by ifid|| 22 Juni 2025 || || 49 kali
TBY, 20 Juni 2025 – Megahnya Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sekali lagi menjadi saksi bisu, sekaligus denyut nadi bagi gelaran akbar seni pertunjukan, Parade Teater Linimasa #8. Tahun ini, perhelatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY melalui UPT Taman Budaya Yogyakarta ini mengangkat tema yang begitu relevan dan mendalam: “Tanah, Pewarisan, dan Problematika”. Di tengah pesatnya laju perkembangan kota, parade teater ini bukan sekadar ajang pertunjukan seni, melainkan sebuah ruang refleksi kolektif antara seniman, penonton, dan masyarakat luas untuk menyuarakan persoalan sosial yang kian mendesak.
Digelar dalam satu hari penuh, Parade Teater Linimasa #8 menyuguhkan tiga pertunjukan intens yang memikat hati penonton dan pelaku seni. Sejak sore, suasana hangat mulai terasa di TBY, di mana para pengunjung diajak berinteraksi dan menikmati sajian seni yang menggetarkan, mengangkat isu-isu sosial dan budaya yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Dra. Purwiati, Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta, mengungkapkan bahwa dari 15 proposal yang masuk, hanya tiga kelompok teater yang berhasil lolos seleksi ketat. Ketiga kelompok ini dipandang sebagai representasi semangat dan wajah generasi teater Yogyakarta tahun 2025. “Acara ini tidak hanya menjadi wadah bagi para seniman, tetapi menjadi titik temu ide kreativitas dan eksperimen teater lintas generasi. Lebih dari itu, ini juga mencerminkan sebagai ruang dialog publik terhadap persoalan sosial budaya, terutama terhadap pewarisan isu tanah, dan ruang tinggal yang menyadarkan ruang kolektif masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan,” ungkap Dra. Purwiati saat pembukaan Linimasa #8.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi tinggi kepada para narasumber dan berharap bahwa malam pertunjukan ini akan menjadi momentum reflektif bersama. Khususnya, ia menekankan pentingnya meresapi isu-isu seputar tanah, pewarisan, dan ruang tinggal. “Seni teater memiliki kekuatan untuk menyuarakan berbagai persoalan sosial yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sekitar Yogyakarta, mulai dari isu warisan budaya, kekerabatan, adab, hingga konflik kepentingan,” ujar Dian Lakshmi Pratiwi. Ia juga berharap kegiatan ini dapat mendorong pengelolaan warisan yang lebih bijak, adil, dan beradab di masa mendatang. Pertunjukan ini, tambahnya, bukan sekadar hiburan tunggal, melainkan sarat dengan pesan-pesan kritis yang disampaikan secara puitis, menggugah nurani setiap yang menyaksikannya.
Parade Teater Linimasa #8 dibuka dengan sesi pertama yang dimulai pukul 16.00 WIB, menghadirkan pertunjukan dari Teater SD Tumbuh dengan judul “Planeto”. Disutradarai oleh Paksi Rahas Alit, pertunjukan ini menjadi suguhan eksperimental yang memadukan elemen musik, gerak, visual, dan dialog dalam sebuah format teater yang segar dan inovatif. "Planeto" tidak hanya sekedar menyuguhkan cerita, tetapi membawa penonton masuk ke dalam imajinasi anak-anak tentang situasi di sekitar mereka, khususnya Kota Yogyakarta, melalui sudut pandang yang polos namun sarat makna. Eksplorasi kreatif ini berhasil membawa penonton masuk ke dalam dunia anak-anak yang penuh warna dan refleksi sosial, menjadikannya pembuka yang kuat dan berkesan dalam rangkaian parade kali ini.
Dalam pertunjukan tersebut, para pemain cilik Teater SD Tumbuh dengan lugas menyampaikan pesan kuat mengenai kondisi bumi yang kian memburuk. Mereka menggambarkan bagaimana pohon-pohon mengering, udara tercemar, dan sampah menyebar di mana-mana, menandakan bahwa kehidupan di planet ini semakin terancam. “Pohon besar itu menjadi simbol harapan terakhir, namun kini kondisinya semakin melemah. Setiap detik membawa kita lebih dekat pada kehancuran,” demikian lirik pilu dari musikalisasi yang menggema di atas panggung. Meskipun situasi yang digambarkan tampak suram dan harapan seolah sirna, muncul secercah cahaya melalui sosok roh pohon yang menyampaikan pesan penuh harapan: “Masih ada harapan di balik cakrawala. Temukanlah harapan itu di ujung pelangi.”
Melalui balutan seni dan kreativitas anak-anak, pertunjukan ini mengajak penonton untuk merenungkan pesan yang disampaikan dengan mendalam. Isu-isu seperti sampah menjadi sorotan utama, mengingatkan kita bahwa permasalahan lingkungan tidak bisa dihindari begitu saja. Sebaliknya, kita ditantang untuk menghadapi persoalan tersebut dengan keberanian dan kebijaksanaan. Ajakan untuk menaklukkan dan membersihkan sampah menjadi simbol dari upaya kolektif dalam menciptakan kembali dunia yang layak huni, sebuah “planeto” yang bersih dan penuh harapan bagi generasi mendatang.
Sesi kedua yang berlangsung pada pukul 20.00 malam menghadirkan pertunjukan dari Perkumpulan Seni Nusantara Baca dengan judul “Tanah Warisan”, di bawah arahan sutradara Landung Simatupang. Pementasan ini menyoroti perbedaan pandangan yang kerap terjadi antara generasi, khususnya antara seorang ayah dan anaknya, mengenai tanah warisan. Pertunjukan ini dengan apik menggambarkan bahwa meskipun generasi terdahulu cenderung berpijak pada nilai-nilai luhur dan menjaga warisan secara fisik, bukan berarti generasi sekarang tidak bisa berperan. Justru, penting untuk mengelola dan memanfaatkan warisan tersebut secara bijak agar tetap memiliki nilai dan manfaat, bukan sekadar dijaga tanpa tindakan nyata yang produktif.
Fenomena semacam ini memang masih kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, di mana konflik warisan dapat memecah belah keluarga. Dalam pementasan tersebut, diperlihatkan pula bagaimana keserakahan bisa muncul dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi penengah. Salah satu tokoh, yakni ibu dukuh, digambarkan sebagai sosok yang licik, memanfaatkan konflik keluarga demi kepentingan pribadi. Ia memprovokasi dengan menyebarkan kabar bahwa sang anak berniat menjual tanah milik orang tuanya, sehingga memperkeruh situasi dan memperlihatkan wajah manipulatif di balik konflik yang seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah.
Selanjutnya, penampilan terakhir yang tak kalah memukau datang dari Tarikatur dengan judul “Mau Kemana Lagi?” yang disutradarai oleh Hanif Joaniko Putra. Pertunjukan ini menyuguhkan cerita yang menyoroti pentingnya mempertahankan tanah tempat kita berpijak dan dampaknya ketika tanah itu direnggut. "Mau Kemana Lagi?" menggambarkan realitas pahit yang kerap terjadi di kota-kota besar, di mana tanah milik warga dapat berpindah tangan kepada pihak yang lebih berkuasa atau bermodal besar. Dalam alur cerita, ditunjukkan bagaimana masyarakat kerap terperdaya oleh janji-janji manis yang pada akhirnya justru membawa penderitaan dan kehilangan. Mereka yang seharusnya membantu dan melindungi warga, justru menjadi bagian dari penindasan, memperlihatkan wajah ketidakadilan dalam persoalan penguasaan lahan.
Dalam kisah yang dipentaskan oleh Tarikatur, ditampilkan sosok seorang ibu yang gigih membangun lingkungan yang sehat demi masa depan anak-anak di kampung tercintanya. Usahanya perlahan membuahkan hasil, hingga ia nyaris berhasil menciptakan sebuah kampung yang sehat dan adaptif. Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Keharmonisan kampung itu terguncang ketika muncul sosok misterius yang berhasil membujuk warga dengan iming-iming uang. Warga pun tergoda oleh iming-iming sesaat, dan akibatnya mereka kehilangan tanah yang selama ini mereka jaga dengan segenap jiwa, membuat mereka bertanya-tanya, "Mau Kemana Lagi?".
Parade Teater Linimasa #8 bukan hanya menghadirkan seni pertunjukan yang menghibur, tetapi juga mendorong kesadaran kolektif tentang pentingnya ruang hidup yang adil dan berkelanjutan. Ketiga pertunjukan yang ditampilkan "Planeto", "Tanah Warisan", dan "Mau Kemana Lagi?"menyoroti berbagai dimensi persoalan tanah: baik sebagai warisan budaya, simbol lingkungan hidup yang terancam, maupun ruang hidup yang terus menerus menghadapi ancaman perampasan. Melalui karya seni yang sarat nilai budaya dan sejarah, Taman Budaya Yogyakarta menegaskan perannya sebagai ruang ekspresi sekaligus refleksi, dengan menyampaikan pesan edukatif yang menggugah kesadaran bersama akan pentingnya menjaga dan memperjuangkan hak atas tanah dan ruang tinggal.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...