by ifid|| 19 Oktober 2024 || || 54 kali
Wayang Wong, sebuah seni drama tari tradisional Jawa, menyuguhkan pertunjukan memukau dengan kostum-kostum rumit dan gerakan tari yang penuh ekspresi. Diiringi alunan musik gamelan yang khas, kesenian ini menghadirkan perpaduan indah antara tari, drama, dan musik, sering kali membawakan kisah-kisah epik seperti Ramayana dan Mahabharata. Para pemainnya mengenakan topeng dan kostum berlapis-lapis untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan. Setiap gerakan mereka mengalir dengan anggun dan penuh ketepatan, memperlihatkan dedikasi dan keindahan budaya yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta 2024 dengan tema "Kepahlawanan dalam Episode Mahabharata." Acara ini bertempat di Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta, Jl. Parangtritis No.364, Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Selama dua hari, yaitu pada tanggal 17 hingga 18 Oktober 2024, festival ini menjadi ajang penampilan seni wayang wong yang diikuti oleh kontingen dari DIY, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul.
Wayang Wong gaya Yogyakarta atau wayang mataraman, salah satu bentuk seni tradisional Jawa, menghadapi tantangan besar dalam pelestariannya di tengah tren adaptasi gaya yang mengikuti selera pasar. Diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I pada 1755-1792, Wayang Wong gaya Yogyakarta mengusung nilai-nilai luhur yang diungkapkan melalui gerak tari, kostum, dan cerita klasik. Kesenian ini mencapai puncak perkembangan serta kesempurnaan bentuknya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1912-1939), menjadikannya warisan budaya yang tidak hanya sarat akan keindahan tetapi juga simbol tradisi dan filosofi Jawa. Di tengah perubahan zaman, menjaga keaslian Wayang Wong gaya Yogyakarta menjadi upaya penting dalam mempertahankan identitas budaya asli di tengah arus modernisasi.
Sultan Hamengku Buwana I menciptakan Wayang Wong sebagai sebuah karya seni estetis, dengan tujuan menampilkan drama tari yang menggambarkan kepahlawanan para ksatria dalam kisah Mahabharata. Dalam penyajiannya, Wayang Wong gaya Yogyakarta memuat 21 tipe karakter yang dihidupkan melalui ragam gerak tarian yang unik. Ciri khas dari Wayang Wong gaya Yogyakarta terlihat dalam beberapa elemen, yaitu pembagian struktur adegan sesuai dengan gaya Yogyakarta; penggunaan pocapan (dialog), keprak (pengiring kayu), dan kandha (penanda gaya khusus); adanya kawin sekar atau lagon sebagai unsur musik; cerita klasik yang mengacu pada struktur pathet khas Yogyakarta; dan ragam gerak tarian yang bersumber dari tari klasik Yogyakarta.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, hadir untuk membuka secara resmi Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta 2024. Dalam kesempatan tersebut, Dian didampingi oleh para juri dan sejumlah tamu undangan yang turut hadir untuk mendukung acara tersebut. Sebelum membuka festival, Dian memberikan sambutannya dengan penuh antusiasme, Dian menyampaikan harapannya agar festival ini bisa menjadi pendorong bagi setiap kabupaten dan kota di DIY untuk menggelar dan memperlihatkan hasil pembinaan seni Wayang Wong mereka. Selain itu, festival ini menjadi ajang apresiasi bagi berbagai aspek pertunjukan, mulai dari penampilan terbaik hingga kategori khusus seperti sutradara, penata tari, penata iringan, pemeran utama putra dan putri, hingga pengiring kendang, keprak, dan kandha.
Dian juga menjelaskan bahwa dewan juri akan melakukan penilaian berdasarkan unsur-unsur seperti penataan gerak, dialog (pocapan), naskah, iringan musik, dan keseluruhan penyajian. Rangkaian festival ini, menurutnya, tidak hanya memberikan ruang ekspresi, tetapi juga ruang evaluasi bagi proses pengembangan dan regenerasi seni Wayang Wong, guna menjaga dan mengembangkan tradisi budaya adiluhung ini di masa depan.
Dian menegaskan bahwa Pemerintah Daerah DIY, melalui Dinas Kebudayaan, berkomitmen untuk melestarikan Wayang Wong Gaya Yogyakarta dengan cara yang konsisten dan terarah. Dengan semangat kolaborasi, Dian menjelaskan bahwa mereka akan mengembangkan berbagai strategi untuk menjaga keberadaan seni pertunjukan yang kaya akan nilai-nilai budaya ini. Ia mengingatkan semua yang hadir bahwa penting untuk menyesuaikan pelestarian Wayang Wong dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Namun, yang tak kalah penting adalah menjaga esensi dan nilai-nilai yang telah ada sejak lama, agar generasi mendatang dapat terus merasakan keindahan dan makna dari pertunjukan ini. Dengan kata-kata yang penuh semangat, Dian berharap semua elemen masyarakat bisa bersatu dalam upaya ini, sehingga Wayang Wong tetap hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Yogyakarta.
Penampilan perdana dalam Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta benar-benar menyita perhatian. Kabupaten Bantul tampil gemilang dengan membawakan lakon Sri Suwela. Lakon ini berkisah tentang Prabu Sri Suwela, Raja Negara Parangretna, yang berniat mempersunting Nimas Dewi Werkudara. Untuk mencapai tujuannya, ia mengutus Patih Dewa Pertala ke Ngamarta untuk melamar atas namanya. Lamaran tersebut diterima oleh Sri Bathara Kresna, namun dengan syarat bahwa Prabu Sri Suwela harus datang sendiri untuk membawa calon istrinya. Tanpa diduga, permintaan ini adalah bagian dari strategi untuk menggiring Prabu Sri Suwela ke dalam kepungan Pandhawa. Di akhir cerita, terungkap bahwa Prabu Sri Suwela sebenarnya adalah Dewi Pertalawati, istri Werkudara, dalam penyamaran. Penampilan dari Kabupaten Bantul ini pun disambut dengan sorakan meriah dari para pendukung yang datang dari daerah tersebut, memenuhi suasana dengan antusiasme yang luar biasa.
Penampilan kedua dalam Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta hadir dari perwakilan Kabupaten Sleman, yang membawakan lakon Arjuna Parwa. Kisah penuh keberanian ini juga menjadi penampilan penutup yang memukau untuk hari pertama festival, tanggal 17 Oktober 2024. Dalam lakon ini, cerita berpusat pada karakter Arjuna yang penuh tekad, kuat, dan gagah berani menghadapi musuh-musuhnya. Ia berjuang tanpa rasa takut terhadap bahaya apa pun, membuktikan keberanian yang luar biasa. Arjuna, sebagai sosok pahlawan dengan ambisi besar, terus berusaha mewujudkan segala tujuannya meski harus menghadapi rintangan berat di setiap langkahnya.
Hari kedua Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta pada 18 Oktober 2024 dibuka dengan penuh antusias oleh penampilan perwakilan Kota Yogyakarta, yang membawakan lakon Prabu Thong-Thong Sot. Cerita ini menghadirkan sisi kepahlawanan yang unik, di mana sosok “wong cilik” atau Punokawan mengambil peran penting yang digambarkan sebagai karakter sederhana namun bijak yang ditakdirkan untuk selalu mengingatkan sesembahan mereka agar senantiasa waspada dalam menghadapi segala situasi dan pihak.
Penampilan kedua dalam Festival Wayang Wong gaya Yogyakarta dibawakan oleh perwakilan dari Kabupaten Kulon Progo dengan lakon Gandamana Sumur Upas. Cerita ini menyoroti konflik antara tahta dan kekuasaan, yang kerap hadir seiring naluri manusia untuk berkuasa dan keinginan mereka untuk mencapai ambisi pribadi. Tokoh antagonis, Trigantalpati, menjalankan strategi licik untuk menyingkirkan Patih Gandamana, sosok yang dihormati sekaligus dianggap sebagai ancaman. Dengan memanfaatkan berita palsu, Trigantalpati mengadu domba dua kerajaan besar, Prunggandani dan Ngastina. Patih Gandamana, yang setia dan bijaksana, berusaha mencari kebenaran, namun ia akhirnya terjebak oleh pasukan Pringgondani yang termakan hoaks. Serangan itu membawa Gandamana jatuh ke dalam sumur beracun, mengakhiri perjuangannya dalam konflik kelam ini.
Penampilan penutup Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta disuguhkan oleh perwakilan dari Kabupaten Gunungkidul dengan lakon Aji Narantaka, yang menggugah dengan pesan moral yang dalam. Kisah ini menyoroti Gatotkaca dan kesaktiannya melalui Aji Narantaka, yang menjadi kekuatan utamanya dalam menghadapi Dursala. Di balik pertempuran antara Gatotkaca dan Dursala, terdapat misi besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, terutama saat putra-putra Pandawa mempertahankan hak mereka atas Astina. Namun, kesaktian Aji Narantaka tidak mudah diraih. Di bawah bimbingan Begawan Seto, Gatotkaca harus menjalani laku batin, menekankan pada rendah hati, cinta kasih, dan kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa. Dengan keikhlasan dan keyakinan pada nilai-nilai kebenaran, Gatotkaca akhirnya berhasil mengalahkan Dursala, yang diperdaya oleh ambisi dan keserakahannya sendiri. Lakon ini mengingatkan penonton bahwa, walaupun kebenaran sering dihadapkan pada ujian berat, kesungguhan hati, rendah hati, dan cinta kasih pada akhirnya akan mengalahkan segala bentuk kejahatan.
Dalam ajang Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta 2024, gelar juara pertama diraih oleh perwakilan dari Kota Yogyakarta, yang tampil memukau dan mengumpulkan skor tertinggi, yaitu 2.275 poin, sekaligus dinobatkan sebagai Penyaji Terbaik 1. Juara kedua diraih oleh Kabupaten Sleman dengan skor 2.155, yang juga mendapat predikat Penyaji Terbaik 2. Di posisi ketiga, Kabupaten Bantul memperoleh skor 2.065 dan menjadi Penyaji Terbaik 3. Kabupaten Gunungkidul menempati posisi keempat dengan skor 2.035 sebagai Penyaji Terbaik 4, sementara posisi kelima ditempati oleh Kabupaten Kulon Progo dengan skor 1.985, serta meraih gelar Penyaji Terbaik 5. Setiap kontingen memberikan penampilan yang berkesan dan membanggakan, menjadikan festival ini sebagai ajang apresiasi seni yang sukses dalam melestarikan tradisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta.
Di Akhir penutup Pagelaran Wayang Wong Gaya Yogyakarta, Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya, Agung Hermanto mengatakan Kegiatan ini bertujuan untuk melestarikan salah satu warisan budaya tak benda yaitu Wayang Wong Gaya Yogyakarta yang telah ditetapkan menjadi WBTB Indonesia tahun 2018 sehingga Dinas Kebudayaan DIY betul-betul ingin selalu melestarikan Wayang Wong agar tetap eksis di Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Indonesia pada umumnya karena memang itu salah satu warisan yang harus kita lestarikan.
Agung juga menegaskan pentingnya kaderisasi terkait dengan pewarisan atau pelestarian dari Wayang Wong gaya Yogyakarta, karena dengan kaderisasi Wayang Wong Gaya Yogyakarta akan terus berkembang, eksis, dan menjadi warisan budaya yang adiluhung.
Di Akhir sambutanya Agung tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh dewan Juri, semua panitia dari masing-masing kabupaten/kota se DIY, Akademi Komunitas Negeri Yogyakarta dan tim Dinas Kebudayaan DIY, atas dukungannya atas Pagelaran Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta sehingga kegiatan ini berjalan dengan lancar dan sukses.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...