Oleh-oleh Empon-emponan dari Kulon Progo

by admin|| 11 April 2017 || 6.422 kali

...

Keadaan alam yang keras di Dusun Clapar III, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo yang berbukit, ungkap kepala dukuh, Suratno, bukan alasan bagi penduduk harus menyerah dan pindah ke daerah lain yang cukup menjanjikan untuk hidup layak. Mereka tetap berupaya dan bekerja keras untuk bertahan hidup, walaupun dalam keadaan susah (rekasa).

Kebanyakan dari warga masyarakat, yang laki-laki, sebenarnya bekerja sebagai buruh bangunan, walaupun pada kartu tanda penduduk mereka bertani atau berkebun. Sedangkan ibu-ibu memanfaatkan empon-emponan untuk menambah penghasilan sehari-hari.

Sekira tiga tahun lalu, dusun ini terhubung dengan jalan setapak saja. Setelah ada penambangan batu andesit, baru dibuat jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat, meskipun masih berupa jalan tanah. Keadaan jalan yang menanjak dan turun-turunan, bergelombang, dan ketika hujan tergenang, cukup mendebarkan bagi yang baru mendatangi tempat ini. Di sejumlah titik ruas jalan, dijaga petugas khusus untuk mengatur kendaraan roda empat yang harus bergantian untuk lewat.

Keadaan alam di Kulon Progo yang khas tersebut dipilih sebagai salah satu tempat lokakarya (workshop) pembuatan film berbasis masyarakat desa di empat kabupaten se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipandu oleh Bambang Kuntara Murti (Ipung), Bagus Wirati Purbanegara (BW), dan Khusnul Khitam (Tatam), para filmmaker berbagi ilmu dan pengalaman membuat film pendek.

Peserta diharapkan mampu memahami dasar-dasar pembuatan film, terdiri dari cara membuat adegan, melakonkan, merekam (pengambilan gambar), dan editing (penyuntingan). Jenis film yang dibuat ada dua pilihan, fiksi atau dokumenter.

BW mengajak peserta menyusun cerita dulu, yang sederhana saja, mengangkat suasana dan keadaan setempat, namun dikemas sedemikian rupa, dan bisa didramatisasi supaya menarik. Bila belum disusun, gagasan cerita bisa disampaikan dengan membuat rangkaian gambar (berpikir visual). Dari belajar berpikir visual, nantinya memudahkan membuat skenario. Sedangkan pengambilan gambar dilakukan di beberapa tempat dan waktu pelaksanaannya direncanakan selama dua sampai empat hari.

Kepala dukuh berharap bahwa upaya pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam hal ini Seksi Perfilman, Bidang Seni dan Film, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan para pembuat film mengadakan lokakarya (workshop) pembuatan film, dapat menggugah minat warga masyarakat (terutama pemuda) akan perfilman, mungkin menjadi profesi, dan bermanfaat bagi kesejahteraan hidup mereka.

Setelah mendapat pelajaran dasar ilmu pengetahuan mengenai pembuatan film dan pengambilan gambar yang melelahkan, untuk pertama kalinya warga Clapar III, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, bisa menyaksikan film pertama garapan mereka, ”Empon-emponku Malang”, MiringNgalor Production (nama ini diambil dari sebutan RT 17 di sana, yang dikenal dari keadaan tanahnya yang miring mengutara), dengan durasi sembilan menit. Film ini mengandung pesan bahwa sumber daya empon-emponan yang berlimpah di kawasan tempat tinggal mereka sebenarnya cukup menjanjikan, namun belum tergarap sebagaimana mestinya.

Terlibat dalam pembuatan film untuk pertama kali, merupakan pengalaman yang mengagetkan bagi para pemuda. Mereka merasa demam panggung. Para pemeran, Ngadimin, sebagai Pak Dengkek; Beti Marga Lestari, sebagai Bu Dengkek; dan Haryanto, pemeran pendukung, pada mulanya mengalami kesulitan. Jujuk Purwanto, yang ditunjuk langsung sebagai sutradara, merasakan juga keadaan tersebut. Meskipun demikian, dengan kesungguhan untuk terus belajar dan bersemangat, mereka yang terlibat dalam pembuatan film dokumenter ini, dapat menyelesaikan film pertamanya.

Bagi kerabat kerja, rasa kaget dan kerja keras mereka ketika membuat film, seperti terbayar dengan sambutan baik penonton. Sedangkan bagi warga Clapar III umumnya, pengalaman warga mereka membuat film, menjadi kebanggaan tersendiri. Demikian pula daerah lainnya. Para sutradaranya ingin segera membuat film lagi dan menggarap video clip.

Sutradara muda Yogyakarta, Bambang Kuntara Murti (Ipung), mewakili rekan-rekannya, Bagus Wirati Purbanegara (BW), dan Khusnul Khitam (Tatam), sebagai narasumber lokakarya, memuji film hasil lokakarya pembuatan film berbasis masyarakat desa, dibandingkan dengan ketika dia pertama kali membuat film.

Terkait dengan pelaksanaan lokakarya pembuatan film, kurator Mas Genthong (Cb Triyanto Hapsoro), menegaskan bahwa 1) lokakarya harus bermanfaat (sejalan dengan harapan Kepala Seksi Perfilman Dra. Sri Eka Kusumaning Ayu bahwa lokakarya ini dapat terus berlanjut dan menambah ketrampilan masyarakat dalam pembuatan film), karena sumber daya alam berlimpah-limpah; 2) masyarakat bisa memanfaatkan media sosial, untuk membuka wawasan, jadi banyak tahu, misalnya YouTube; 3) mendekatkan film pada masyarakat, pembuat film harus menghargai budaya setempat; 4) membangun pertemanan antarpihak yang terlibat dalam pembuatan film.

Film "Empon-emponku Malang", MiringNgalor Production, dan tiga lainnya, "Rindu dalam Sepotong Bambu", Jape Methe Production, durasi 10 menit, Kampung Dolanan, Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul; "Anyar-anyaran", Srikandi Production, durasi enam menit, Semanu, Gunungkidul; dan "Tekad", Harmoni Turgo Film, durasi sembilan menit, Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman, ditayangkan pertama kali pada acara pemutaran dan diskusi film, hasil lokakarya (workshop) pembuatan film berbasis masyarakat desa di empat kabupaten se-Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam rangka peringatan Hari Film Nasional ke-67, 30 Maret 2017, di pendapa Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.(hen/ppsf)

 

Berita Terpopuler


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta