by ifid|| 19 Mei 2025 || || 125 kali
Malam Penuh Seni Tradisi dan Kontemporer
Yogyakarta, 7 Mei 2025 – Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada Rabu malam, 7 Mei 2025, menjadi saksi bisu perayaan seni yang memukau dalam gelaran "Pentas Rebon". Acara rutin yang selalu dinanti ini kembali menyajikan perpaduan apik antara seni tradisi yang mengakar kuat dan ekspresi kontemporer yang dinamis, dengan fokus utama pada tiga pilar pertunjukan: Kethoprak, Dagelan Mataram, dan Teater. Malam itu, setiap sudut ruangan dipenuhi oleh antusiasme penonton yang haus akan sajian budaya berkualitas.
"Pentas Rebon" adalah inisiatif Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY melalui Taman Budaya Yogyakarta untuk terus menghidupkan panggung-panggung seni, memberikan ruang bagi para seniman untuk berkreasi dan berinteraksi langsung dengan publik. Nama "Rebon" sendiri, yang berarti udang kecil, secara filosofis menggambarkan semangat kebersamaan dan kekuatan kolektif dari berbagai elemen seni yang bersatu padu. Pada edisi kali ini, kurasi pertunjukan sengaja menonjolkan kekayaan seni pertunjukan Jawa yang diperkaya dengan sentuhan modern.
Malam dibuka dengan penampilan Teater Kulon Progo, yang menampilkan naskah berjudul Perempuan-Perempuan, karya Teguh Priono dan disutradarai oleh Fajar Dwi Atmoko. Drama ini mengangkat narasi tentang perempuan-perempuan marginal, dengan tokoh sentral bernama Lani, seorang wanita malam yang memperjuangkan kelangsungan hidup di tengah kemiskinan dan stigma sosial.
Lani digambarkan sebagai sosok yang menggunakan daya tarik fisiknya sebagai senjata bertahan. Sementara itu, tokoh lain, Nona Linghua, bercita-cita menjadi artis tenar dan berusaha mendekati seorang sutradara terkemuka demi mencapai mimpinya. Menariknya, sang sutradara justru digambarkan sebagai pribadi yang bijak dan anti terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam dunia teater.
Pertunjukan ini tak hanya menghadirkan kisah personal, namun juga menyentil problematika sosial tentang eksploitasi tubuh perempuan, kesenjangan sosial, dan cita-cita yang dibungkus mimpi-mimpi semu. Karakter-karakter seperti Jongos dan tokoh pendukung lainnya memberikan nuansa tragikomedi yang memperkaya narasi dan dinamika panggung.
Dengan tata cahaya yang apik, dialog yang kuat, serta ekspresi pemain yang hidup, teater ini mengajak penonton merenung tentang keberanian perempuan dalam menghadapi ketimpangan yang sistemik.
Setelah jeda singkat, giliran Kethoprak Rebon tampil dengan lakon berjudul Tulising Panguwasa, ditulis oleh Tejo Suyanto dan disutradarai oleh Herwianto. Pementasan ini menyuguhkan suasana Jawa klasik dengan iringan gamelan yang menghanyutkan.
Lakon ini mengangkat tema kekuasaan, cinta, dan pengkhianatan. Dikisahkan bahwa ketika kesetiaan, cinta, dan pengorbanan dianggap tak lagi penting oleh para penguasa, maka nasib sebuah negeri pun tergantung pada bagaimana sang penguasa menulis sejarah. "Bakal tinemu mus bener utawa luput, mukti utawa mati, gumantung tulising panguwasa," begitu kutipan yang menjadi roh dari cerita ini bahwa realitas bisa dimanipulasi oleh narasi kekuasaan.
Pertunjukan ini memadukan bahasa klasik dan kontekstual yang masih relevan, dan menyampaikan pesan yang dalam tentang relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan sejarah. Penonton diajak merefleksikan bagaimana sejarah seringkali ditulis oleh mereka yang berkuasa, sementara yang tertindas dilupakan begitu saja.
Permainan para aktor veteran dan muda berjalan padu, menampilkan aksi yang kuat dan penuh perasaan. Nuansa emosi dan ketegangan berhasil dijaga sepanjang pertunjukan, membuat penonton terpikat dari awal hingga akhir.
Sebagai penutup malam, suasana berubah menjadi lebih santai namun tajam berkat penampilan Dagelan Mataram dengan lakon Beda’ah, naskah karya Ari Purnomo dan disutradarai oleh Tulis Priantono.
Kisah dibuka di padepokan Cidro Asmoro yang dipimpin oleh Wa’alid, seorang tokoh kharismatik namun kejam, yang mendoktrin para pengikutnya terutama perempuan untuk tunduk pada aturan semena-mena demi kesejahteraan bangsa (versi dia sendiri). Bagi yang berani melawan, dianggap sebagai pembawa petaka dan pantas dihukum.
Namun benih pemberontakan muncul dari sang istri tertua, yang perlahan menyadari kebusukan pemimpin padepokan. Ia bangkit, tampil “beda”, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kebengisan serta tirani.
Dengan gaya dagelan khas Mataram, lakon ini menyuguhkan humor cerdas yang penuh sindiran sosial dan politik. Pemain-pemain seperti Alit Jabang Bayi, Yanti Lemu, Tere Sotil, Agus Kentus, dan lainnya tampil kompak, menghidupkan suasana dengan dialog spontan, lelucon yang aktual, serta gestur teatrikal yang menghibur sekaligus menggigit.
Menjaga Warisan, Mendorong Inovasi, dan Antusiasme Audiens
Kehadiran Kethoprak, Dagelan Mataram, dan Teater dalam satu panggung "Pentas Rebon" bukan tanpa alasan. Ini adalah upaya strategis Taman Budaya Yogyakarta untuk menjaga warisan seni pertunjukan tradisional tetap lestari, sekaligus membuka ruang bagi inovasi dan ekspresi kontemporer. Kethoprak dan Dagelan Mataram adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jawa, khususnya Yogyakarta, yang perlu terus diperkenalkan dan dicintai oleh generasi muda. Sementara Teater, sebagai seni pertunjukan yang lebih universal, menjadi
Antusiasme penonton menjadi indikator keberhasilan acara ini. Sejak sore, area Taman Budaya Yogyakarta sudah ramai oleh pengunjung yang ingin mendapatkan tempat terbaik di Concert Hall. Berbagai kalangan usia, dari anak-anak hingga lansia, terlihat menikmati setiap segmen pertunjukan. "Sangat jarang bisa melihat Kethoprak dan Dagelan di satu panggung dengan Teater yang modern seperti ini. Ini pengalaman yang luar biasa," ujar Rina, salah seorang mahasiswi seni yang hadir. "Saya jadi lebih mengenal budaya sendiri."
Pentas Rebon pada 7 Mei 2025 ini sekali lagi membuktikan bahwa seni adalah bahasa universal yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat. Melalui perpaduan Kethoprak yang agung, Dagelan yang jenaka, dan Teater yang penuh makna, Taman Budaya Yogyakarta tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga mengukuhkan perannya sebagai garda terdepan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara ini menjadi pengingat bahwa di tengah arus globalisasi, seni tradisional memiliki kekuatan abadi untuk memukau dan menginspirasi.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...