by ifid|| 14 November 2024 || || 16 kali
Pada malam yang bersejarah, tepatnya pada 8 November 2024, halaman rumah Bapak Djalmo Susilodiprojo di Pete, Margodadi, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, menjadi saksi sebuah acara yang menyatukan masyarakat dalam nuansa keakraban yang sarat dengan nilai sejarah. Diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, acara tersebut menarik antusiasme banyak orang yang hadir sejak pukul 19.30 untuk mengikuti sarasehan yang mengangkat tema tentang Selokan Mataram dan kebijakan cerdas Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam melindungi rakyat Yogyakarta. Tidak hanya itu, acara tersebut semakin istimewa dengan hadirnya pementasan Kethoprak Selokan Mataram, sebuah pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Melalui pementasan ini, para penonton diajak menyaksikan kembali kebijaksanaan dan strategi jitu Sultan HB IX dalam mempertahankan rakyatnya dari ancaman kerja paksa di bawah penjajahan Jepang.
Sambutan pertama disampaikan dengan hangat oleh Lurah Kalurahan Margodadi, Jalmo Susilo Diprodjono. Ia menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Gubernur DIY melalui Dinas Kebudayaan DIY yang telah mendukung terselenggaranya acara pagelaran ketoprak ini. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Gubernur DIY lewat Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada malam hari ini telah membantu kegiatan untuk pagelaran ketoprak,” ucapnya penuh apresiasi. Beliau melanjutkan dengan menyoroti bahwa pagelaran ini, yang mengambil cerita lokal dari Margodadi yang mengangkat cerita tentang Selokan Mataram dan kebijakan cerdas Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam melindungi rakyat Yogyakarta, menjadi kepercayaan yang besar bagi wilayah Margodadi dari Dinas Kebudayaan DIY. Lurah Jalmo berharap agar pentas ini dapat memberikan motivasi lebih bagi para pegiat seni, khususnya bagi generasi muda di Margodadi, sehingga seni budaya dapat terus hidup dan berkembang di masa depan.
Acara ini semakin istimewa dengan kehadiran Drs. Budi Husada, Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan SBSP, sebagai perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY. Kehadiran beliau menjadi simbol nyata dukungan Dinas Kebudayaan DIY dalam memperkenalkan kembali sejarah Selokan Mataram dan menghormati kebijakan visioner Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat Yogyakarta. Dalam sambutannya, Budi Husada mengingatkan para hadirin tentang pentingnya hari penegakan kedaulatan negara yang seringkali terlupakan. “Dalam acara ini, kami mencoba membuat format baru, mengundang Desa Budaya seperti Margodadi untuk menampilkan potensi lokalnya,” ucapnya. Ia menjelaskan bahwa melalui seni ketoprak, masyarakat diajak mengenang berbagai peristiwa bersejarah, tidak hanya penegakan kedaulatan negara, tetapi juga hari-hari penting lain. Budi Husada menekankan bahwa komunitas diberi kebebasan untuk mengekspresikan sejarah ini dengan cara masing-masing, selama misi yang ingin disampaikan dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. Ia berharap program ini dapat menjadi unggulan dan diterapkan tidak hanya di Margodadi tetapi juga di desa-desa lain di Sleman maupun di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dukungan dan partisipasi dari masyarakat sangat diharapkan untuk mewujudkan upaya pelestarian sejarah dan budaya ini.
Dalam sesi sarasehan tersebut, hadir tiga narasumber yang berbagi wawasan dan pengalaman mereka tentang sejarah Selokan Mataram dan kebijakan Sultan. Narasumber pertama adalah Julianto Ibrahim, M.Hum., seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Julianto memiliki latar belakang akademis yang kuat, sebagai lulusan S1 Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya, FIB) Universitas Gadjah Mada pada tahun 1995 dan meraih gelar Magister Humaniora di fakultas yang sama pada tahun 2002. Dua narasumber lainnya, Benny Sujendro dan Sukaryanto, berasal dari berbagai elemen masyarakat yang memberikan perspektif tentang peran Selokan Mataram dari sisi penduduk.
Sarasehan ini tidak hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menggali kembali strategi cerdik Sultan HB IX dalam melindungi rakyatnya dari kerja paksa atau romusha yang diterapkan Jepang. Di bawah kekuasaan Jepang, Sultan HB IX mengusulkan proyek pembuatan Selokan Mataram yang membentang sepanjang 31 kilometer, menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak di Yogyakarta. Melalui proyek irigasi ini, Sultan berhasil melindungi rakyat Yogyakarta dengan cara mengarahkan tenaga kerja lokal dari kerja paksa yang memberatkan ke sebuah pekerjaan yang bermanfaat. Hasilnya tidak hanya menjadi solusi untuk irigasi pertanian, tetapi juga menjadi warisan besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Yogyakarta. Acara ini memberi kesempatan bagi generasi muda untuk belajar dari kisah kepemimpinan Sultan, bahwa dalam menghadapi tantangan sebesar apa pun, kebijaksanaan dan keberanian memegang peran penting. Sarasehan malam itu diharapkan menumbuhkan rasa bangga dan kecintaan akan sejarah lokal, serta menanamkan inspirasi untuk menjaga nilai-nilai luhur dari masa lalu agar tetap relevan di masa kini.
Narasumber pertama, Julianto Ibrahim, M.Hum., membuka pembahasannya dengan menyoroti keunikan Selokan Mataram. Ia menjelaskan bahwa Selokan Mataram bukan sekadar sungai biasa, karena alirannya tidak seperti sungai-sungai di Yogyakarta yang biasanya mengalir dari utara ke selatan, dari Gunung Merapi menuju laut selatan. Selokan Mataram justru mengalir dari barat ke timur, dan hal ini tidak lepas dari sejarah masa pendudukan Jepang di Indonesia. Julianto kemudian membawa para hadirin ke masa awal Perang Dunia II, tepatnya pada 7 Desember 1941, ketika Jepang menyerang pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor, menewaskan ribuan pasukan Sekutu. Jepang kemudian memperluas kekuasaannya ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan tujuan utama untuk menguasai sumber daya alam dan manusia di kawasan ini.
Namun, ketika Jepang mulai menerapkan kerja paksa atau romusha di Jawa, Sultan Hamengkubuwono IX melihat dampak buruknya bagi rakyat. Menyadari bahwa kondisi pengairan di Yogyakarta tidak memadai dan menyebabkan hasil panen padi yang rendah, Sultan mengajukan usul kepada pemerintah Jepang. Ia mengusulkan agar rakyat Yogyakarta tidak dipaksa menjadi romusha, tetapi dialihkan untuk bekerja membangun kanal pengairan, yang kelak dikenal sebagai Selokan Mataram. Harapannya, dengan kanal tersebut, tanah Yogyakarta akan menjadi lebih subur, sehingga hasil panen padi dan bahan makanan lain, seperti jagung dan gaplek, dapat ditingkatkan dan diserahkan kepada Jepang sesuai permintaan mereka. Dengan kebijaksanaan Sultan, Selokan Mataram menjadi sebuah proyek yang tidak hanya menyelamatkan rakyat dari kerja paksa tetapi juga membantu meningkatkan kesuburan tanah Yogyakarta dan kesejahteraan masyarakat.
Acara yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Di bawah cahaya lampu yang hangat dan diiringi alunan gamelan yang khas, para aktor kethoprak memulai kisah tentang Selokan Mataram, sebuah proyek irigasi besar yang pernah mengubah wajah pertanian Yogyakarta. Namun, di balik itu semua, ada cerita yang lebih mendalam, tentang kebijaksanaan Sultan Hamengkubuwono IX yang dengan cerdik melindungi rakyatnya dari kerja paksa romusha di masa pendudukan Jepang. Melalui dialog dan adegan yang penuh penghayatan, para aktor membawa hadirin kembali ke masa lalu. Sorot lampu dan bunyi gamelan mengiringi setiap adegan dengan khidmat, menyampaikan semangat kepemimpinan Sultan yang luar biasa. Penonton terpaku, tersentuh, dan takjub, seolah mereka sendiri menyaksikan kejadian bersejarah itu. Malam itu, para hadirin pulang dengan hati penuh rasa bangga dan syukur, menyadari bahwa warisan kebijaksanaan Sultan masih menjadi berkah yang nyata hingga kini, dan membawa harapan bahwa nilai-nilai luhur itu akan terus hidup dalam diri mereka dan generasi berikutnya. (sherina/fit)
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 12 September 2022
Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...