by admin|| 15 Juni 2015 || 27.418 kali
 
                                        Sebagai salah  satu kota tua di Indonesia yang masih tetap hidup dengan dinamika yang  berkembang,  baik kehidupan masyarakat dan budayanya Yogyakarta masih  menyimpan beberapa peninggalan sejarah yang melingkupi kehidupan  masyarakat sehari-hari yaitu penamaan sebuah daerah berdasarkan sejarah  tempat tersebut atau disebut dengan toponim.
 
 Salah satu ciri yang dimiliki oleh kota-kota kuno itu dapat dilacak  keberadaannya melalui penamaan sebuah daerah atau kampung berdasarkan  profesi para penduduk dari kampung tersebut. Dan penamaan dari daerah  tersebut memiliki keseragaman yaitu selalu di akhiri kata -an, misal  Patangpuluhan, Bugisan dan Daengan. Ketiga nama tersebut adalah wilayah  atau tempat yang jaman dulunya dihuni oleh para prajurit Kraton dari  kesatuan atau Bregada Patangpuluh, Bugis dan Daeng.
 
 Melalui artikel kali ini, tim redaksi kotajogja.com akan mengajak para  pembaca untuk menyelami sejarah penamaan kampung-kampung atau wilayah  yang berada di Kota Jogja berdasarkan profesinya sebagai bregada atau  prajurit Kraton Yogyakarta.
 
 Kampung Bugisan 
 Wilayah ini dinamakan Bugisan karena jaman dahulu di wilayah ini banyak  ditempati anggota prajurit atau bregada dari kesatuan Bugis. Nama Bugis  berasal kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa Hamengku Buwono  IX bertugas di Kepatihan sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman  Hamengku Buwono IX ditarik menjadi satu dengan prajurit kraton, dan  dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan. Secara  filosofis Prajurit Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti sejarah  awal mula yang berasal dari Bugis, Sulawesi.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Bugis adalah Wulan-dadari,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya  adalah lingkaran dengan warna kuning emas. Wulan-dadari berasal dari  kata "wulan" berarti 'bulan' dan "dadari" berarti 'mekar, muncul  timbul'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu  memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat berfungsi seperti  munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan fungsi  matahari.
 
 Kampung Dahengan
 Nama Dhaeng berasal dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan  di Makasar. Secara filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah  berani seperti prajurit Makasar pada waktu dahulu dalam melawan  Belanda.Menurut sejarah, prajurit Dhaeng adalah prajurit yang  didatangkan oleh Belanda guna memperkuat bala tentara R.M. Said. R.M.  Said kemudian berselisih dengan P. Mangkubumi. Padahal kedua tokoh ini  semula bersekutu melawan Belanda. Puncak atas perselisihan itu adalah  perceraian R.M. Said dengan istrinya. Istri R.M. Said adalah putri  Hamengku Buwono I. Pada waktu memulangkan istrinya, R.M. Said (P.  Mangkunegara) khawatir jika nanti Hamengku Buwono I marah. Guna menjaga  hal yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu  Bendara diminta agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit  Dhaeng. Setelah sampai di Kraton Yogyakarta, justru disambut dengan  baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan tangan terbuka, disambut dengan  baik. Atas keramahtamahan itu prajurit Dhaeng kemudian tidak mau pulang  ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada Hamengku  Buwono I. Laskar Dhaeng kemudian oleh Hamengku Buwono I diganti menjadi  Bregada Dhaeng.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Dhaeng adalah Bahningsari,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya  adalah bintang segi delapan berwarna merah. Bahningsari berasal dari  kata bahasa Sansekerta bahning berarti 'api' dan sari berarti 'indah /  inti'. Secara filosofis bermakna pasukan yang keberaniannya tidak pernah  menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam.
 
 Secara administrasi Kampung Dhaengan berada di dalam wilayah Kelurahan  Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron. Kelurahan Gedongkiwo terdiri dari  tiga, Suryowijayan, Gedongkiwo, dan Dukuh, Kelurahan Gedongkiwo terdiri  dari 18 RW (Rukun Warga).
 
 Kampung Jogokaryan
 Prajurit Jagakarya berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal  bahasa Sansekerta berarti 'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi  berarti 'tugas, pekerjaan'. Secara filosofis Jagakarya bermakna 'pasukan  yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya  pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan'.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Jagakarya adalah Papasan,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, di tengahnya  adalah lingkaran dengan warna hijau. Papasan berasal dari kata nama  tumbuhan atau burung papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari kata  dasar 'papas' menjadi 'amapas" yang berarti 'menghancurkan' (Wojowasito,  1977:190). Secara filosofis papasan bermakna pasukan pemberani yang  dapat menghancurkan musuh dengan semangat yang teguh.
 
 Kampung Jogokaryan adalah salah satu kampung yang berada di wilayah  administrasi Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron. Kampung  Jogokarya memiliki acara tahunan yang menjadi salah satu agenda wisata  religius di DIY, yaitu Kampoeng Ramadhan Jogokaryan.
 
 Kampung Ketanggungan
 Nama Ketanggung berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-.  Kata "tanggung" berarti 'beban, berat1. Sedangkan ke- di sini sebagai  penyangatan 'sangat'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan  dengan tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini ditunjukkan dengan  adanya Puliyer (Wirawicitra / Wirawredhatama / Operwachmester).
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Ketanggung adalah  Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar  hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam dengan warna  putih. Cakra-swandana berasal dari bahasa Sansekerta "cakra" (senjata  berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi "swandana" yang berarti  'kendaraan/kereta'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan yang  membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan membuat porak poranda  musuh.
 
 Kampung Ketanggungan berada di wilayah administrasi Kelurahan  Wirobrajan, Kecamatan Wirobrajan. Kampung ini memiliki ciri khas yang  unik dan menjadi salah satu trade mark dari wilayah ini. Nama jalan yang  masuk di wilayah kampung ini menggunaka nama tokoh pewayangan seperti,  Jl Pandu, Sadewa dan masih banyak lagi.
 
 Kecamatan Mantrijeron
 Nama Mantrijero berasal kata "mantri" dan "jero". Kata "mantri" berasal  dari bahasa Sansekerta yang berarti 'juru bicara, menteri, jabatan di  atas bupati dan memiliki wewenang dalam salah satu struktur  pemerintahan'. Sedangkan “jero" berarti 'dalam'. Secara harfiah kata  Mantrijero berarti 'juru bicara atau menteri di dalam' Secara filosofis  Mantrijero bermakna pasukan yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian  dalam memutuskan segala sesuatu hal dalam lingkungan Kraton (pemutus  perkara).
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Mantrijero adalah  Purnamasidhi, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam,  di tengahnya adalah lingkaran dengan warna putih. Purnamasidhi berasal  dari kata Sansekerta, yaitu "purnama" berarti 'bulan penuh' dan kata  "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara filosofis Purnamasidhi bermakna  pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
 
 Saat ini nama prajurit Mantrijero menjadi wilayah kecamatan Mantrijeron  di bawah wilayah administrasi Pemerintahan Kota Yogyakarta.
 
 Kampung Nyutran
 Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra  dalam bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan (ketajaman), 3)  'pipingitan/'sinengker’ (Winter, K.F., 1928, 233,266); sedang dalam  bahasa Jawa Baru berarti 'bahan kain yang halus'; sedangkan awalan N-  berarti 'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'. Prajurit Nyutra  merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini merupakan  kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra  bermakna pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga  mendampingi keamanan raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan  ketrampilan yang unggul. Itulah sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai  persenjataan yang lengkap (tombak, towok dan tameng, senapan serta  panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku Buwono IX, anggota Prajurit  Nyutra diwajibkan harus bisa menari.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep  sari dan Padma-sri-kresna. Podhang ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra  Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di  tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Padma-sri-kresna untuk  Prajurit Nyutra Hitam berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar  kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hitam.
 
 Kampung Nyutran memiliki keistimewaan berupa berdirinya Museum Kirti  Griya, rumah dari Ki Hadjar Dewantara yang menjadi saksi perjuangan  beliau melalui jalur pendidikan, lokasi kampung ini berada di Jalan  Tamansiswa Yogyakarta.
 
 Kampung Patangpuluhan
 Mengenai asal usul nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan  yang dapat menjelaskan secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada  hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Patangpuluh adalah Cakragora,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya  adalah bintang segi enam berwarna merah. Cakragora berasal dari kata  bahasa Sansekerta "cakra" 'senjata berbentuk roda bergerigi' dan "gora",  juga dari bahasa Sansekerta berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara  filosofis bermakna pasukan yang mempunyai kekuatan yang sangat luar  biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan bisa terkalahkan.
 
 Untuk saat ini Patangpuluhan menjadi sebuah kelurahan di bawah kecamatan  Wirobrajan, dan Patangpuluhan menjadi ibukota Kecamatan karena pusat  kecamatan dan puskesma utama berada di wilayah ini.
 
 Kampung Prawirotaman
 Nama Prawiratama berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal  dari bahasa Kawi berarti 'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama"  atau "utama" bahasa Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam  bahasa Kawi berarti 'ahli, pandai'. Secara filosofis Prawiratama  bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu  bijak walau dalam suasana perang.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Prawiratama adalah Geniroga,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya  adalah lingkaran dengan warna merah. Geniroga berasal dari kata 'gent  berarti 'api', dan kata Sansekerta 'roga' berarti 'sakit'. Secara  filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan  musuh dengan mudah.
 
 Kawasan ini dikenal sebagai daerah kampung wisata internasional dimana  di sini terdapat banyak hotel serta motel dan galeri yang banyak  disinggahi wisatawan mancanegara dari berbagai negara di dunia.
 
 Kampung Surokarsan
 Nama Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan  bahasa Sansekerta berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti  'kehendak'. Dahulu Prajurit Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran  Adipati Anom / 'Putra Mahkota'; bukan bagian dari kesatuan prajurit  kraton. Secara filosofis Surakarsa bermakna pasukan yang pemberani  dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra mahkota. Sejak masa  Hamengku Buwono IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton  dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian  belakang (Yudodiprojo, 1995).
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Surakarsa adalah Pareanom,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya  adalah lingkaran dengan warna kuning. Pareanom berasal dari kata "pare"  (tanaman merambat berwarna hijau yang buahnya jika masih muda berwarna  hijau kekuning-kuningan), dan kata "anom" berarti 'muda'. Secara  filosofis Pareanom bermakna pasukan yang selalu bersemangat dengan jiwa  muda.
 
 Di wilayah ini terdapat banyak bangunan peninggalan Belanda serta  menjadi salah satu Kampung tua di Yogyakarta yang bersebelah langsung  dengan Kali Code.
 
 Kecamatan Wirobrajan
 Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti  'tajam', kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta. Secara  filosofis Wirabraja bermakna suatu prajurit yang sangat berani dalam  melawan musuh dan tajam serta peka panca inderanya. Dalam setiap keadaan  ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia akan pantang menyerah,  pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan nama kuno dari  bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan maknanya  mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan  ini.
 
 Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa,  berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap  sudut dihias dengan centhung berwarna merah seperti ujung cabai merah  (kuku Bima). Di tengahnya adalah segi empat berwarna merah dengan pada  bagian tengahnya adalah segi delapan berwarna putih.
 Gula-klapa berasal dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini  adalah gula Jawa yang terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna  merah; sedangkan 'kelapa' berwarna putih. Secara filosofis bermakna  pasukan yang berani membela kesucian/kebenaran.
 
 Wirobrajan terkenal dengan banyaknya pusat pendidikan dari TK sd  Perguruan Tinggi dibawah Pesyarikatan Muhammadiyah, selain itu di  wilayah ini terdapat pusat pasar Klithikan yang menjadi salah satu  tempat wisata belanja di Kota Yogyakarta.
 
                                            by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
 
                                            by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
 
                                            by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
 
                                            by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
 
                                            by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
 
                                            by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
 
                                            by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
 
                                            by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...