PAMERAN UPACARA ADAT: Rekam Adibudaya, Nguburhi Tradisi Upacara Adat

by ifid|| 27 Mei 2025 || || 15 kali

...

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dikenal sebagai jantung kebudayaan Jawa, kembali mengukuhkan posisinya sebagai penjaga warisan takbenda terbesar di Indonesia. Dengan 212 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang telah tercatat hingga tahun 2024, Yogyakarta bukan sekadar provinsi, melainkan sebuah ruang hidup yang tak pernah berhenti memancarkan kearifan leluhur. Salah satu upaya vital dalam merawat dan mendekatkan kekayaan ini kepada masyarakat adalah melalui Pameran Upacara Adat, sebuah inisiatif yang tidak hanya menampilkan tradisi, tetapi juga "Nguburhi", menanamkan kembali semangat dan pemahaman akan adibudaya dalam sanubari generasi penerus.

Pameran yang sukses digelar pada tanggal 26-28 Mei 2025 di Kawasan Hotel Bronto ini, diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY. Sejak dibuka, pameran ini telah menarik antusiasme luar biasa dari ribuan pengunjung, baik dari dalam maupun luar kota, yang memadati area pameran setiap harinya.

Pameran ini adalah sebuah "museum bergerak" yang bertujuan mengisi kekosongan pemahaman dan ketertarikan masyarakat terhadap upacara adat. Banyak di antara kita mungkin hanya mengenal upacara adat dari permukaan, tanpa menyelami kedalaman makna dan filosofi di baliknya. "Pentingnya wawasan budaya takbenda bukanlah terletak pada manifestasi budaya itu sendiri, melainkan kekayaan pengetahuan dan keterampilan yang ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya," demikian kutipan yang menegaskan urgensi regenerasi pengetahuan ini sebagai modal pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Pameran ini menjadi jembatan naratif yang memungkinkan masyarakat untuk lebih dekat dan familiar dengan upacara-upacara yang telah membentuk identitas Yogyakarta.

Pameran ini secara khusus menghadirkan lima upacara adat utama yang mewakili lima wilayah di DIY: Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman. Lima upacara adat ini dipilih bukan tanpa alasan, melainkan karena keunikannya, kekayaan simbolismenya, dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat setempat. Masing-masing upacara bukan sekadar ritual, melainkan sebuah pertunjukan hidup yang sarat akan nilai-nilai luhur, filosofi kehidupan, dan ekspresi syukur.

Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk menyelami dunia spiritual dan komunal masyarakat Yogyakarta. Setiap panel informasi, foto, dan video yang disajikan diharap mampu menggugah rasa ingin tahu dan apresiasi terhadap keunikan setiap upacara. Diharapkan, pameran ini tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan; sebuah jendela edukatif yang membuka mata hati masyarakat akan kekayaan warisan takbenda yang perlu dijaga dan diteruskan.

Upacara Adat Labuhan Merapi: Harmoni Manusia dan Alam

Dari Kabupaten Sleman, salah satu upacara adat yang dipamerkan adalah Labuhan Merapi. Upacara ini merupakan bentuk persembahan yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta di Gunung Merapi. Tradisi ini telah dilakukan sejak zaman dahulu kala oleh para leluhur di Yogyakarta dan merupakan wujud penghormatan serta permohonan keselamatan kepada Gunung Merapi sebagai penopang kehidupan.

Upacara Labuhan Merapi secara rutin dilaksanakan setahun sekali, tepatnya pada tanggal 30 Ruwah menurut kalender Jawa, bertepatan dengan upacara peringatan Hajad Dalem di Keraton Yogyakarta. Prosesi Labuhan Merapi melibatkan abdi dalem yang membawa beragam sesaji, dari Keraton Yogyakarta hingga puncak Merapi. Sesaji ini melambangkan permohonan agar kehidupan di sekitar Merapi tetap aman dan tenteram, serta sebagai wujud terima kasih atas kesuburan tanah yang diberikan. Tradisi ini mencerminkan filosofi Jawa tentang keseimbangan antara manusia dan alam, di mana manusia hidup berdampingan dan menghormati kekuatan alam. Labuhan Merapi telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2017.

Upacara Adat Mitoni: Mensyukuri Kehidupan Baru

Dari Kota Yogyakarta, ditampilkan upacara Mitoni, sebuah upacara yang berkembang dalam masyarakat. Mitoni adalah ritual yang dilakukan pada saat kehamilan memasuki usia tujuh bulan, sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar proses kelahiran berjalan lancar, ibu dan bayi selamat, serta kelak sang anak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Upacara Mitoni melibatkan berbagai ritual, termasuk siraman tujuh mata air, sungkeman, hingga pemberian nama bayi sementara. Setiap elemen dalam upacara ini memiliki makna simbolis yang mendalam, mencerminkan harapan dan doa dari keluarga untuk masa depan sang anak. Upacara Mitoni adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi kehidupan baru dan harapan akan generasi penerus yang berkualitas. Upacara ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2017.

Upacara Adat Gondang Hao: Merawat Semangat Pertanian

Dari Kabupaten Kulon Progo, upacara adat Gondang Hao menjadi salah satu fokus pameran. Gondang Hao adalah tradisi pedukuhan yang diselenggarakan oleh masyarakat Pedukuhan Menggung, Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kulon Progo. Upacara ini dilakukan untuk menguatkan persaudaraan, menghormati leluhur, serta sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil panen.

Upacara Gondang Hao biasanya dilaksanakan setelah musim panen, sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan yang telah diberikan. Prosesi ini melibatkan ritual seperti membersihkan sumber air, memanjatkan doa bersama, dan pementasan seni tradisional yang merekatkan tali persaudaraan. Upacara ini mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan, serta menumbuhkan rasa kebersamaan di antara masyarakat. Gondang Hao juga merupakan wujud dari kekayaan budaya pertanian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kulon Progo. Gondang Hao telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2018.

Upacara Adat Bekti Pisungsung Jaladri: Persembahan untuk Laut

Dari Kabupaten Bantul, Pameran Upacara Adat menampilkan Bekti Pisungsung Jaladri. Upacara ini merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Bantul, khususnya di sekitar Pantai Depok. Bekti Pisungsung Jaladri adalah upacara persembahan atau labuhan ke laut sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil tangkapan ikan yang melimpah dan memohon keselamatan bagi para nelayan.

Upacara ini melibatkan ritual-ritual simbolis seperti melarung sesaji ke laut, doa bersama, dan pementasan seni tradisional seperti Tari Beksan. Setiap elemen dalam upacara ini memiliki makna mendalam, mencerminkan hubungan spiritual antara manusia dan laut, serta kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Bekti Pisungsung Jaladri adalah contoh nyata bagaimana budaya membentuk pola hidup masyarakat pesisir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Upacara ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2016.

Upacara Adat Bukaan Cupu Panjala: Meramal Masa Depan, Membaca Kearifan

Dari Kabupaten Gunungkidul, upacara adat Bukaan Cupu Panjala menarik perhatian karena keunikan dan misterinya. Cupu Panjala adalah tiga wadah kuningan berbentuk kendi dengan ukuran berbeda yang ditutup kain mori dan disimpan di sebuah peti kayu. Konon, benda pusaka ini diyakini dapat memberikan isyarat tentang kondisi alam, pertanian, dan sosial di masa depan.

Upacara Bukaan Cupu Panjala dilaksanakan setiap setahun sekali pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Jumadil Awal menurut kalender Jawa. Prosesi pembukaan cupu dilakukan oleh juru kunci di hadapan masyarakat. Isyarat atau ramalan dibaca dari posisi lipatan kain mori yang menutupi cupu, noda atau bercak yang terbentuk, dan benda-benda yang ada di dalamnya. Meskipun terkesan mistis, upacara ini memiliki fungsi sosial dan spiritual yang mendalam, yakni sebagai pedoman bagi masyarakat dalam mengambil keputusan dan sebagai pengingat akan pentingnya kearifan lokal.

Upacara Bukaan Cupu Panjala juga menjadi ajang silaturahmi dan penguatan tali persaudaraan di antara masyarakat Gunungkidul. Tradisi ini mengajarkan pentingnya memahami tanda-tanda alam dan meresponsnya dengan bijak. Cupu Panjala telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2017.

Menjaga Api Tradisi: Harapan untuk Masa Depan

Pameran Upacara Adat ini bukan hanya sekadar display statis, melainkan sebuah undangan untuk menyelami kedalaman makna budaya Yogyakarta. Melalui penjelasan naratif yang edukatif, masyarakat diajak untuk lebih dari sekadar melihat; mereka diajak untuk memahami, merasakan, dan pada akhirnya, mencintai warisan takbenda ini. Antusiasme pengunjung yang membludak menjadi bukti nyata bahwa semangat melestarikan dan menggali kembali akar budaya masih sangat kuat di tengah masyarakat, terutama generasi muda.

Dengan terus melakukan upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan, Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan komitmennya yang kuat dalam menjaga api tradisi agar terus menyala terang. Upacara adat, sebagai salah satu pilar utama warisan takbenda, adalah cerminan dari jiwa dan identitas masyarakat Yogyakarta yang tak pernah berhenti berevolusi, beradaptasi, dan memberi makna pada setiap denyut kehidupan. Pameran ini adalah langkah konkret untuk memastikan bahwa "Nguburhi Tradisi Upacara Adat" akan terus berlanjut, menanamkan nilai-nilai luhur pada generasi mendatang, dan menjadikan Yogyakarta sebagai mercusuar kebudayaan di Indonesia bahkan dunia.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta