Arti Lokalitas dalam Pengembangan Perfilman Daerah Istimewa Yogyakarta

by admin|| 09 Mei 2017 || 9.870 kali

...

Sebelum membuat film, seseorang diharapkan (sudah punya pengalaman) bisa mewujudkan dulu gagasan atau angan-angannya dalam bentuk tulisan, misalnya membuat naskah (skenario) film, cerita pendek, esai atau artikel. Sebuah gagasan dapat dikenali, dipahami, diserap, dan dihayati orang lain, setelah diwujudkan atau diberi bentuk dalam tulisan. Selain itu, membuat film juga memerlukan riset, baik tekstual (pustaka) atau pun sosial, dengan terjun dalam kehidupan masyarakat.

Gagasan pun harus dinilai dulu kelayakannya, menarik atau tidaknya, sebelum diwujudkan, antara lain bisa dinilai dari (1) punya nilai yang berarti (penting, baru, menggugah); (2) punya pengaruh sosial, kebudayaan, politik. Makanya harus membaca atau melihat karya orang lain. Ketika sudah memilih membuat suatu karya, harus bertanggung jawab; (3) mendesak dilakukan; (4) unik, khas; dan (5) etik, estetis, logis. Dalam berkesenian, selalu terkait dengan ini. Sebebas apapun seniman, ada batas etik. Hal ini dikemukakan Indra Tranggono (penulis, pengamat kebudayaan, dan sering menjadi juri pada sayembara pembuatan film), ketika memaparkan  lokalitas, pada workshop pengembangan perfilman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berbicara mengenai lokalitas keyogyakartaan, Indra menegaskan bahwa Yogyakarta dipandang sebagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan Kota Yogyakarta saja. Meskipun demikian, banyak ditemukan proposal pembuatan film yang tidak mengangkat hal itu.

Lokalitas (budaya) Yogyakarta selalu menyesuaikan diri atau lentur (menyeleksi, menerima dan menyerap) terhadap perubahan global, sekaligus mencari keseimbangan baru untuk mempertahankan jati diri dan watak (karakter). Budaya yang lentur (dikemukakan dari pendapat Maman S Mahayana), karena sifatnya demikian, dapat ditarik ke belakang, menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu. Sedangkan ke depan, yang mengungkapkan harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai macam gejala yang terjadi pada masyarakat, atau bahkan ke segala arah, bersinggungan dengan lokalitas budaya lain.

Indonesia memiliki sumber daya lokal yang luar biasa banyaknya dan dapat diangkat dalam film. Peserta diharapkan dapat menguasai atau memahami keadaan alam, kebudayaan dan ciri khas Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggambarkannya dalam film. Kalau mengambil gambar suasana di luar negeri, itu pasti pertimbangan pasar (komersial). Bisa juga merupakan bentuk kerendahdirian (minder). Meskipun demikian, hal itu merupakan pilihan.

Pembuat film (filmmaker) bergelut dengan pengalaman, sehingga pada saatnya mencapai satu titik, misalnya, pada adegan yang menggambarkan marah, penonton sudah mengerti bahwa itu sedang marah, walaupun tidak dinyatakan dengan marah, itu dinilai berhasil. Sebaliknya, kalau dengan menyatakan marah, bengok-bengok, itu dinilai gagal.

Ketika muncul pertanyaan, ”Bagaimana bisa membuat sebuah film, jika tidak pernah menonton karya orang lain?” Dari sini terungkap bahwa cukup banyak peserta lokakarya yang mengaku pernah atau beberapa kali menonton film ”Siti” (tentang seorang perempuan yang disudutkan pada pilihan hidup yang harus dipilih, berlatar belakang kehidupan masyarakat di Parangtritis, Kretek, Bantul; disutradarai Eddie Cahyono), namun tidak satu pun dari mereka yang pernah menonton ”Sang Penari”, yang disutradarai Ifa Isfansyah, tentang kehidupan tragis seorang penari ronggeng, di tataran Pasundan, Jawa Barat, berdasarkan novel trilogi ”Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari dari Banyumas, Jawa Tengah. Kedua film tersebut menggambarkan lokalitas yang kuat di daerahnya masing-masing.

Karya seni yang dibuat, merupakan khayalan atau imajinasi yang diungkapkan. Kritik terhadap hal itu yang disampaikan dengan pertimbangan etik, boleh, namun tidak menggurui. Dicontohkan Indra, menyampaikan kritik tanpa menggurui adalah seperti yang dilakukan kejeniusan lokalitas yang dimiliki daerah ini, yaitu Basiyo, dengan dagelan khasnya, dalam salah satu lakon dagelan Basiyo, dkk., ”Maling Kontrang-kantring”, mengritik sisi kehidupan secara halus berupa sindiran yang disampaikan dengan kelucuan, tidak gamblang, sehingga bisa diterima dan dinikmati.

Sebelum berkarya, dari sudut pandang Gunawan Maryanto, perlu mencari pijakan untuk berkarya, dan sebagai tahapan mendasar, dengan meniru dulu. Dari sana, melakukan pembuatan karya.

Lokalitas jadi penting, sebagai tempat berpijak. Globalisasi pada dasarnya adalah lokalitas, yang selalu berubah-ubah, demikian pula jati diri, tidak tetap. Meskipun demikian, harus didalami ketika pijakan telah ditemukan. Berkarya dengan sumber daya diri, ada saatnya membuka diri, ada saatnya pula menegaskan jati diri.

Ditambahkan Eddie Cahyono, bahwa jati diri seseorang bisa merupakan kebanggaannya, kental dengan ke-lokal-annya, namun kadang-kadang sulit diterima orang lain, misalnya, karena berbenturan dengan logika.

Sedangkan lokalitas dari sudut pandang musik, diungkap Mohammad Marzuki, musisi Jogja Hip Hop Foundation, bahwa jati diri seniman adalah kedaerahan (ke-lokal-an). Menyerap musik dari luar, dan menerapkan dengan bahasa setempat. Menurutnya, seni menghadirkan pengalaman. Berkarya mengalir begitu saja, dan jujur, apa adanya.

Khusus bagi peserta sayembara pembuatan film tahun 2017 yang tidak lolos dari babak pitch, kehadiran mereka (meskipun tidak diharuskan hadir) pada lokakarya tersebut membawa arti bahwa mereka sungguh-sungguh berupaya meningkatkan kemampuan, seperti harapan juri (kurator). Mereka diunggulkan dan diikutkan sayembara lagi pada tahun depan. Karena itu, dengan ikut hadir, tidak perlu ikut babak pitch lagi, cukup memperbaiki proposal saja.

Lokakarya (workshop) pengembangan perfilman Daerah Istimewa Yogyakarta bertema ”Film, Bahasa dan Lokalitas”, diisi empat narasumber, yaitu  Indra Tranggono (penulis dan pengamat kebudayaan), Eddie Cahyono (sutradara film), Mohammad Marzuki (musisi, Jogja Hip Hop Foundation), dan Gunawan Maryanto (aktor dan sastrawan), serta moderator Suluh Pamuji (direktur Science, Art, and Alternate Possibility (SAAP), Think & Create). Lokakarya tersebut, yang dilaksanakan pada Rabu, 26 April 2017, di aula Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan satu dari lima rangkaian lokakarya yang direncanakan Seksi Perfilman, Bidang Seni dan Film, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai upaya pengembangan sumber daya perfilman di daerah. Dihadiri para mahasiswa yang punya minat dan perhatian pada perfilman, ajang ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mendapatkan informasi dan wacana mengenai perfilman, terutama bagi mereka yang merintis karier pada bidang perfilman.(hen/ppsf)

 

 

Berita Terpopuler


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta