Wajah Wayang Wong K-Pop (Komersial-Populer) Dulu

by admin|| 14 Februari 2018 || 7.532 kali

...

Membuka kembali rekam jejak masa lalu wayang wong sebagai seni komersial-populer (k-pop), terutama pada bagian yang membeberkan keadaan para pelakunya, yang sekuat tenaga berusaha menyambung hidup dari menekuni seni wayang wong, merupakan pelajaran berharga bagi generasi sekarang, mengenai pahit getirnya menjalani kehidupan. Ada sebutan atau istilah dari mereka yang menggambarkan keadaan susah yang dialami. Menurut seorang pemeran raksasa, ”Seperti buto (raksasa) yang kekurangan darah”; atau yang lainnya, ”Kami agak sedikit ringan, dan bisa bernapas lagi.” Membayangkan hal itu, bisa menimbulkan perasaan (emosi) yang campur aduk.

Perkumpulan wayang wong Wirama Budaya, Yogyakarta (1983), terpaksa tidak manggung, setelah sambungan listrik diputus, karena cukup lama menunggak tagihan pembayaran. Sebelum listrik diputus, mereka dapat tambahan lumayan sebulan dari penjualan karcis.

Tempat pertunjukan mereka dalam kegelapan, padahal mereka hanya membutuhkan 700 watt. Selain bergelap-gelapan, tempat itu pun berbau pesing. Papan panggung sudah lapuk, kain layar lusuh dan robek-robek, sejumlah kursi (rusak) tergeletak di sudut. Hanya lampu neon 20 watt sebagai penerang yang ada, seakan-akan menegaskan suramnya keadaan di sana. Para anggota Wirama Budaya juga nyambi (punya pekerjaan lain) sebagai buruh bangunan, kernet bus, tukang becak, dan tukang loak.

Di Surakarta, kelompok wayang wong Sriwedari, punya gedung pertunjukan yang sudah diperbaiki. Jumlah pengunjungnya tidak pernah penuh, sekalipun puncak kunjungan pada malam minggu dan perayaan sekaten. Sampai sekarang (2018), kelompok wayang wong ini masih manggung di tempat yang sama.

Ngesti Pandawa, perkumpulan wayang wong di Semarang, didirikan Sastrasabdha, Ki Darsasabdha, Kusni, Ki Sastrasoedirdja, dan Ki Nartasabdha pada 1 Juli 1937 di Madiun. Mulanya kelompok ini melakukan pertunjukan keliling. Sebelum punya tempat tetap, mereka pernah mendapat tawaran main di Pekan Raya Semarang pada 1948. Masa jayanya dialami pada 1952 sampai dengan 1970-an.

Wayang wong Ngesti Pandawa terkenal dengan teknik panggungnya. Sastrasabdha menemukan cara malihan (salin rupa/ganti wujud) untuk adegan raksasa yang ingin berubah seketika menjadi ksatria, dengan pengaturan lampu sorot sedemikian rupa, secara cepat dan rapi. Demikian pula adegan rampongan (iring-iringan bala tentara), ditampilkan kereta kencana raja, kuda-kudaan, dan gajah-gajahan yang cukup mengesankan.

Lain lagi yang dialami Sriwandana, perkumpulan wayang wong di Surabaya, yang mulai main di Taman Hiburan Rakyat Surabaya sejak 1962. Untuk menggambarkan hutan belantara di panggung, dipasang sejumlah pot akasia yang diambil dari halaman taman hiburan yang berantakan (akibat perbaikan taman yang tidak kunjung diselesaikan, pada waktu itu). Sorotan lampu 1.500 watt tidak dapat menutupi dekorasi lima lapis yang luntur. Pertunjukan ’bertambah riuh’, karena bunyi dengungan (storing) yang mengganggu dari pengeras suara. Keadaan yang serbakacau ini berimbas pada absennya (bolos/mangkir) sejumlah pemain, karena honor yang kecil, dan sepinya penonton.

Sedangkan di Jakarta, ibu kota negara, yang sepertiga dari jumlah penduduknya berasal dari Jawa, dua panggungnya justru banyak penonton, dibandingkan dengan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Menurut Ki Nartasabdha, wayang wong kurang diminati karena disajikan terlalu bertele-tele. Dia ingin wayang wong dimainkan dengan gaya baru (gagrag anyar). Walaupun demikian, selalu mendapat tentangan, bahkan dituduh merusak pakem, sekalipun hal itu dilakukan sebagai pembaharuan, dan untuk menarik penonton.

Dari sudut pandang lain, masalah yang dialami wayang wong tersebut akibat tantangan sosiologis yang berat, seperti bergesernya sistem nilai atau gaya hidup dan cita rasa seni, kemuka Umar Kayam, pada sarasehan wayang wong panggung, yang juga dihadiri Arswendo Atmowiloto, Edy Sedyawaty, Bakdi Sumanto, dan Satyagrha Hoerip, pada akhir Desember 1983 di Jakarta. Menurutnya, masa jaya-jayanya wayang wong (1950-an sampai dengan 1970-an) waktu itu, sistem nilai agraris feodal aristokratis pada masyarakat Jawa masih kental. Perkembangan kemudian mengarah pada sistem nilai yang modern dan demokratis, terutama pada masyarakat Jawa di kota-kota, sehingga wayang wong harus menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Sebagai seni yang diperdagangkan (komersial), lakon yang diusung punya unsur daya tarik yang bernilai jual, seperti komoditas dagang, dikemas sedemikian rupa dengan kiat atau strategi tertentu.

Seluk-beluk peristiwa tersebut tertuang pada sebuah buku mengenai wayang yang diterbitkan di Semarang. Sayangnya, pada buku cetakan pertama 1985 itu tidak tercantum nama penulisnya.

Awalnya, wayang wong merupakan seni tradisi yang pertama kali ditampilkan di Surakarta [digubah oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (Raden Mas Said)] pada abad ke-18. Kemudian berkembang sebagai bentuk kesenian komersial populer di Pulau Jawa, dan mengalami puncak kejayaan (sejak pertama kali dikomersialkan sekelompok orang Cina pada awal 1900-an) selama lebih kurang 20 tahun. Memasuki 1980-an, tidak kuat bersaing dengan tontonan panggung lainnya, Srimulat, dan hiburan bioskop, Warkop Prambors (Dono, Kasino, Indro), masa wayang wong sampai pada titik nadir, bahkan tinggal menunggu tamat (tutup lawang sigotaka*, ungkapan yang masih saya ingat pada halaman terakhir sebuah komik wayang dulu.(hen/ppsf)

*[Ketika ki dalang menancapkan kayon, kemudian berkata, "Tutup lawang sigotaka" (lengkapnya, "Kembang pinetik sedeng anyar sinebaran sari, tutup lawang si-go-ta-ka"), selesailah pergelaran wayang. Tidak ada satu pun wayang yang bisa bergerak lagi. Maknanya bahwa kehidupan manusia di alam raya ini sudah musnah. Kalimat tersebut lazim diucapkan dalang pada penutupan pergelaran wayang golek di tataran Sunda]

 

 

Berita Terpopuler


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta