Pagelaran Wayang Kulit Adat Suran: Menyelami Makna Hidup Bersama Bratasena

by ifid|| 26 Juli 2025 || || 4 kali

...

Yogyakarta, 25 Juli – Bangsal Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, pada Jumat malam (25/07) kembali menjadi saksi bisu kemegahan seni adiluhung Jawa. Dinas Kebudayaan DIY dengan bangga mempersembahkan Pagelaran Wayang Kulit Adat Suran, sebuah tradisi tahunan yang tak hanya menghibur, namun juga sarat makna filosofis. Dalam gelaran kali ini, masyarakat diajak untuk merenungi dan memaknai ujian hidup melalui kisah epik Bratasena dalam lakon 'Tirta Maha Pawitra'.

Acara yang berlangsung khidmat ini menjadi oase di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, mengingatkan kembali akan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta. Wayang kulit, sebagai salah satu warisan budaya tak benda dunia, memiliki peran sentral dalam menyampaikan nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi. Setiap gerak wayang, setiap alunan gamelan, dan setiap dialog dalang, mengandung esensi kehidupan yang relevan sepanjang masa.

Paniradya Pati Kaistimewaan DIY, Aris Eko Nugroho, dalam sambutan Pj. Sekretaris Daerah DIY, menyampaikan esensi mendalam dari lakon yang dipilih. "Lakon yang ditampilkan malam ini mengisahkan perjalanan Bratasena yang mencari bukan hanya kesaktian lahiriah, tetapi juga pencerahan batin," ujarnya. Ia menekankan bahwa kisah Bratasena adalah cerminan dari perjalanan manusia yang kerap diuji oleh tantangan yang terkadang terasa tak masuk akal. Namun, justru dari ujian-ujian itulah, kebijaksanaan dan keteguhan hati seorang insan ditempa dan lahir.

Pagelaran ini bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah medium untuk menanamkan tuntunan. Di bawah rembulan malam Sura, diiringi sayup-sayup suara gamelan, penonton diajak untuk menyelami setiap detail narasi, mencari hikmah di balik setiap adegan, dan menemukan relevansinya dalam pergulatan hidup pribadi. Ini adalah upaya nyata Dinas Kebudayaan DIY untuk menjaga denyut nadi kebudayaan, memastikan bahwa warisan leluhur ini tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat.

'Tirta Maha Pawitra': Cerminan Ujian dan Pencerahan Batin

Inti dari pagelaran Wayang Kulit Adat Suran malam itu adalah lakon 'Tirta Maha Pawitra', sebuah kisah yang menyoroti perjalanan spiritual Bratasena, salah satu Pandawa yang dikenal dengan kekuatan fisiknya. Namun, dalam lakon ini, kekuatannya diuji bukan oleh musuh di medan perang, melainkan oleh syarat-syarat yang mustahil dan membingungkan. Aris Eko Nugroho menjelaskan lebih lanjut, "Seperti Bratasena, kita pun kerap diuji oleh tantangan yang tampak tak masuk akal. Tapi justru dari ujian itu, lahir kebijaksanaan dan keteguhan hati."

Bratasena dihadapkan pada pencarian benda-benda yang secara logis tidak mungkin ditemukan: Kayu Gung Susuhing Angin (pohon besar sarang angin), Galihing Kangkung (inti batang kangkung), dan Tapaking Kontul Nglanyang (jejak bangau yang melayang). Syarat-syarat ini, yang pada pandangan pertama terasa absurd, sebenarnya adalah metafora untuk ujian hidup yang seringkali tidak dapat dipahami dengan nalar semata. Namun, justru dari sinilah Bratasena mulai memahami makna sejati kehidupan, bahwa pencarian sejati bukanlah pada hal-hal lahiriah, melainkan pada kedalaman batin.

Puncak dari perjalanan Bratasena adalah pertemuannya dengan Dewa Ruci, sosok kecil yang merupakan manifestasi dari jati dirinya sendiri. Pertemuan ini membuka jalan menuju kawruh kasampurnan, ilmu tentang jati diri yang sesungguhnya. Filosofi ini, menurut Aris, sangat relevan dalam kehidupan modern. "Kita belajar bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang tampak, tetapi tentang bagaimana kita memahami diri dan dunia secara utuh," paparnya. Ia juga mengutip pepatah Jawa yang kaya makna: "Ngelmu kang tanpa laku, kawruh kang tanpa pamrih"—ilmu yang tanpa praktik, pengetahuan yang tanpa pamrih. Ini adalah pengingat bahwa pengetahuan sejati harus diwujudkan dalam tindakan dan tidak mengharapkan imbalan.

Malam itu, pesan-pesan filosofis ini disampaikan dengan apik oleh dalang muda berbakat, Ki Faizal Noor Singgih. Dengan kepiawaiannya menggerakkan wayang dan merangkai narasi, Ki Faizal berhasil menghidupkan karakter Bratasena, membawa penonton ikut merasakan pergulatan batin sang tokoh, dan akhirnya menemukan pencerahan. Pemilihan dalang muda ini juga menunjukkan komitmen Dinas Kebudayaan DIY dalam meregenerasi seniman pedalangan, memastikan bahwa tradisi ini terus diwariskan kepada generasi penerus.

Pelestarian Budaya, Kebersamaan, dan Harapan untuk DIY

Pagelaran Wayang Kulit Adat Suran Dal 1959 ini, seperti disampaikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakhsmi Pratiwi, bukan hanya sebuah pertunjukan seni, melainkan juga sebuah wujud nyata dari pelestarian budaya adiluhung. Dian menjelaskan bahwa seni pedalangan yang ditampilkan malam itu menggunakan gagrak Yogyakarta, sebuah gaya khas yang memiliki pakem dan kekayaan estetika tersendiri, mencerminkan identitas budaya Yogyakarta Hadiningrat.

Dalam kesempatan yang sama, Dian juga menyoroti pentingnya tradisi umbul donga yang dilakukan sebelum pagelaran dimulai. Umbul donga dalam tradisi Jawa merupakan ungkapan rasa syukur, permohonan keselamatan, dan harapan akan keberhasilan dalam kegiatan yang akan dilakukan. Ini adalah ritual yang memperkuat kearifan lokal dan mempererat kebersamaan, mengingatkan bahwa setiap aktivitas, termasuk seni, harus dilandasi dengan spiritualitas dan harapan baik. "Tentunya pertunjukan wayang ini diharapkan menjadi tontonan dan tuntunan," tegas Dian, menggarisbawahi dualisme fungsi wayang kulit yang tak lekang oleh waktu.

Acara ini juga menjadi bukti nyata sinergi antara pemerintah dan komunitas seni. Dinas Kebudayaan DIY bekerja sama erat dengan Paguyuban Sukrakasih, sebuah wadah pembelajaran seni pedalangan di Yogyakarta Hadiningrat. Keterlibatan paguyuban ini tidak hanya memastikan kelancaran acara, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran dan pengembangan bagi seniman, khususnya bagi para pemuda yang ingin mendalami seni pedalangan gaya Yogyakarta. Kehadiran bintang tamu seperti Mbak Anting, Mbak Agnes, dan Mas Rio Srundeng turut menambah semarak dan daya tarik pagelaran, menjangkau audiens yang lebih luas.

Dalam laporannya, Dian Lakhsmi Pratiwi menegaskan bahwa pagelaran wayang kulit adalah sarana vital untuk melestarikan dan mengembangkan seni pedalangan yang adiluhung. "Pelajaran yang terkandung dalam setiap tokoh pada pagelaran wayang kulit dianggap baik sebagai tontonan yang disertai tuntunan hidup bagi masyarakat luas," pungkasnya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan pagelaran wayang kulit ini sebagai wujud doa dalam bulan Sura tahun Dal 1959, dengan harapan selalu memohon rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa agar seluruh masyarakat diberi keselamatan dan kesehatan dalam menjalankan tugas di dunia ini.

Pagelaran ini menjadi suluh batin bagi kita semua, sekaligus pengingat bahwa jati diri budaya bukan sekadar dikenang, melainkan terus dihidupkan dan diwariskan. Melalui seni wayang kulit, nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta terus diperkuat, menjadikannya tak hanya sebuah kota budaya, tetapi juga pusat kearifan yang tak pernah padam.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta