by admin|| 23 Agustus 2018 || 13.088 kali
Layang-layang yang ku sayang.
Layang-layang yang ku sayang.
Jauh tinggi sekali, melayang-layang.
Potongan lirik lagu dari 1970-an ini mengalun ringan, seakan-akan membawa pikiran melayang, mengajak bermain layang-layang sambil berdendang,. Lagu karya Koes Plus ini cukup mengena menggambarkan mainan layang-layang yang melayang tinggi di angkasa.
Sampai sekarang, permainan dengan layang-layang (atau sering disebut juga layangan) masih digemari anak-anak. Memang, tidak sebanyak yang dimainkan pada masa kecil anak-anak kelahiran 70−80-an atau pun 90-an, ketika telepon pintar masih langka. Zaman sekarang, anak-anak sudah terbiasa bermain ditemani smartphone. Meskipun demikian, ada hal lain dari permainan turun-temurun ini yang patut dibanggakan bangsa Indonesia. Ternyata, layang-layang buatan Indonesia merupakan yang tertua, dibandingkan dengan negara-negara lain.
Buktinya tidak muncul seketika itu saja. Seperti pernah diteliti (Raodah, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar), hal itu bermula dari perlombaan (festival) layang-layang antarnegara pada 1997 di Berck-sur-Mer, pantai di Prancis. Indonesia, yang diwakili Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan layang-layang yang disebut kaghati kalope, meraih gelar juara, mengalahkan Jerman.
Secara etimologi, kaghati dalam bahasa Muna berarti layang-layang, sedangkan kalope adalah sejenis daun gadung (ubi hutan). Jadi, kaghati kalope adalah layang-layang yang terbuat dari daun kalope.
Keberhasilan Indonesia itu menarik perhatian peneliti dari Jerman, Wolfgang Bieck, yang merupakan penasihat fotografi udara layang-layang (counsultant of kite aerial photography). Peneliti ini penasaran akan layang-layang kaghati kalope yang terbuat dari bahan-bahan alami (bahkan diakui sebagai layang-layang paling alami), hanya dari daun, ternyata sanggup menaklukkan Eropa (Jerman).
Wolfgang Bieck melihat langsung lukisan tangan manusia prasejarah pada dinding batu Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang menggambarkan seseorang sedang bermain layang-layang. Gambar pada dinding gua itu menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dan getah pohon). Diperkirakan bahwa lukisan itu berusia ribuan tahun, namun warnanya tetap bagus dan masih tampak jelas, serta tidak bisa dihapus. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penggunaan warna pada zaman sekarang yang mudah hilang dalam waktu cepat. Bieck menulis penelitiannya itu pada 2003, dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” pada sebuah majalah Jerman (Indriasari, 2011).
Penelitian itu mematahkan teori bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 tahun lalu (Darampa, 2010). Layang-layang yang dibuat di China telah menggunakan teknologi yang bahannya dari kain parasut dan batang alumunium. Sedangkan layangan dari Pulau Muna, terbuat dari bahan alami dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Asumsi inilah yang meyakinkan Bieck bahwa layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan China.
Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk dibuktikan kebenarannya. Sejumlah ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan usia lukisan di gua itu yang disebut Bieck lebih tua daripada temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun.
Ironis, kaghati kalope yang merupakan tradisi masyarakat Desa Liangkobori, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terkenal di dunia, keberadaannya kini terancam punah ditengah pesatnya kemajuan teknologi modern. Keadaan ini sejalan dengan perajin layang-layang kalope yang terus berkurang. Mereka membuat kaghati kalope kalau ada lomba atau festival saja, juga terkait dengan ritual dan mitos. Selain ini, mengolah daun kalope menjadi layang-layang, tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang Muna yang bisa membuat layang-layang dari daun kalope.(hen/ppsf)
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...