Terakhir diadakan pada 1922, Kongres Aksara Jawa kembali diselenggarakan pada 22 sampai 26 Maret 2021 di Yogyakarta. Kongres Aksara Jawa I (KAJ I) ini diadakan karena aksara Jawa sudah semakin jarang digunakan di tengah masyarakat, bahkan sebagaian sudah tidak mengenal lagi aksara warisan leluhur tersebut.
Humas Panitia KAJ I, Arpeni Rahmawati, mengatakan bahwa salah satu yang membuat aksara Jawa semakin dilupakan adalah karena masih minim diajarkan di sekolah. Di DIY, porsi pelajaran bahasa Jawa di sekolah hanya dua jam dalam seminggu, itupun tidak semua SMA mengajarkan bahasa Jawa sampai siswa kelas XII.
Dia mengatakan, saat ini DIY masih kekurangan tenaga pendidik bahasa Jawa. Hal itulah yang kemudian membuat pelajaran bahasa Jawa, termasuk aksara jawa di sekolah kurang optimal.
“Tenaga pendidik guru bahasa Jawa masih kurang, terutama SMA. Kalau misalnya yang mengajar bukan guru bahasa Jawa nanti bubrah,” kata Arpeni ketika ditemui di sela acara KAJ I, Senin (22/3).
Kurangnya tenaga pendidik bahasa Jawa juga disebabkan karena sedikitnya kampus yang memiliki jurusan bahasa Jawa. Di DIY, hanya ada satu kampus yang memiliki prodi Pendidikan Bahasa Jawa, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sedangkan di Universitas Gadjah Mada (UGM), hanya ada prodi Sastra Jawa.
“Di Jogja hanya ada dua itu, swastanya enggak ada,” lanjutnya.
Sedikitnya kampus yang memiliki jurusan bahasa Jawa menurut dia dipengaruhi oleh sedikitnya peminat karena jurusan tersebut dinilai peluang kerjanya sedikit. Sehingga, tidak banyak kampus yang berani membuka jurusan bahasa Jawa.
Selain kurangnya jumlah pendidik, saat ini juga belum ada aturan baku mengenai aksara Jawa dari SD sampai SMA. Tidak adanya aturan baku ini membuat siswa kerap kebingungan ketika naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Kongres ini salah satu tujuannya nanti menghasilkan aturan baku yang bisa menjadi rekomendasi,” kata Arpeni.
Selain untuk melestarikan leluhur, saat ini kata Arpeni naskah-naskah Jawa kuna masih tersimpan dan di jaga dengan baik di Jogja. Tapi, naskah-naskah itu belum semua dieksplorasi dengan optimal. Sedangkan banyak dari naskah-naskah kuno tersebut yang memakai aksara Jawa.
Jika tidak ada yang menguasai aksara Jawa, maka naskah-naskah tersebut hanya akan menjadi peninggalan masa lampau yang tidak memberikan manfaat apapun selain sebagai pajangan.
“Itu kan penting untuk ditransliterasikan, lalu bagaimana pemaknaannya, sehingga naskah-naskah itu bisa diambil pelajaran dan nilai-nilai luhurnya,” ujar Arpeni.
Menurut Arpeni, yang juga seorang guru bahasa Jawa, sebenarnya anak-anak suka dengan aksara Jawa. Mereka kerap menggunakan aksara Jawa untuk desain-desain tertentu seperti kaos, spanduk, stiker, dan sebagainya. Namun kemudian mereka jadi jarang menggunakan aksara Jawa karena takut salah.
“Makanya perlu didorong juga supaya mereka percaya diri, itu yang paling penting sekarang,” lanjutnya.
Arpeni berharap, nantinya Indonesia juga bisa seperti negara-negara lain, misalnya China, India, Korea, atau Jepang, yang punya aksara sendiri dan percaya diri mengenalkannya ke dunia internasional. Dan aksara Jawa menjadi salah satu aksara yang berpotensi menjadi identitas Indonesia, selain aksara-aksara yang ada di daerah lain.
“Jadi jangan sampai nanti anak-anak itu tidak tahu aksara Jawa dan justru lebih tahu aksara asing,” ujar Arpeni.
Mengalami Pembaruan dan Digitalisasi
Untuk mengikuti perkembangan yang ada, dalam KAJ I juga akan dibahas mengenai penyesuaian-penyesuaian dalam aksara Jawa. Penyesuaian itu dilakukan supaya aksara Jawa bisa juga digunakan untuk menuliskan bahasa asing dan huruf-huruf yang sebelumnya tidak bisa ditulis pakai aksara Jawa.
Misalnya, huruf X, Q, atau Z, aksara Jawa yang selama ini sudah ada belum dapat menuliskan huruf-huruf tersebut. Tapi dengan penyesuaian-penyesuaian yang nantinya disepakati dalam kongres tersebut, aksara Jawa bisa digunakan untuk menuliskan huruf-huruf tersebut.
“Sudah ada rancangannya, tinggal di-goal-kan perundangannya. Mau enggak mau memang harus ada perkembangan, karena zaman sekarang kan bahasanya macam-macam, nama anak sekarang juga aneh-aneh,” ujar Arpeni.
Selain sejumlah penyesuaian, supaya bisa tetap eksis aksara Jawa juga perlu mengalami digitalisasi. Hal ini karena kebiasaan menulis tangan semakin jarang dilakukan, berganti dengan mengetik.
Unicode, standar pengetikan dunia, sebenarnya telah memasukkan aksara Jawa, sehingga dapat digunakan secara digital. Namun, sampai sekarang masih sangat sedikit yang mengetahui hal tersebut. Sehingga, penggunaan aksara Jawa secara digital juga masih sangat terbatas.
Pada 2013 dan 2014 juga sudah diluncurkan aplikasi Baca-Tulis Aksara Jawa versi 1.0 dan 2.0. Sampai akhir 2020, aplikasi tersebut sudah diunduh lebih dari 10 ribu kali. Tapi sampai sekarang aplikasi tersebut juga belum terlalu dimanfaatkan dalam pelajaran formal di sekolah.
“Jadi masih untuk para guru, penggunaan untuk belajar siswa masih kurang karena masih belum banyak yang tahu,” kata dia.
Aksara Jawa Menolak Punah
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam sambutannya di pembukaan KAJ I, mengatakan bahwa salah satu upaya untuk melestarikan aksara Jawa adalah dengan mewajibkan setiap kantor pemerintahan menggunakan aksara Jawa dalam penamaannya. Tapi hal itu dinilai masih kurang untuk melestarikan aksara Jawa, sehingga upaya-upaya lebih lanjut perlu dilakukan.
Sultan juga menyebutkan ada beberapa hal yang menengarai punahnya sebuah bahasa maupun aksara daerah yang dia kutip dari pernyataan Barbara Grimers. Pertama adalah penurunan drastis jumlah penutur aktif, ranah penggunaannya semakin berkurang, pengabaian bahasa ibu oleh penutur usia muda, usaha memelihara identitas etnik tanpa bahasa ibu, generasi terakhir tidak mahir berbahasa ibu, serta semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa oleh keterancaman bahasa gaul.
“Kalaupun tidak punah sepenuhnya, karena masih adanya pemertahanan bahasa (language maintanance), atau terjadi pergeseran bahasa (language shift), dan perubahan bahasa (language change) ke bahasa Nasional,” kata Sultan.
Sultan juga mengemukakan pentingnya digitalisasi aksara Jawa supaya tidak punah. Dalam hal digitalisasi, menurut dia aksara Jawa juga tidak terlalu tertinggal jauh dengan aksara Mesir kuna atau hierogliph, karena sejak 26 tahun lalu aksara Jawa sudah terdaftar di Unicode.
Dia juga mengapresiasi langkah Pengelolaan Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) yang telah menetapkan domain name tersendiri untuk aksara-aksara Nusantara, termasuk aksara Jawa. Dengan begitu, bisa dihadirkan domain name yang mewakili aksara Jawa.
Syaratnya, setiap domain name harus didaftarkan ke ICANN sebagai pengelola domain dunia. Kemudian, ICANN akan menyetujui jika aksara tersebut benar-benar hidup dan punya pendukung budaya yang aktif.
“ICANN akan menilai adanya website berbasis aksara Jawa yang hidup,” ujarnya.
KAJ I 2021 kali ini diikuti oleh sekitar 1.000 peserta yang datang dari tiga provinsi, yakni DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta sejumlah daerah lain. Dari total peserta, ada 110 peserta yang mengikuti kongres secara luring, yang terdiri atas wakil akademisi, praktisi, budayawan, birokrat, serta masyarakat umum.
Selain Sri Sultan, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, juga hadir dalam pembukaan KAJ I di Hotel Grand Mercure Jogja. Harapannya, KAJ I nantinya dapat mendorong negara untuk mengakui aksara Jawa dan aksara-aksara Nusantara lainnya, sehingga aksara Jawa benar-benar dapat diaplikasikan pada ranah digital serta kegiatan masyarkat sehari-hari. (kom)