by ifid|| 02 Juli 2025 || || 263 kali
Yogyakarta, 1 Juli 2025 – Gelombang semangat seni tradisional kembali menggetarkan Yogyakarta. Hari ini, di Ballroom Hotel Grand Rohan, sebuah inisiatif monumental diluncurkan: Workshop Kethoprak 2025. Mengambil tema besar "Api di Bukit Menoreh", karya sastra legendaris dari S.H. Mintardja, workshop ini bertujuan merevitalisasi seni kethoprak melalui eksplorasi mendalam terhadap warisan literasi yang kaya. Lima kontingen dari seluruh penjuru Daerah Istimewa Yogyakarta – Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Gunungkidul – berkumpul, siap untuk menyelami dunia persilatan yang memukau dan mengadaptasinya ke dalam panggung kethoprak modern.
Workshop ini, yang digagas dan diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta, menghadirkan tiga narasumber terkemuka di bidangnya: RM Altiyanto Henryawan, Oky Suryaekawari, dan Stevanus Prigel Siswanto. Kehadiran mereka diharapkan mampu memberikan panduan, inspirasi, dan arahan teknis bagi para seniman kethoprak untuk menghasilkan karya-karya inovatif dan berkualitas.
"Api di Bukit Menoreh" bukan sekadar novel berseri; ia adalah epos yang telah membius jutaan pembaca dengan alur cerita yang kompleks, karakter-karakter kuat, dan intrik persilatan yang mendebarkan. RM Altiyanto Henryawan, dalam pembukaannya, menyampaikan pentingnya memilih karya sebesar ini sebagai tema.
"Cerita ini memiliki kedalaman yang luar biasa, dengan ratusan jilid yang menggambarkan perjalanan hidup dan perjuangan para tokoh. Ini adalah lahan subur untuk digarap menjadi pertunjukan kethoprak yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat makna," ujarnya.
Ia juga menambahkan harapan besarnya agar generasi muda, khususnya seniman kethoprak, dapat memahami dan memaknai lebih dalam tentang kethoprak itu sendiri, tidak hanya sebagai pertunjukan, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Henryawan menegaskan bahwa kethoprak memiliki potensi besar sebagai media "dakwah," dalam artian positif, yaitu menyampaikan nilai-nilai luhur dan pesan moral kepada masyarakat, sehingga dapat menjadi sendi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tantangan utama workshop ini adalah bagaimana mentransformasi narasi yang begitu luas dan detail ke dalam format panggung kethoprak. Stevanus Prigel Siswanto, salah satu narasumber, menekankan pentingnya bagi para sutradara, penulis naskah, dan penata iringan untuk membaca kembali secara menyeluruh karya S.H. Mintardja.
"Dari sana, kita bisa memilih 'sequence' mana yang paling potensial untuk digarap, tanpa kehilangan esensi dari cerita aslinya," jelas Prigel. Ia menambahkan bahwa salah satu tujuan utama adalah mendorong ide-ide kreatif agar para seniman tidak hanya menjiplak, tetapi menciptakan interpretasi baru yang segar dan relevan. Prigel juga secara eksplisit mendorong para seniman untuk "mengeksplorasi dan tidak stuck pada satu bentuk saja," agar terjadi pembaharuan dalam kethoprak. Ia secara tegas menyatakan, "Idenya harus tetap segar, eksplorasi tetap ada, agar tidak hanya sekadar menggarap yang sudah ada, tapi juga menciptakan sesuatu yang baru."
Workshop ini bukan hanya sekadar teori. Lebih dari itu, ia adalah sebuah inkubator ide. Para peserta diharapkan dapat menghasilkan naskah-naskah kethoprak baru yang berbasis "Api di Bukit Menoreh", yang nantinya dapat dibukukan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Ini adalah langkah konkret untuk memperkaya khazanah literatur kethoprak dan memberikan acuan bagi pementasan-pementasan di masa mendatang.
Keberhasilan workshop ini sangat bergantung pada kepakaran para narasumber yang terlibat. RM Altiyanto Henryawan, yang dikenal sebagai budayawan dan praktisi seni pertunjukan, memberikan perspektif tentang filosofi dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni kethoprak. Beliau menekankan bahwa kethoprak bukan hanya hiburan, melainkan media untuk menyampaikan pesan moral, sejarah, dan kearifan lokal.
Dengan latar belakang "Api di Bukit Menoreh" yang kental dengan nuansa Jawa klasik dan persilatan, Henryawan berharap kethoprak dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk lebih memahami akar budaya mereka. Secara spesifik, RM Altiyanto Henryawan menyatakan bahwa "kethoprak ini adalah bagian dari sendi kehidupan, baik berbangsa dan bernegara." Ini menunjukkan harapan besar agar kethoprak dapat berfungsi sebagai alat untuk membentuk karakter dan identitas nasional. Beliau juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan sinergi antar pelaku seni, dan festival kethoprak yang akan datang diharapkan menjadi ajang "aktualisasi" bagi setiap kontingen.
Oky Suryaekawari, seorang penata musik dan komposer yang telah malang melintang di dunia seni pertunjukan, memberikan wawasan tentang bagaimana mengadaptasi atmosfer cerita "Api di Bukit Menoreh" ke dalam iringan musik kethoprak.
"Dunia persilatan S.H. Mintardja memiliki dinamika yang unik. Ada adegan pertempuran, romansa, intrik politik, dan ketegangan spiritual. Semua ini harus mampu diterjemahkan ke dalam melodi dan ritme yang mendukung, menciptakan pengalaman yang imersif bagi penonton," papar Oky.
Ia juga membahas penggunaan instrumen tradisional dan modern secara harmonis untuk menciptakan soundscape yang kaya. Oky juga menyoroti bagaimana kisah "Api di Bukit Menoreh" yang awalnya merupakan karya literasi, dapat diadaptasi menjadi medium audio visual, dan bagaimana kethoprak merupakan wujud konkret dari adaptasi tersebut. Lebih lanjut, Oky menekankan pentingnya kethoprak untuk tidak terjebak pada "romantisme masa lalu" tetapi terus berinovasi dan bereksperimen agar tetap relevan dan menarik bagi generasi sekarang. "Bagaimana caranya kethoprak ini tidak berromantisme ria dengan masa lalu," tandasnya, menyerukan agar seniman berani mengambil langkah maju.
Sementara itu, Stevanus Prigel Siswanto, seorang sutradara dan seniman kethoprak berpengalaman, fokus pada aspek teknis pementasan. Dalam sesinya, Prigel mengupas tuntas tentang dramaturgi kethoprak, teknik akting, blocking, hingga penggunaan properti dan artistik yang tepat untuk menggambarkan dunia persilatan "Api di Bukit Menoreh".
"Cerita ini sangat kaya dengan elemen laga dan visualisasi pertarungan. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi para penata artistik untuk berkreasi dengan trik-trik panggung dan properti yang mendukung," jelas Prigel. Ia berharap workshop ini akan melahirkan penampil-penampil yang tidak hanya piawai dalam olah vokal dan tari, tetapi juga mumpuni dalam koreografi laga. Prigel juga menegaskan pentingnya eksplorasi ide dan tidak terpaku pada satu bentuk kethoprak saja, untuk menghasilkan karya yang lebih inovatif.
Partisipasi aktif dari lima kontingen – Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kabupaten Gunungkidul – menjadi indikator kuat bahwa semangat kethoprak di DIY masih membara. Masing-masing kontingen membawa kekhasan dan gaya pementasan daerahnya, yang diharapkan dapat memperkaya hasil akhir dari workshop ini. Keberagaman ini menjadi modal besar untuk menghasilkan adaptasi "Api di Bukit Menoreh" yang multidimensional dan menarik.
Sindhu Murti, seorang seniman ketoprak dari Kulon Progo, menyatakan ketertarikannya terhadap tema ini. "Menurut saya, untuk Festival Ketoprak DIY tahun ini sangat menarik karena mengangkat 'Api di Bukit Menoreh' yang ditulis oleh mendiang Bapak S.H. Mintardja," ujarnya. Ia menambahkan bahwa cerita ini sangat melekat di telinga masyarakat, terutama bagi mereka yang mungkin belum sempat membaca langsung serial novelnya. Sindhu melihat ini sebagai kesempatan bagi generasi muda untuk menerjemahkan dan mencari solusi bagaimana naskah ketoprak dapat dibuat dengan latar belakang "Api di Bukit Menoreh".
"Menariknya, ini akan menjadi sebuah tontonan yang akan dikolaborasi dari lima kabupaten [empat kabupaten dan satu kota]," jelas Sindhu. Kolaborasi antar wilayah ini diharapkan mampu melahirkan interpretasi yang beragam dan kaya akan nilai-nilai lokal, sembari tetap mempertahankan esensi cerita aslinya. Meskipun demikian, Sindhu mengakui adanya tantangan dalam penggalian sumber dan latar belakang cerita yang mendalam. "Untuk kesulitannya hanya ini sih, tentang penggalian sumbernya dan lainnya itu sih. Kalau untuk ceritanya aman, tinggal bagaimana kita mencari latar belakangnya dan mengeksekusinya," tambahnya. Harapannya, pertunjukan ini akan menarik banyak penonton karena cerita yang diangkat sangat relevan dengan masyarakat DIY.
Senada dengan Sindhu, Alfian Anggoro Mukti dari kontingen Kabupaten Bantul juga menyambut baik tema "Api di Bukit Menoreh". Namun, ia menyoroti tantangan yang lebih dalam terkait riset dan pemahaman cerita. "Sebenarnya menarik ketika kita, dari teman-teman seluruh kontingen ini harus mempelajari lagi, harus menggali lagi tentang suatu karya sastra yang sebenarnya cukup panjang. 396 episode," ungkap Alfian. Ia menambahkan bahwa cerita ini sangat populer di era 80-an dan 90-an, sehingga menjadi awam bagi generasi sekarang.
"Ini membuat kami yang akan menggarap ketoprak ini harus menggali lagi, harus membuka lagi, mencari literasi lagi, dan sedikit banyak akan memberi penghargaan kepada penulis juga karena kita harus mengerti lagi, harus membuka lagi tentang jalannya, bagaimana cara berpikir orang dulu, bagaimana sosiokultural masyarakat di suatu tempat, di Menoreh pada saat itu," jelas Alfian. Ia juga berharap pertunjukan ini dapat menampilkan bentuk kebudayaan Yogyakarta melalui cerita yang kaya akan unsur persilatan dan ilmu kebatinan.
Lebih lanjut, Alfian berharap festival ini akan melahirkan "berbagai macam bentuk-bentuk yang baru, bentuk-bentuk eksperimental yang baru yang sesuai dengan ciri khas kontingen masing-masing". Dengan tema yang belum pernah dipentaskan sebelumnya dalam ketoprak, ada keleluasaan bagi para penggarap untuk berkreasi dan membuat format pementasan yang sesuai dengan kreativitas masing-masing.
Festival Ketoprak DIY 2025 dengan tema "Api di Bukit Menoreh" menjanjikan sebuah pertunjukan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga edukatif dan mampu merajut kembali benang merah sejarah dan budaya Jawa melalui seni ketoprak. Kolaborasi antar kontingen dan semangat eksplorasi kreatif para seniman diharapkan akan menjadikan festival ini sebagai tonggak penting dalam perkembangan ketoprak di Yogyakarta.
Sarjono, perwakilan dari kontingen Kota Yogyakarta, mengungkapkan rasa syukurnya atas pilihan tema ini. "Ini adalah apresiasi, penghargaan dari seorang seniman, seorang sastrawan, mengambil tema-tema yang sebetulnya fiksi, ada latar belakang sejarah tapi fiksi. Ini yang sangat menggembirakan sekali," ujar Sarjono dalam sebuah wawancara. Baginya, langkah ini merupakan bentuk pengakuan terhadap kekayaan sastra dan budaya lokal yang patut dilestarikan.
Meskipun demikian, tantangan terbesar yang dihadapi para seniman adalah rentang waktu yang sangat panjang dalam cerita "Api di Bukit Menoreh". Kisah ini mencakup era dari Pajang hingga Mataram, sebuah periode sejarah yang kompleks dan panjang. "Karena di cerita Api di Bukit Menoreh ini adalah mempunyai rentang waktu yang sangat panjang sekali, sehingga kami dalam penulisan naskah, pengambilan tokoh-tokoh, era atau waktu kejadian dan seterusnya, ini akan menjadi kesulitan bagi kami," jelas Sarjono.
Ia membandingkan dengan tema-tema festival sebelumnya, seperti era Mataram yang mungkin lebih spesifik (contohnya, hanya era HB I). Rentang waktu yang luas ini menimbulkan kebimbangan dan kebingungan bagi masing-masing kontingen dalam memilih alur cerita dan karakter yang tepat agar esensi kisah tetap tersampaikan dengan baik tanpa kehilangan detail penting.
Namun, tantangan ini justru dilihat sebagai peluang berharga. Sarjono menekankan bahwa proses ini akan menjadi "pembelajaran, proses. Budi pekerti akan tampil di sana, budi pekerti akan akan apa, akan muncul di dalam berproses ini." Ia berharap, generasi muda seniman kethoprak akan merasakan kerinduan untuk terus berproses dan berkreasi, mengambil pelajaran berharga dari setiap tahapan pementasan.
Harapan besar juga disematkan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sarjono menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada dinas tersebut, berharap agar aturan-aturan dan "angger-angger" (ketentuan) yang telah disepakati bersama antara narasumber dan pelaku seni kethoprak dapat menjadi panduan yang jelas. Kesepakatan mengenai penulisan naskah, perekrutan talenta, hingga bentuk gending yang harus digunakan, diharapkan akan mempermudah jalannya festival dan menjaga kualitas setiap pementasan.
Dengan semangat kolaborasi dan dedikasi, para seniman kethoprak Yogyakarta siap menghadapi tantangan ini. Mereka berharap Festival Kethoprak 2025 akan sukses besar, tidak hanya sebagai ajang pementasan seni, tetapi juga sebagai wadah untuk melestarikan dan mengembangkan kethoprak serta nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita "Api di Bukit Menoreh" bagi generasi mendatang.
Festival Ketoprak tahun ini menghadirkan tantangan baru dan antusiasme di kalangan pegiat seni tradisional. Salah seorang peserta dari kontingen Sleman, Brian Rangga G, mengungkapkan pandangannya terkait tema festival yang mengadopsi kisah dari novel.
Menurut Brian, tema tahun ini menjadi hal yang baru baginya. “Ini merupakan hal yang baru, terus terang bagi saya pribadi,” ujarnya. Tantangan utamanya adalah harus membaca dan memahami setiap seri dari novel yang diangkat, yang membutuhkan ketelitian ekstra. Ia juga menyoroti bagaimana novel, terutama yang bergenre silat, memerlukan imajinasi yang kuat untuk dapat dipentaskan secara menarik. “Kalau di novel dari cerita silat itu ditulis mentah itu kurang bisa menarik ketika dipentaskan di dalam,” jelasnya.
Brian berharap festival semacam ini dapat memunculkan kembali penulis-penulis muda di Yogyakarta, sehingga seni ketoprak dapat terus berkembang dan memiliki lebih banyak sumber naskah.
Hal menarik yang ia dapatkan dari tema kali ini adalah kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang ensiklopedia Yogyakarta, khususnya mengenai keadaan Mataram di masa lalu. “Kita belajar semacam kayak ensiklopedinya Yogyakarta yang dengan notabene background dari keadaan Mataram,” kata Brian. Baginya, pengalaman ini tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga memberikan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Ia menambahkan bahwa tema ini sekaligus menjadi tantangan tersendiri untuk memunculkan karya-karya baru, yang memang sudah selayaknya dilakukan agar ketoprak semakin kaya dengan sumber-sumber naskah.
Agung dari Kontingen Kabupaten Bantul, menyambut baik pemilihan tema ini. "Menurut saya, suatu hal yang menarik karena dari banyaknya jilid yang ditulis dalam cerita bersambung 'Api di Bukit Menoreh' ini, teman-teman peserta tentunya dapat mengulik atau dapat belajar banyak, lalu bagaimana memvisualkan nantinya dalam pertunjukan sebuah pertunjukan ketoprak," ujarnya.
Meskipun demikian, Bapak Agung juga menyadari adanya tantangan dalam proses ini. "Tentunya dalam prosesnya pasti akan mengalami kesulitan, karena kita ketahui karya Esan Munandar 'Api di Bukit Menoreh' ini sangatlah panjang. Sehingga para peserta kesulitannya tentunya menentukan bagian mana atau cerita mana yang akan dipilih menjadi sebuah naskah yang nantinya akan divisualkan dalam sebuah pertunjukan ketoprak," jelasnya.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat harapan besar. "Kami juga punya harapan, melalui Festival Ketoprak Antar Kabupaten Kota Se-DIY ini, dengan bertemakan 'Api di Bukit Menoreh' karya Esan Munandar, dapat semakin mengingatkan kembali, terutama kaum muda, terhadap karya-karya dari penulis-penulis di zaman dulu yang tentunya sebenarnya adalah karya-karya yang menarik untuk kita pelajari di masa kini," tutup Agung.
Festival ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang unjuk kebolehan seni peran, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pelestarian budaya, khususnya di kalangan generasi muda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengadaptasi karya sastra sekompleks "Api di Bukit Menoreh" ke dalam pementasan kethoprak tentu bukan tanpa tantangan. Salah satu isu krusial adalah bagaimana menjaga autentisitas kethoprak sebagai seni tradisional, sementara pada saat yang sama, membuatnya relevan dan menarik bagi audiens modern.
RM Altiyanto Henryawan menekankan bahwa revitalisasi bukan berarti menghilangkan nilai-nilai dasar kethoprak. "Kita harus cerdas dalam mengadopsi elemen-elemen baru. Penggunaan teknologi panggung, misalnya, bisa saja diterapkan, asalkan tidak menggerus esensi dari kethoprak itu sendiri, seperti dialog berbahasa Jawa, tembang, dan iringan gamelan," tuturnya. Ia juga menyarankan agar para peserta tetap menjaga pakem-pakem dasar kethoprak, namun berani melakukan inovasi dalam penyajian. Henryawan kembali menegaskan bahwa festival yang akan menjadi puncak dari workshop ini adalah ajang aktualisasi bagi para seniman, di mana mereka dapat menunjukkan ide-ide segar dan garapan inovatif mereka, sekaligus mempererat kolaborasi.
Oky Suryaekawari menambahkan bahwa musik memiliki peran vital dalam menjembatani tradisi dan modernitas. "Kita bisa bereksplorasi dengan aransemen yang lebih dinamis, bahkan mungkin memasukkan sentuhan musik kontemporer, asalkan tetap menjaga nuansa Jawa. Tujuannya adalah menciptakan musik yang familiar namun tetap terasa segar bagi telinga penonton saat ini," jelasnya. Beliau secara spesifik menyoroti bagaimana karya sastra "Api di Bukit Menoreh" dapat dihidupkan dalam bentuk audio visual melalui kethoprak, membuka potensi baru bagi pengalaman penonton. Oky secara khusus berpesan, "Jangan sampai terjebak di romantisme masa lalu. Kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru." Ini menjadi seruan bagi para seniman untuk berani keluar dari zona nyaman dan terus berinovasi, demi keberlangsungan kethoprak. Beliau juga menyarankan agar penata iringan tidak hanya terpaku pada gamelan, tetapi juga mempertimbangkan elemen suara lain untuk memperkaya soundscape pertunjukan.
Dari sisi penulisan naskah, Stevanus Prigel Siswanto mendorong para penulis untuk tidak terjebak pada narasi linear yang kaku. "Cerita 'Api di Bukit Menoreh' memiliki banyak cabang dan latar belakang karakter yang kaya. Penulis dapat memilih fokus tertentu, mungkin mengangkat kisah salah satu tokoh pendukung yang menarik, atau menyoroti konflik spesifik yang relevan dengan kondisi saat ini, untuk menciptakan naskah yang padat, memiliki daya tarik dramatis, dan pesan yang kuat," kata Prigel. Ia juga menggarisbawahi pentingnya riset mendalam terhadap cerita asli agar interpretasi yang dihasilkan tetap akurat dan menghormati karya S.H. Mintardja. Prigel kembali menggarisbawahi pentingnya eksplorasi ide dan tidak terpaku pada satu bentuk kethoprak saja, untuk menghasilkan karya yang lebih inovatif dan menarik. Ia menekankan agar ide yang digarap "tetap segar, eksplorasi tetap ada, agar tidak hanya sekedar menggarap yang sudah ada, tapi juga menciptakan sesuatu yang baru." Hal ini menjadi kunci agar kethoprak terus berdinamika dan tidak monoton.
Workshop Kethoprak 2025 ini dirancang dengan pendekatan holistik, memadukan sesi teori mendalam dengan praktik langsung yang intensif. Selama beberapa hari ke depan, para peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok kerja, masing-masing fokus pada aspek-aspek kunci pementasan kethoprak.
Sesi pertama diawali dengan pemaparan filosofis tentang kethoprak dan relevansinya di era modern oleh RM Altiyanto Henryawan. Beliau memotivasi peserta untuk melihat kethoprak bukan hanya sebagai seni panggung, melainkan sebagai media ekspresi budaya dan penjaga nilai-nilai luhur. Diskusi interaktif juga diadakan untuk menggali pemahaman peserta tentang "dakwah" dalam kethoprak, di mana seni dapat menyampaikan pesan positif dan membangun karakter bangsa. Henryawan secara khusus menekankan pentingnya kethoprak sebagai "bagian dari sendi kehidupan, baik berbangsa dan bernegara."
Sesi penulisan naskah dipimpin oleh Stevanus Prigel Siswanto. Di sini, peserta diajak untuk menganalisis struktur naratif "Api di Bukit Menoreh", mengidentifikasi konflik-konflik sentral, dan mengembangkan karakter-karakter yang kuat. Prigel memandu mereka dalam teknik adaptasi cerita, mulai dari pemilihan adegan kunci, pengembangan dialog, hingga penyisipan elemen musikal yang sesuai. Penulis naskah didorong untuk menciptakan twist atau sudut pandang baru yang dapat memikat penonton tanpa mengubah esensi cerita asli. "Bagaimana caranya membuat naskah yang padat, tetapi tetap menarik dan punya daya tarik," kata Prigel, menantang para penulis.
Aspek musik dan iringan digarap di bawah bimbingan Oky Suryaekawari. Para penata iringan belajar bagaimana menerjemahkan emosi dan aksi dari naskah ke dalam melodi dan ritme. Oky membahas penggunaan pathet (mode gamelan), cengkok (gaya melodi), dan tabuhan (pukulan gamelan) yang tepat untuk setiap adegan, baik itu adegan pertempuran yang heroik, momen romantis yang lembut, atau adegan ketegangan yang mendebarkan. Inovasi dalam musik, termasuk kemungkinan integrasi instrumen non-tradisional, juga dibahas untuk menciptakan soundscape yang lebih kaya dan modern, tanpa meninggalkan identitas kethoprak. "Bagaimana caranya membuat musik yang familiar tapi terasa segar," tutur Oky, mendorong eksplorasi musikal.
Selain itu, workshop ini juga menyediakan sesi khusus tentang tata panggung, kostum, dan tata rias. Peserta belajar bagaimana menciptakan visual yang mendukung cerita, mulai dari desain set yang minimalis namun efektif, hingga pemilihan kostum yang mencerminkan karakter dan era "Api di Bukit Menoreh". Aspek teknis seperti pencahayaan dan sound system juga menjadi perhatian, agar pementasan kethoprak nantinya dapat dinikmati secara optimal oleh penonton.
Workshop Kethoprak 2025 ini merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk mengangkat kembali seni kethoprak ke panggung yang lebih tinggi. Visi jangka panjangnya adalah menjadikan kethoprak bukan hanya sebagai warisan lokal yang dilestarikan, tetapi juga sebagai kekuatan budaya nasional yang mampu bersaing di kancah internasional.
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY berencana untuk tidak berhenti pada workshop ini. Pasca-workshop, akan diadakan serangkaian latihan intensif di masing-masing kontingen, dengan pendampingan dari para narasumber. Puncaknya, pada akhir tahun 2025, akan digelar Festival Kethoprak "Api di Bukit Menoreh" yang menampilkan pementasan dari kelima kontingen. Festival ini tidak hanya akan menjadi ajang kompetisi, tetapi juga perayaan kreativitas dan kolaborasi. RM Altiyanto Henryawan melihat festival ini sebagai kesempatan emas bagi para seniman untuk "mengaktualisasikan diri," dan menunjukkan "ide-ide segar" mereka.
Lebih jauh lagi, hasil naskah terbaik dari workshop ini akan dibukukan dan disebarluaskan, menjadi sumber inspirasi dan referensi bagi sanggar-sanggar kethoprak di seluruh Indonesia. Ini adalah upaya nyata untuk menciptakan ekosistem kethoprak yang berkelanjutan, di mana generasi baru seniman dapat terus belajar, berkreasi, dan berinovasi.
Harapan besar juga terletak pada kemampuan kethoprak untuk menarik minat generasi muda. Dengan mengadaptasi cerita-cerita yang populer dan relevan, serta mengintegrasikan elemen-elemen modern dalam penyajian, kethoprak diharapkan dapat mematahkan stigma sebagai seni "kuno" dan menjadi sesuatu yang "kekinian" dan menarik. Oky Suryaekawari mengingatkan, "Bagaimana caranya kethoprak ini tidak berromantisme ria dengan masa lalu," menekankan urgensi inovasi.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga berkomitmen untuk terus memberikan dukungan, baik dalam bentuk pendanaan, fasilitas, maupun promosi. Sinergi antara pemerintah, akademisi, seniman, dan masyarakat akan menjadi kunci utama dalam mencapai visi ini. Dengan demikian, kethoprak tidak hanya akan menjadi cerminan identitas budaya Jawa, tetapi juga menjadi duta budaya Indonesia di mata dunia.
Kisah "Api di Bukit Menoreh" yang kaya akan nilai-nilai perjuangan, kepahlawanan, dan kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi motor penggerak kebangkitan kethoprak. "Api di Bukit Menoreh" bukan hanya judul, tetapi simbol dari semangat yang tak pernah padam untuk melestarikan dan mengembangkan seni kethoprak, menjadikan warisan leluhur ini terus menyala terang di hati setiap generasi.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...