by ifid|| 28 Juni 2025 || || 275 kali
Di penghujung tahun kalender Jawa dan menjelang fajar 1 Suro tahun Dal 1959, keheningan khidmat menyelimuti kompleks Kagungan Dalem Bangsal Ponconiti. Ribuan pasang mata menatap malam yang pekat, bukan untuk berpesta pora, melainkan untuk memulai perjalanan spiritual. Suasana yang tercipta di pelataran Bangsal Ponconiti adalah preludium bagi sebuah ritual tahunan yang telah mengakar kuat dalam denyut nadi kebudayaan Yogyakarta: Hajad Dalem Mubeng Beteng.
Pergantian tahun dalam kalender Jawa bukan sekadar pergeseran angka pada penanggalan, melainkan sebuah momen krusial untuk refleksi diri. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Abdi Dalem dan Kawula Dalem Keraton Yogyakarta, malam 1 Suro adalah jeda. Sebuah kesempatan untuk berhenti sejenak, menilik kembali perjalanan setahun yang telah berlalu, dan merancang harapan untuk masa depan. Filosofi ini menjadi inti dari setiap langkah yang akan digunakan dalam prosesi Mubeng Beteng.

Bangsal Ponconiti dipilih sebagai titik sentral kegiatan. Meskipun fokus utama adalah mengelilingi tembok keraton, keberadaan Bangsal Ponconiti sebagai pusat kegiatan menegaskan dukungan penuh dari pihak keraton terhadap pelestarian tradisi luhur ini. Tempat ini menjadi saksi bisu persiapan, doa awal, dan berkumpulnya para peserta sebelum mereka larut dalam keheningan malam.
KRT Kusumonegoro, menuturkan, "Malam ini secara penanggalan kita memasuki setelah nanti pukul 12 adalah penanggalan satu Suro untuk penanggalan di Kraton Yogyakarta dengan menggunakan kalender Sultan Agungan atau satu Hijriyah untuk kalender Muslim hijriyah." Ia melanjutkan, "Lampah budaya Mubeng Beteng ini adalah hajad Kawula Dalem, jadi bukan merupakan hajat Keraton, tetapi hajad Kawula Dalem yang diinisiasi juga oleh hajat Abdi Dalem dan juga seluruh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta."
Kegiatan Mubeng Beteng ini bukanlah agenda dadakan, melainkan sebuah rutinitas yang diinisiasi oleh Paguyuban Abdi Dalem, didukung penuh oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan tentu saja, seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta yang masih setia memegang teguh tradisi. Mereka yang mengikuti prosesi ini, para "Buto Ijo" sebutan akrab bagi peserta Mubeng Beteng adalah penjaga warisan budaya. Dengan langkah-langkah pelan, mereka akan mengitari benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih 4 kilometer. Jarak ini bukan sekadar angka, melainkan simbol perjalanan spiritual, sebuah "laku" yang penuh makna.
Jejak Sejarah dan Status Warisan Budaya Takbenda Nasional
Prosesi Mubeng Beteng tidak sekadar ritual berjalan kaki mengelilingi tembok keraton. Di balik kesederhanaan gerakannya, tersembunyi makna filosofis yang dalam dan jejak sejarah panjang yang membentuk identitas budaya Jawa. Tradisi ini diyakini telah ada sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai bagian dari upaya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tembok benteng yang dikelilingi bukan hanya struktur fisik, melainkan simbol dari batas-batas spiritual dan nilai-nilai luhur yang dijaga oleh keraton.
Dalam konteks spiritual Jawa, malam 1 Suro seringkali dianggap sebagai malam yang sakral, di mana energi-energi spiritual berinteraksi dengan kuat. Oleh karena itu, ritual yang dilakukan pada malam tersebut bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan energi alam semesta, membersihkan diri dari hal-hal negatif, dan membuka gerbang keberkahan untuk satu tahun ke depan. Gerakan "membisu" selama prosesi Mubeng Beteng adalah wujud konkret dari tujuan ini. Para peserta dianjurkan untuk tidak berbicara, fokus pada doa dan introspeksi diri. Keheningan ini bukan kekosongan, melainkan wadah bagi kontemplasi mendalam, dimana setiap individu dapat berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta tanpa gangguan verbal.
Pilihan untuk mengelilingi benteng juga memiliki makna tersendiri. Benteng adalah pelindung, penjaga kedaulatan, dan simbol kekuatan. Mengelilingi benteng dalam keheningan dapat diartikan sebagai upaya untuk "melindungi" diri sendiri dan komunitas dari segala hal buruk, serta memohon perlindungan dari Tuhan. Ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan nilai-nilai yang telah diwariskan. Setiap langkah adalah pengingat akan sejarah panjang dan perjuangan para pendahulu dalam membangun dan mempertahankan kebudayaan Jawa.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menekankan pentingnya tradisi ini. "Dan lampah budaya Mubeng Beteng ini menjadi salah satu karya budaya yang kita sebut dengan Warisan Budaya Takbenda yang sudah diakui secara nasional dari Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015. Jadi Mubeng Beteng ini sebagai salah satu adat istiadat dan tradisi yang diakui oleh nasional sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia,"ujarnya. Ini menunjukkan pengakuan resmi terhadap nilai dan kelestarian tradisi ini di tingkat nasional.
Secara fungsi filosofis dan juga yuridis dari upacara adat ini, KRT Kusumonegoro menjelaskan, "Masyarakat Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta adalah masyarakat yang religius yang selalu mengingat terkait dengan kehidupannya kepada Sang Pencipta sehingga pergantian tahun itu dimaknai sebagai satu upaya untuk kontemplasi, refleksi, terhadap hal-hal yang memang sudah dilakukan pada satu tahun sebelum sekaligus sebagai umbul dunga atau memohon keselamatan keberkahan untuk tahun kedepan."
Peserta, Rangkaian Acara, dan Simbol-simbol dalam Prosesi
Saat jam menunjukkan waktu yang semakin mendekat pada pergantian hari, kerumunan di Bangsal Ponconiti semakin padat. Mereka yang hadir bukan hanya Abdi Dalem, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. Ada yang datang berkelompok, ada pula yang sendiri. Pakaian tradisional Jawa mendominasi, dengan kain jarik dan beskap bagi pria, serta kebaya bagi wanita, menambah kesan sakral pada malam itu. Namun, pakaian bukanlah prasyarat mutlak; yang terpenting adalah niat tulus untuk berpartisipasi dalam prosesi spiritual ini.
KRT Kusumonegoro menambahkan detail mengenai rangkaian acara, terutama yang diinisiasi oleh Kawula Dalem dan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta. "Maka rangkaiannya dimulai dengan seperti malam ini sejak tadi setelah Isya kita melakukan mocopatan yang sebenarnya berisi kidung dunga kemudian kidung tolak bala ataupun merdinding Al-Fatihah. Jadi ini bagian dari kita untuk selalu mengingat terkait dengan hal-hal yang bisa mengingat kembali apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan kedepan yang semua harusnya sesuai dengan ridho Tuhan gitu ya. Intinya seperti itu." Rangkaian ini menunjukkan keseriusan dan kedalaman spiritual dalam menyambut pergantian tahun.
Atmosfer yang tercipta begitu unik. Meskipun ribuan orang berkumpul, tidak ada hiruk pikuk yang memekakkan telinga. Suara-suara berbisik terdengar sesekali, namun dominasi keheninganlah yang mengisi udara. Seolah-olah setiap individu secara otomatis menyadari kesakralan momen tersebut. Para petugas dengan sigap mengatur barisan, memastikan setiap peserta memahami tata tertib, terutama larangan berbicara selama mengelilingi benteng. Beberapa di antaranya membawa lilin, menambah kesan mistis dan penerangan minim di sepanjang rute yang akan dilalui.
Prosesi Mubeng Beteng biasanya dimulai tepat setelah tengah malam, mengiringi transisi dari hari terakhir bulan terakhir tahun Jawa menuju 1 Suro. KRT Kusumonegoro menjelaskan detail penting lainnya: "Nah nanti pada saatnya jam 12 maka kirab ini dari Abdi Dalem akan diberangkatkan nanti ada beberapa panji atau klabet atau bendera gitu yang akan dibawa mulai dari Gula Klapa merah putih salah satu pelambang dari klebetnya di Kraton kemudian juga ada klebet dari yang melambangkan Pemda DIY dan juga satu lima bendera yang melambangkan lambang-lambang kabupaten dan kota ada nama-namanya sendiri." Panji-panji ini bukan sekadar aksesoris, melainkan simbol yang sarat makna, merepresentasikan identitas dan persatuan wilayah Yogyakarta.
Ketika rombongan pertama mulai bergerak, langkah kaki yang seragam dan pelan menciptakan irama tersendiri yang menenangkan. Bayangan-bayangan peserta memanjang di bawah rembulan, membentuk siluet bergerak yang seolah-olah berinteraksi dengan tembok-tembok kuno benteng keraton. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, namun semangat dan fokus para peserta tak goyah.
Mubeng Beteng: Doa Kolektif untuk Masa Depan Yogyakarta
Ketika fajar mulai menyingsing dan mentari perlahan menampakkan diri, para peserta Mubeng Beteng telah menyelesaikan perjalanan spiritual mereka. Wajah-wajah terlihat lelah namun terpancar ketenangan dan kepuasan batin. Mereka telah menuntaskan "laku" mereka, sebuah janji pada diri sendiri dan Tuhan untuk memulai lembaran baru dengan jiwa yang lebih bersih dan hati yang lebih lapang.
KRT Kusumonegoro, kembali menekankan, "Melampah budaya ini dimaknai sebagai satu upaya untuk mesu diri atau berjalan dengan membisu sebagai upaya untuk mengingat kembali, merefleksi kembali pada kehidupan-kehidupan dan mungkin kesalahan-kesalahan yang bisa diperbaiki untuk tahun kedepan." Ia menambahkan, "Nah Mubeng Beteng sendiri ini sudah dikenal lebih dari dua generasi sehingga menjadi satu karya budaya warisan budaya takbenda."

Filosofi utama dari upacara Mubeng Beteng ini adalah sebagai sarana doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. "Ini adalah cara kita, masyarakat Jawa, untuk mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah dengan cara Mubeng Beteng, yang membisu dalam hal ini adalah lebih banyak berdoa dalam upacara tersebut," ujar KRT Kusumonegoro. Kalimat ini merangkum esensi dari seluruh prosesi: bahwa di balik setiap langkah, di balik setiap keheningan, tersimpan untaian doa dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Ilahi.
Mubeng Beteng bukan sekadar ritual tahunan yang berlangsung satu malam. Ia adalah manifestasi dari harapan kolektif. Harapan agar Yogyakarta senantiasa dilimpahi keberkahan, kedamaian, dan kemajuan. Harapan agar seluruh warganya terhindar dari bencana dan musibah. Harapan agar nilai-nilai luhur budaya Jawa terus lestari dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi mendatang. Dalam setiap hembusan nafas peserta yang membisu, terangkum doa-doa tulus untuk kota ini, untuk keraton, dan untuk seluruh masyarakatnya.
Kehadiran Mubeng Beteng di tahun Dal 1959 ini, dengan dukungan penuh dari Paguyuban Abdi Dalem, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan antusiasme masyarakat, adalah bukti nyata bahwa tradisi masih memiliki tempat yang kuat di tengah arus modernisasi. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan energi hidup yang terus relevan, menyediakan ruang bagi manusia untuk menemukan makna, introspeksi, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dengan berakhirnya prosesi Mubeng Beteng, bukan berarti refleksi telah usai. Justru sebaliknya, ini adalah awal. Awal dari setahun ke depan yang diharapkan akan lebih baik, lebih bermakna, dan penuh berkah. Keheningan malam 1 Suro, langkah-langkah di sekeliling benteng, dan doa-doa yang terucap dalam diam akan terus menjadi pengingat bagi masyarakat Yogyakarta untuk senantiasa menjaga harmoni, melestarikan budaya, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...