Kearifan Jawa dalam Tedhak Sungging, agar Orang Jawa Tidak Kehilangan Jawa-nya

by admin|| 11 April 2018 || 12.636 kali

...

Dulu, anak keturunan selalu diberi ruang/kesempatan untuk mengetahui tedhak sungging-nya (peta diri yang menghubungkan seseorang dengan leluhurnya). Hal ini dilakukan secara bertahap, perlu proses, dan bukan seketika. Orang tua (bapak, eyang/mbah) sering mengajak anak keturunannya berziarah, untuk mengetahui leluhur, atau bersilaturahmi dengan sanak kadhang. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya pengenalan tedhak sungging, walaupun secara tidak langsung.

Herman Sinung Janutama (sejarahwan, budayawan, dan peneliti filsafat Jawa) punya perhatian terhadap tedhak sungging [silsilah keturunan (genetika)], yaitu menelusuri garis keturunan seseorang, supaya kecenderungan ini bisa menghasilkan. Karena itu, Herman percaya bahwa bila tidak dilakukan demikian, tidak mungkin seseorang bisa sepenuhnya menjalani pilihan dalam hidupnya itu (mencapai totalitas).

Orang Jawa memang harus demikian, ”kudu ngerti, jejere awakku iki piye”. Juga bukan sekolah apa, jadi apa, melainkan ”kowe iki sapa?” Bisa juga, tedhak sungging itu diumpamakan melalui pembandingan diri dengan tokoh pewayangan, senangnya Wrekudara, atau mungkin Sencaki, dan lain sebagainya.

Seperti pernyataan Sultan Hamengku Buwana Kesembilan, ketika jumenengan (naik takhta). Beliau menyadari akan zaman yang sudah modern, sehingga takhtanya untuk rakyat, namun ditegaskan juga bahwa ”sapa sira, sapa ingsun”. Hal ini bukan menantang atau mengajak tarung, melainkan untuk saling menyadari jejak trah (silsilah)-nya. Dengan demikian, orang Jawa itu (sepatutnya) mengerti ukuran (kedudukan) dirinya sendiri, dan tidak berlebih-lebihan memperhitungkan hal itu. Kalau bukan demikian, menurut Herman, itu orang Jawa yang hilang Jawa-nya.

Tedhak sungging juga bisa digunakan sebagai upaya pencarian jalan keluar terhadap permasalahan mengenai penerus raja di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Masalahnya, ungkap Herman, bukan pada setuju atau tidak setuju, melainkan pada bagaimana caranya mendudukkan permasalahan itu (nyongkok).

Kalau pada masa kerajaan-kerajaan dulu, masalah seperti itu di dalam kraton, menjadi pemikiran empu, pujangga, dan/atau para wali. Pada zaman sekarang, tidak ada, sehingga perlu menentukan sikap, mau mengikuti kebijaksanaan atau kearifan sebagai orang Jawa, yaitu dengan bertindak berdasarkan tedhak sungging-nya, menarik garis dari para leluhur [kerajaan-kerajaan dulu (leluhur), sebelum Yogyakarta], atau tidak.

Mengacu pada masa pemerintahan raja-raja Yogyakarta (sejak 1755 sampai dengan sekarang), dari hamengku buwana pertama hingga kesepuluh, belum ada raja perempuan, karena rentang waktu berjalannya kerajaan ini, terbilang masih baru. Bandingkan dengan Kerajaan Majapahit, yang rentang waktu pemerintahannya cukup lama, dan  sudah punya raja perempuan. Karena itu, mungkin perlu seratus atau seratus lima puluh tahun lagi bagi Yogyakarta untuk punya raja perempuan, atau sekaranglah waktunya untuk itu, karena takdir Tuhan bahwa tidak ada calon raja (penerus langsung) yang laki-laki.(hen/ppsf)

 

Berita Terpopuler


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh.

by museum || 12 September 2022

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pda tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2024

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta