by ifid|| 22 Juni 2025 || || 45 kali
Kulonprogo, 19 Juni 2025 – Di tengah hiruk pikuk modernisasi, upaya pelestarian adat dan tradisi menjadi semakin krusial. Hotel Morazen Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 2025, mengambil peran penting dalam menjaga warisan budaya Jawa dengan menyelenggarakan workshop bertema “Daur Hidup Upacara Mitoni dan Brokohan”. Acara ini bukan sekadar seminar biasa, melainkan sebuah gerbang untuk menyelami makna mendalam dan filosofi luhur di balik dua upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Jawa. Penyelenggaraan workshop ini merupakan inisiatif Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, menunjukkan komitmen bersama dalam melestarikan kebudayaan adiluhung.
Workshop ini secara khusus menyoroti dua ritus yang tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia Jawa: Mitoni, yang dilaksanakan saat usia kandungan seorang ibu menginjak tujuh bulan, dan Brokohan, sebuah ritual simbolik yang menandai kelahiran seorang bayi ke dunia. Keduanya, meskipun berbeda dalam waktu pelaksanaannya, memiliki benang merah yang sama: ungkapan syukur, doa keselamatan, dan penguatan nilai-nilai kekeluargaan serta sosial.
Peserta workshop, yang terdiri dari berbagai kalangan mulai dari komunitas HARPI Kulonprogo, penggiat Budaya Desa Budaya Kulon Progo, hingga masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada tradisi Jawa, tampak antusias mengikuti setiap sesi. Mereka tidak hanya disuguhi penjelasan teoritis, tetapi juga diajak untuk memahami simbolisme dan tujuan di balik setiap tahapan dalam kedua upacara tersebut. Melalui workshop ini, diharapkan pemahaman mendalam tentang kebudayaan lokal dapat tumbuh, dan semangat untuk menghargai serta melestarikan tradisi Jawa dapat terus menyala di tengah perkembangan zaman.
Upacara Mitoni, atau sering juga disebut Tingkeban, bukanlah sekadar perayaan. Lebih dari itu, ia adalah bentuk permohonan doa bagi keselamatan ibu dan calon bayi, serta persiapan mental dan spiritual bagi calon orang tua dalam menyambut anggota keluarga baru. Sementara itu, Brokohan menjadi penanda awal dari perjalanan hidup seorang anak, sebuah ritual penyambutan yang penuh makna, sekaligus bentuk rasa syukur atas karunia Sang Pencipta.
Narasumber-narasumber kompeten yang hadir dalam workshop ini memberikan pencerahan mengenai nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang terkandung dalam Mitoni dan Brokohan. Mereka mengupas tuntas bagaimana nilai-nilai luhur ini, seperti gotong royong, kebersamaan, dan rasa syukur, dapat terus relevan dan bahkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Workshop ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang usang, melainkan sebuah kekayaan yang tak ternilai, yang mampu memberikan fondasi moral dan etika yang kuat bagi generasi penerus. Dengan semangat kebersamaan, Hotel Morazen Yogyakarta bersama Kundha Kabudayan DIY, para budayawan, dan masyarakat, berkomitmen untuk terus menjaga dan menghidupkan warisan budaya adiluhung ini.
Mitoni: Tujuh Bulan Penuh Harapan dan Doa
Upacara Mitoni, atau yang juga akrab disebut Tingkeban, merupakan salah satu ritus daur hidup masyarakat Jawa yang secara khusus diperuntukkan bagi kehamilan pertama ketika usia kandungan menginjak tujuh bulan. Nama "Mitoni" sendiri berasal dari kata "pitu" yang berarti tujuh, merujuk pada usia kandungan yang menjadi penanda dilaksanakannya upacara ini. Menurut Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum., dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang turut menjadi narasumber pada workshop ini, tradisi Mitoni memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan disebut-sebut telah ada sejak masa Kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Raja Jayabaya, sekitar tahun 1135 Masehi. Dr. Sri Ratna Saktimulya juga menyampaikan materi ini sebagai bagian dari acara Workshop Upacara Daur Hidup bersama Kundha Kabudayan DIY.
Kisah asal-usul Mitoni yang diceritakan secara turun-temurun mengisahkan tentang pasangan Niken Satingkeb dan Sadiya. Keduanya berulang kali harus merasakan kepedihan karena setiap bayi yang mereka lahirkan selalu meninggal pada usia yang sangat muda. Kesedihan mendalam ini mendorong mereka untuk memohon petunjuk kepada Tuhan, hingga akhirnya mereka mendapat wangsit untuk menghadap Raja Jayabaya. Dari sinilah, tradisi Mitoni diyakini berawal, sebagai upaya memohon keselamatan dan kelancaran dalam proses kehamilan dan persalinan.
Secara filosofis, Mitoni adalah wujud permohonan doa kepada Tuhan agar ibu dan calon bayi senantiasa diberikan kesehatan dan keselamatan hingga persalinan tiba. Selain itu, upacara ini juga menjadi momentum penting bagi calon orang tua untuk mempersiapkan diri secara mental dan emosional dalam menyambut kehadiran buah hati. Berbagai rangkaian prosesi dalam Mitoni, seperti siraman jamas, sungkeman, hingga memutus benang lawe, sarat akan simbolisme. Siraman, misalnya, melambangkan pembersihan diri dari segala hal negatif dan penyucian batin. Pemilihan air yang digunakan pun tidak sembarangan, seringkali diambil dari tujuh sumber mata air yang berbeda, melambangkan kesucian dan harapan akan rezeki yang melimpah.
Ubarampe atau perlengkapan sesaji dalam Mitoni juga memiliki makna mendalam. Aneka jajanan pasar, tumpeng, hingga dawet, semua memiliki filosofi tersendiri yang berkaitan dengan harapan akan kehidupan yang manis, berkah, dan kelimpahan. “Sajen dan ubarampe dalam upacara adat bukanlah sekadar persembahan fisik, melainkan lambang doa tanpa kata yang mengandung harapan dan permohonan,” terang salah satu narasumber dari HARPI Melati DIY.
Dengan memahami setiap detail dalam Mitoni, peserta workshop diajak untuk melihat upacara ini bukan hanya sebagai ritual formal, melainkan sebagai sebuah doa panjang yang mengiringi perjalanan kehamilan, meneguhkan harapan, dan mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga dan masyarakat. Mitoni, dengan segala kesakralannya, adalah cerminan dari kekayaan nilai-nilai budaya Jawa yang patut terus dilestarikan.
Brokohan: Sambutan Penuh Syukur untuk Kehidupan Baru
Setelah sembilan bulan penantian, tibalah saatnya menyambut anggota keluarga baru ke dunia. Dalam tradisi Jawa, momen sakral ini dirayakan melalui upacara Brokohan. Berbeda dengan Mitoni yang berfokus pada kehamilan, Brokohan adalah ritual penyambutan kelahiran bayi yang penuh rasa syukur dan doa keselamatan. Workshop di Hotel Morazen Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Kundha Kabudayan DIY, turut mengupas tuntas makna dan filosofi di balik upacara Brokohan, membuka mata peserta terhadap kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Faizal Noor Singgih, sebagai narasumber juga menjelaskan Brokohan adalah tradisi upacara adat Jawa yang dilaksanakan untuk menyambut kelahiran bayi. Ini merupakan wujud rasa syukur yang mendalam atas kelahiran bayi dengan memohon berkah serta keselamatan tidak hanya untuk sang bayi, tetapi juga untuk ibu yang melahirkan dan seluruh anggota keluarga. Makna dan tujuan Brokohan sangatlah beragam, meliputi permohonan berkah keselamatan, mempererat tali silaturahmi keluarga dan tetangga, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tentunya, pelestarian budaya.
Salah satu tradisi penting dalam Brokohan adalah mengubur ari-ari atau plasenta. Prosesi ini bukan sekadar tindakan kebersihan, melainkan bentuk penghormatan yang tinggi terhadap ari-ari karena perannya yang vital dalam mendukung kehidupan bayi selama di dalam kandungan. Setelah dicuci bersih, ari-ari dibungkus dengan kain mori, dilengkapi dengan garam, jarum, benang, kertas bertulis huruf Jawa, Latin, Arab, dan kembang setaman, kemudian dimasukkan ke dalam kendi kecil. Kendil ini lantas ditanam atau dikubur di depan rumah sebelah kanan untuk bayi laki-laki dan sebelah kiri untuk bayi perempuan dan diberi penerangan lampu hingga 35 hari. Ritual ini dipercaya sebagai simbol penguburan saudara spiritual bayi yang akan senantiasa melindungi.
Selain penguburan ari-ari, Brokohan juga seringkali diikuti dengan tradisi kenduri atau syukuran yang melibatkan tetangga dan kerabat. Isi dari brokohan yang dibagikan biasanya meliputi beras, kelapa, gula Jawa, telur, dawet, dan aneka makanan tradisional lainnya. Pembagian makanan ini adalah simbol berbagi kebahagiaan dan memohon doa restu dari lingkungan sekitar.
Secara tidak langsung, tradisi Brokohan juga membangun kesiapan mental dan emosional bagi kedua orang tua dalam menyambut kehidupan baru sebagai ayah dan ibu. Prosesi ini menjadi ruang refleksi, penguatan batin, sekaligus sarana untuk mempererat hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Seperti yang ditekankan dalam materi workshop, segala aspek dalam tradisi Brokohan merupakan wujud rasa syukur dan doa keselamatan bagi sang bayi, sekaligus pengingat akan pentingnya dukungan komunitas dalam membesarkan seorang anak. Brokohan adalah manifestasi nyata dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang kaya akan simbol dan nilai-nilai luhur yang diturunkan secara turun-temurun, sebuah warisan yang patut kita banggakan dan lestarikan.
Menjaga Jati Diri di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan Pelestarian Adat
Workshop “Daur Hidup Upacara Mitoni dan Brokohan” tidak hanya membahas detail upacara, tetapi juga menjadi wadah refleksi mengenai tantangan dan peluang dalam pelestarian adat tradisi di Yogyakarta. Fajar Gegana, S.T., Anggota DPRD DIY Komisi D Fraksi PDI Perjuangan, dalam materinya menyoroti pentingnya pelestarian kebudayaan sebagai upaya memperkuat karakter dan identitas sebagai jati diri masyarakat Yogyakarta. Materi ini merupakan bagian integral dari Workshop Daur Hidup yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, menegaskan komitmen Pemda dalam upaya pelestarian budaya.
Dasar Hukum dan Urgensi Pelestarian
Fajar Gegana menekankan bahwa pelestarian adat tradisi memiliki landasan hukum yang kuat di DIY. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menjadi payung hukum utama yang mengakui dan melindungi kebudayaan sebagai salah satu pilar keistimewaan. Selain itu, Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta dan Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan semakin memperkuat komitmen pemerintah daerah dalam menjaga warisan leluhur. “Regulasi ini menunjukkan keseriusan DIY dalam mempertahankan identitas budayanya di tengah gempuran perubahan zaman,” ujar Fajar Gegana.
Tantangan di Tengah Arus Zaman
Meski memiliki dasar hukum yang kuat, pelestarian adat tradisi di Yogyakarta menghadapi berbagai tantangan signifikan. Tantangan terbesar, menurut Fajar Gegana, adalah globalisasi. Arus informasi dan budaya dari luar yang begitu deras dapat mengikis nilai-nilai lokal dan membuat generasi muda kurang tertarik pada tradisi. Tantangan kedua adalah regenerasi. Kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan melaksanakan upacara adat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan tradisi ini. Jika tidak ada pewaris, maka tradisi akan tergerus oleh waktu. Terakhir, pendanaan dan dukungan juga menjadi tantangan. Pelaksanaan upacara adat seringkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak sangat diperlukan.
Peluang Emas untuk Masa Depan Tradisi
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian adat. Pemerintah Daerah sebagai Mitra adalah peluang pertama. Dengan adanya regulasi dan komitmen, pemerintah dapat menjadi fasilitator utama dalam program-program pelestarian. Dukungan pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan maupun pendanaan, sangat vital, dan terbukti dengan inisiatif Kundha Kabudayan DIY dalam mengadakan workshop semacam ini.
Peluang kedua adalah sinergi antar komunitas. Berbagai komunitas budaya di Yogyakarta memiliki semangat yang sama untuk melestarikan tradisi. Kolaborasi antar mereka dapat menciptakan kekuatan besar dalam edukasi, dokumentasi, dan pelaksanaan upacara adat. Workshop seperti ini adalah contoh nyata sinergi positif yang dapat terus dikembangkan.
Terakhir, potensi ekonomi kreatif menawarkan peluang baru. Upacara adat dan tradisi dapat diintegrasikan dengan industri kreatif, misalnya melalui pariwisata budaya, produksi kerajinan tangan berbasis adat, atau pertunjukan seni. Pendekatan ini tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
Workshop ini menjadi pengingat bahwa pelestarian adat tradisi bukanlah tugas tunggal, melainkan tanggung jawab bersama. Dengan kolaborasi antara pemerintah melalui Dinas Kebudayaan DIY, komunitas, dan masyarakat, serta pemanfaatan peluang yang ada, warisan budaya Mitoni dan Brokohan akan terus hidup dan menjadi kebanggaan Yogyakarta.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...