by nova|| 04 Juli 2025 || || 153 kali
Yogyakarta, 4 Juli 2025 - Tosan aji di masa modern ini bukan lagi digunakan sebagai senjata besi untuk berperang, melainkan warisan budaya sarat filosofi kehidupan yang penting untuk dirawat kelestariannya. Namun sayangnya, filosofi tosan aji kerap dipandang sulit untuk dipahami oleh masyarakat luas. Sebagai perwujudan komitmen berkelanjutan dalam edukasi dan pengembangan budaya, Grha Keris Yogyakarta di bawah naungan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY kembali menyelenggarakan pameran tosan aji bertajuk “Gegaman (Regeman Kautaman)” dari 12 Juni 2025 hingga 12 Juli 2025. Acara ini diawali dengan workshop pada 12 Juni 2025 yang membuka wawasan akan hal-hal yang selama ini jarang dibahas mengenai tosan aji, baik sisi fisik (eksoteri) maupun non fisik (esoteri). Dua narasumber, Tukirno B. Sutejo dan Taufiq Hermawan, berbagi pengetahuan serta memberi inspirasi baru seputar tosan aji agar kita semakin mencintai budaya leluhur yang diwariskan kepada kita.
Sinau Filosofi dalam Workshop Pembuka Pameran
Topik pertama dalam workshop mengangkat tema “Ageman dan Gegaman, Masa Lalu dan Masa Kini”. Tukirno menjelaskan bahwa ageman dalam bahasa Jawa berarti pakaian atau benda yang dipakai. Pakaian mampu menunjukkan ciri khas dan karakter dari suatu kelompok atau komunitas. Beberapa contoh ageman Jawa antara lain batik, kain jarik, surjan, udeng, dan blangkon. Ageman dianggap sebagai sesuatu yang harus dijaga dengan gemati (dijaga dengan baik). Sedangkan gegaman bermakna pegangan, genggaman, atau senjata seperti keris, panah, tombak, dan perisai. Tombak merupakan simbol pertahanan yang paling utama untuk mempertahankan wilayah. Panah membutuhkan ketepatan agar tidak meleset. Perisai berfungsi melindungi (biasanya di tangan kiri) serta menyerang (tangan kanan). Kini perisai dipakai dalam tarian budaya atau demo. Ageman maupun gegaman memegang peranan penting dalam upacara adat sejak dahulu. Di zaman sekarang, senjata mengikuti perkembangan teknologi: dari tombak menjadi rudal, senjata laser, bom, dan lain-lain. Handphone dan AI (kecerdasan buatan) juga bentuk “senjata” yang punya sisi baik dan buruk tergantung dari cara dan tujuan penggunaannya. Pemanfaatan segala bentuk senjata membutuhkan kebijaksanaan agar tidak merugikan.
Taufiq menyampaikan topik kedua bertema “Tombak dalam Tradisi Keprajuritan”. Tombak adalah senjata tusuk jarak jauh yang terdiri atas mata tombak dan tangkainya. Ukuran tombak biasanya disesuaikan dengan tubuh pemakainya. Untuk pasukan, ukuran tombak dibuat seragam. Berbeda dengan keris yang merupakan pusaka pribadi, tombak adalah pusaka kolektif milik kelompok atau lembaga. Lebih jauh, Taufiq juga menjelaskan ukuran, bentuk, dan bahan tombak sesuai fungsinya.
Salah satu peserta workshop, Rifky, mengungkapkan, “Harapan saya ke depannya adalah hal-hal seperti ini mungkin bisa lebih banyak eksposurenya sehingga lebih banyak yang datang. Semacam konten yang eksklusif mungkin ya”.
Tosan Aji sebagai Kekayaan Budi Lintas Generasi Bangsa Indonesia
Gegaman melambangkan kekuatan spiritual dan perlindungan batin yang memberikan rasa aman. Senjata ini juga berfungsi sebagai pengingat untuk menumbuhkan kehalusan budi dalam diri manusia. Diyakini “hidup dalam darah”, gegaman melambangkan bersatunya besi dan jiwa manusia. Ia tidak sekadar membentuk fisik, tetapi juga membentuk karakter, kepercayaan diri, dan ketahanan batin. Sebagai pusaka, gegaman diyakini memiliki daya linuwih, kekuatan spiritual yang melampaui logika, tapi bisa dirasakan oleh hati yang meyakininya.
Pameran ini menampilkan gendewa (busur panah) dan jemparing (anak panah) koleksi pusaka dari dr. R.M. Kunyun Marsindra (K.R.T. Puspodiningrat, Abdi Dalem Keraton Yogyakarta) yang telah dihibahkan kepada salah satu anggota pengelola Grha Keris Yogyakarta. Selain itu, dipamerkan pula ragam senjata yang digunakan oleh prajurit era dulu, sandhangan (peralatan atau kelengkapan) keris dengan beberapa jenis material, koleksi pusaka dari Museum Sonobudoyo, dan beberapa karya pusaka pribadi hasil proses kurasi yang ketat. Pemilihan material, warna, motif, dan bentuk tiap tosan aji serta kelengkapannya mempunyai arti tertentu yang menyesuaikan tujuan dan pemiliknya.
Dalam tradisi Jawa, keris bukan sekadar senjata, melainkan pusaka yang sarat makna spiritual dan filosofi. Salah satu aspek penting dalam keris adalah warangka, bingkai pelindung bilah, yang terbuat dari berbagai jenis kayu dan dihias dengan ukiran khas. Warangka ini bukan hanya soal keindahan, tetapi juga lambang kesucian, martabat, dan kekuatan batin. Adapun warangka yang ditampilkan dalam pameran ini merupakan gagrag Yogyakarta sebelah timur.
Kayu Kanthil, yang berasal dari pohon Cempaka Putih (Michelia alba), dikenal karena bunga harumnya yang sakral dan sering dipakai dalam upacara adat. Kayu Kanthil yang keras dan bercorak halus dipilih sebagai bahan warangka keris bertuah tinggi, mewakili nilai spiritual dan kesetiaan. Filosofi bunga kantil yang berarti “melekat erat” melambangkan hubungan manusia dengan leluhur dan laku spiritual yang dijalani tanpa henti. Warangka Kanthil bukan sekadar pelindung fisik, melainkan wadah batin yang menyimpan nilai luhur.
Sementara itu, Kayu Cendana (Santalum album) juga memegang peranan penting sebagai bahan warangka. Aromanya yang khas dan menenangkan menjadikan cendana simbol kesucian dan spiritualitas. Warangka dari kayu cendana biasanya digunakan untuk keris yang dianggap suci atau bertuah tinggi, dengan warna kuning kecoklatan yang hangat menciptakan kesan luhur dan tenang. Karena kelangkaannya, kayu cendana menjadi persembahan yang istimewa.
Selain bahan kayu, bagian lain yang tak kalah penting adalah deder keris atau pegangan bilah. Deder bukan hanya elemen fungsional, melainkan juga karya seni yang memuat nilai sosial dan filosofi mendalam. Bentuk dan bahan deder sangat bervariasi, dari kayu langka seperti kemuning dan timoho, hingga gading, tanduk, atau logam mulia. Ukiran deder bisa menggambarkan tokoh pewayangan, makhluk mitologis, atau simbol abstrak yang mewakili perlindungan dan kekuatan batin.
Secara filosofis, deder adalah titik pertemuan antara “jiwa” manusia dan “ruh” pusaka. Pegangan ini melambangkan kendali diri, tanggung jawab, dan laku batin pemilik keris. Hiasan tambahan seperti selut dan mendak semakin memperkuat kesan kemegahan, terutama pada keris ageman atau keris keraton yang memiliki status tinggi.
Warangka dan deder keris bukan hanya benda seni, melainkan cermin filosofi hidup masyarakat Jawa yang mengajarkan kesucian, kesetiaan, dan hubungan spiritual yang mendalam antara manusia, alam, dan leluhur. Melalui warangka dari kayu Kanthil dan Cendana serta deder yang penuh makna, keris menjadi pusaka hidup yang terus diwariskan dan dihormati sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.
Salah satu keris koleksi Museum Sonobudoyo yang dipamerkan adalah keris dengan dhapur (tipe bentuk) Kelana Kekuwung. Keris ini merupakan keris lurus dengan tampilan yang menawan. Dengan pamor (motif pada bilah) Caturwarna, warangka Gayaman Yogyakarta berbahan kayu timoho, dan ricikan (detail ornamen) menyerupai curug aul (senjata khas Sumedang), keris ini tampak unik dan indah. Agung Sumedi, salah satu pengelola Grha Keris menjelaskan, “Keris Kelana Kekuwung adalah keris yang memiliki pamor dengan teknik yang rumit juga dhapur yang langka, sehingga kami ingin menampilkan ke masyarakat bahwa era saat itu pun (Pajajaran-Cirebon), teknologi metalurgi kita sudah istimewa.” Melalui keris ini, kita dapat memahami ketatnya proses kurasi yang telah dilakukan.
Pameran tosan aji ini bukan hanya berwisata menikmati keindahan bentuk senjata, melainkan mengajak kita untuk meresapi, menghormati, dan menggenggam nilai-nilai historis di balik setiap bilahnya. Nilai tersebut perlu tetap lestari sebagai pedoman hidup lintas generasi bangsa Indonesia. Selain pentingnya menjaga fisik tosan aji agar tidak berkarat dan rusak, kita pun perlu menjaga setiap nilai filosofi kehidupan yang tertanam di dalamnya. Hal tersebut menjadi kebanggaan dan identitas khas bangsa yang telah tumbuh sejak masa lampau, yang dapat kita banggakan serta menjadi sumber kekuatan dalam membangun tujuan dan etos kerja di masa depan. Pameran masih berlangsung dan dapat dikunjungi pukul 10.00 WIB - 16.00 WIB dengan tiket masuk gratis. Pengunjung dapat menikmati pameran dengan dipandu oleh pengelola Grha Keris Yogyakarta yang siap menjawab segala rasa penasaran terhadap tosan aji. Untuk informasi lebih lanjut, pengunjung dapat mengikuti akun Instagram @grhakerisjogja untuk update kegiatan budaya di Grha Keris Yogyakarta. (nova/sonya)
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...