Gelar Macapat 2025: Menghidupkan Warisan Sastra Jawa untuk Generasi Muda

by ifid|| 12 Juli 2025 || 378 kali

...

Yogyakarta, 10 Juli 2025 - Dalam rangkaian acara Festival Literasi Jogja 2025 yang berlangsung di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY melalui seksi Bahasa dan Sastra kembali ikut berkontribusi dengan mengadakan Gelar Macapat 2025. Acara ini diawali dengan indahnya lantunan soran serta klenengan yang dibawakan oleh paguyuban Jurusan Karawitan ISI Yogyakarta, kemudian dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi. Dalam sambutannya, Dian menyampaikan, “Melalui macapat, kita berharap segala etika, moral, budi pekerti yang tertuang di dalam lagu, yang tertuang di dalam nada, yang tertuang di dalam sikap kita bermacapat menjadi bagian pembelajaran kita bersama untuk generasi muda sekarang dan ke depan. Tujuannya untuk menguatkan literasi di DIY, khususnya bahasa dan sastra Jawa.”

Macapat adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang dilagukan dan terikat oleh aturan tertentu seperti guru gatra (jumlah baris dalam satu bait), guru wilangan (jumlah suku kata dalam setiap baris), dan guru lagu (persamaan bunyi pada akhir baris). Warisan budaya ini telah ada sejak zaman Mataram Kuno dan tetap hadir hingga kini. Terdapat 11 jenis tembang macapat, masing-masing memiliki tema dan makna yang berbeda, menggambarkan tiap tahap kehidupan manusia, diantaranya Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Setiap tembangnya berisi tuntunan perilaku agar manusia dapat hidup mulia baik di dunia maupun di akhirat.

Gelar Macapat 2025 mengusung tema “Sempulur Ngrembaka” yang memiliki makna kelancaran dan berkembang. Hal ini berkaitan dengan harapan bahwa tembang macapat sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia dari Daerah Istimewa Yogyakarta, dapat terus dilestarikan serta menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan peradaban manusia yang lebih baik. Kegiatan ini bernilai penting bagi pelestarian budaya Jawa, khususnya tradisi macapat yang telah ada sejak zaman Mataram Kuno, Majapahit akhir, hingga Mataram Islam. Pengembangan macapat dilakukan oleh berbagai kalangan, tidak hanya terbatas dalam lingkungan keraton, tetapi juga meluas di kalangan masyarakat umum. Macapat berkembang bukan hanya untuk menjadi waosan, tapi juga untuk seni pertunjukkan.

Menurut Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY Kurniawan, “Kolaborasi antara Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY dapat menjadi harapan dan terus bisa dilanjutkan dan ditingkatkan, karena literasi tentu butuh dukungan dari aspek budaya yang luar biasa.”  

Gelar Macapat 2025 dimeriahkan oleh 90 peserta dari 5 kabupaten/kota di DIY dengan 10 orang perwakilan penampil dari tiap kabupaten/kota mulai dari anak-anak, remaja, dan dewasa. Acara ini menyajikan tujuh jenis tembang macapat yang dibawakan oleh Paguyuban Macapat Yogyakarta, yaitu: Bawa Mijil dan Panembromo dengan gending Ketawang Subokastowo Pelog Nem; Bawa Megatruh dan Panembromo dengan gending Ladrang Sriwidada Pelog Barang Irama III; Ladrang Dhandanggula Maskentar Pelog Nem; Gambuh dan Pocung (kategori SD); Asmarandana (kategori remaja/pemuda); serta Sinom dan Pangkur (kategori dewasa). Materi macapat disajikan secara sederhana, baik dari segi cengkok lagu maupun bahasanya, sehingga menjadi lebih komunikatif dan mudah dinikmati juga oleh generasi muda. Para penampil menggunakan busana gagrag Yogyakarta dengan warna beragam seakan mewakili keberagaman generasi yang mempersembahkan alunan nada macapat yang menentramkan dan sarat makna.

 

Refleksi dan Pendalaman Mengenai Macapat Bersama Narasumber

Segmen spesial berupa ulasan narasumber dihadirkan di tengah acara menambah menarik Gelar Macapat tahun ini. Dua narasumber, yaitu Tri Suhatmini Rokhayatun selaku dosen Jurusan Karawitan ISI Yogyakarta dan Bayu Wijayanto selaku Wakil Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, berbagi inspirasi bertema “Macapat Mangayubagya HUT Daerah Istimewa Yogyakarta”. Tri menyampaikan bahwa untuk mengembangkan macapat di masa modern ini, dapat didahului dari yang sederhana, seperti menceritakan tentang lingkungan dan keadaan serta menggunakan bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari. Upaya pengenalan ini perlu dilakukan sejak usia dini lewat pendidikan dan pembiasaan. Kemudian, Bayu menjelaskan sekilas sejarah serta perkembangan macapat dari era Mataram kuno sampai dengan saat ini. “Dulu macapat digunakan sebagai literatur sarana untuk ritual, penanaman nilai-nilai, dan untuk dokumentasi oleh leluhur kita. Dokumentasi ini maksudnya untuk menceritakan mengenai peristiwa tidak hanya berbentuk tulisan biasa saja tapi juga dalam bentuk literatur yang dapat dilagukan. Jadi “rasa”-nya dapat merasuk dan ada penghayatannya. Nilai-nilai tersebutlah yang dapat dipegang hingga generasi selanjutnya.” Bayu juga meluruskan makna dari tembang Lingsir Wengi yang kerap digunakan dalam film horor. Lagu ini bukanlah berisikan hal mistis melainkan mengenai tengah malam sebagai waktu berserah pada Tuhan. Pemahaman mengenai tembang Jawa perlu lebih diupayakan agar masyarakat dapat mengartikan dengan benar dan mengambil kebaikan makna yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran macapat dapat dimulai secara bertahap, misalnya dengan mengenalkan lagu-lagu dolanan seperti "Gundhul-Gundhul Pacul". Media sosial menjadi sarana efektif untuk menarik minat generasi muda, karena keberadaannya yang dekat dan mudah diakses oleh mereka, sehingga bisa menimbulkan rasa penasaran untuk belajar macapat. Tri mengungkapkan kesiapannya berbagi rekaman tembang macapat kepada yang berminat agar pelestariannya semakin kuat. Kedua narasumber mengajak penonton untuk berani memulai belajar macapat serta mendorong adanya fasilitasi dalam proses pembelajaran seni ini. Mereka menekankan bahwa seni seperti macapat adalah bagian dari jati diri budaya kita yang perlu kita cintai dan jaga. Pembelajaran macapat diminati oleh banyak orang luar negeri, sementara masyarakat kita sendiri justru masih kurang bersemangat mempelajarinya. Acara ini adalah satu titik penting untuk memancing semangat itu tumbuh sehingga masyarakat Indonesia lintas generasi dapat dengan bangga meneruskan seni macapat.

 

Harapan Baru untuk Pelestarian Warisan Macapat

Henri Septiawan salah satu pengunjung mengungkapkan apresiasinya, “Saya sangat suka sekali dengan acara ini. Ternyata masyarakat masih mengenal dan sangat menguasai macapat ini terutama anak generasi mudanya, masih belum meninggalkan jati dirinya sebagai pewaris peninggalan leluhur. Macapat masih menjadi kebanggaan Yogyakarta. Semoga event seperti ini didukung oleh pemerintah dan juga regenerasi yang pada akhirnya generasi muda yang lain mengikuti, tetap bangga terhadap jati dirinya dengan bersastra atau bermacapat”.

Harapan besar dari Gelar Macapat ini adalah dapat menjadi wujud nyata pelestarian budaya yang tidak hanya mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga membawa semangat untuk mengembangkan dan mengenalkannya kepada generasi mendatang. Dengan kesederhanaannya, macapat justru menjadi pintu masuk yang hangat bagi anak-anak dan remaja untuk mencintai bahasa Jawa serta memahami nilai-nilai sastra yang terkandung dalam setiap tembang hidup. Semakin banyak yang ingin belajar dan berbagi dalam komunitas macapat yang kini telah difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, menjadi bukti bahwa regenerasi itu nyata dan tumbuh. Nilai-nilai etika, moral, dan budi pekerti yang tertanam dalam setiap bait macapat menjadi bekal penting untuk generasi muda. Kolaborasi lintas pihak perlu terus dilanjutkan dan diperkuat, karena literasi budaya akan berkembang baik jika didukung oleh ekosistem budaya yang kokoh. Semoga kegiatan seperti ini terus mendapatkan dukungan dari pemerintah dan masyarakat, agar anak-anak muda tetap bangga pada jati dirinya sebagai generasi yang bersastra dan ber macapat. Gelar Macapat 2025 telah disiarkan secara langsung di kanal Youtube resmi Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY. Siaran tundanya dapat dinikmati pada tautan berikut ini: Gelar Macapat 2025  (azka/nova)

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta