dengan karya berjudul "Sidang Akhir Malam." Pertunjukan ini lahir dari kegelisahan akan dampak pembangunan Jalur Jalan berskala nasional di wilayah Gunungkidul, kaya akan nilai-nilai budaya serta lingkungan yang terjaga selama berabad-abad.

Cerita ini mengeksplorasi benturan antara modernisasi dan pelestarian budaya. Konflik utama berpusat pada Indra, seorang mahasiswa yang menemukan manuskrip kuno. Temuan ini membawanya ke sidang gaib oleh roh-roh penjaga, yang mengadili manusia atas kerusakan akibat proyek pembangunan.

Pertunjukan ini menyoroti dampak pembangunan tidak terkendali terhadap warisan budaya dan spiritual masyarakat. Elemen surealisme dalam "Sidang Akhir Malam" menambah daya tarik, membuat penonton merenungkan hubungan antara dunia nyata dan spiritual. Dengan dialog tajam dan reflektif, pertunjukan ini mengajak kita untuk mempertimbangkan dampak modernisasi terhadap identitas lokal dan warisan budaya.

Kedua pertunjukan dalam penutupan Linimasa #7 ini menyajikan gambaran yang mendalam tentang bagaimana perubahan sosial dan budaya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. "POV: Ziarah Sarkem Dulu, Kini, dan Nanti" memberikan suara bagi mereka yang sering terpinggirkan, sementara "Sidang Akhir Malam" mengingatkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian.

 

Secara keseluruhan, Parade Teater Linimasa #7 bukan hanya sekedar acara seni, tetapi juga sebuah gerakan untuk memperkuat identitas dan kesadaran budaya di Yogyakarta. Dalam menghadapi berbagai perubahan, seni memiliki potensi untuk menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Melalui karya-karya yang dihadirkan, masyarakat diundang untuk bersama-sama merenungkan dan merayakan kekayaan budaya yang ada, serta berusaha untuk menjaga agar tidak ada yang terpinggirkan dalam proses perubahan yang terus berlangsung.

Dari menjadi kursi penonton, kita diajak untuk tidak hanya menikmati pertunjukan, tetapi juga merenungkan perjalanan yang telah dilalui masyarakat khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah penegasan bahwa seni, dalam segala bentuknya, adalah cermin dari realitas kehidupan yang tak terpisahkan dari sejarah dan budaya. Taman Budaya Yogyakarta kembali membuktikan perannya sebagai pusat kreativitas dan refleksi, yang menghadirkan pertunjukan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan menggugah kesadaran.

Melalui karya-karya ini, Taman Budaya Yogyakarta tidak hanya menjadi wadah bagi seni pertunjukan, tetapi juga ruang refleksi bagi masyarakat untuk berpikir kritis tentang isu-isu yang dihadapi. Linimasa #7 berhasil menyentuh aspek-aspek kehidupan yang sering kali diabaikan, membangun kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi yang terus mengalir.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta