by ifid|| 02 Agustus 2025 || || 138 kali
(Yogyakarta 29/07/2025) – Pertunjukan tahunan Ndang Tak Gong kembali digelar untuk keempat kalinya, mengusung tema besar “Dialektika Karawitan di Tengah Ruang dan Zaman.” Acara berlangsung pada Selasa malam, 29 Juli 2025 pukul 19.00 WIB, bertempat di gedung bersejarah Societeit Militaire, Taman Budaya Yogyakarta. Di tengah senyap kota, gamelan kembali menggema—sebagai suara jiwa dan ruang dialog para seniman lintas generasi yang menjadikan bunyi sebagai bahasa ekspresi dan perenungan.
Pagelaran kali ini menampilkan karya-karya karawitan dari para pengrawit muda hingga senior, yang menghadirkan harmoni logam dan kayu melalui pendekatan kontemporer tanpa meninggalkan akar tradisi. Dirancang sebagai pertemuan antara warisan budaya dan semangat zaman, Ndang Tak Gong 2025 menjadi ajang dialektika kreatif: bukan sekadar siapa yang tampil, melainkan mengapa karawitan tetap relevan dalam dinamika budaya hari ini.

Sebelum acara utama dimulai, penonton disambut dengan penampilan istimewa dari AFC (Art for Children)—kelompok karawitan anak-anak binaan Taman Budaya Yogyakarta. Penampilan ini menjadi pembuka yang hangat sekaligus penuh makna, menegaskan bahwa semangat pelestarian seni tradisi telah ditanamkan sejak usia dini. Dengan teknik terlatih dan ekspresi yang jujur, para anggota AFC menyajikan harmoni sederhana yang menyentuh, sebagai simbol harapan bagi keberlangsungan karawitan di masa depan.
Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati, menyatakan bahwa Ndang Tak Gong 2025 merupakan bentuk nyata dari komitmen kolektif untuk melestarikan dan memajukan seni karawitan. “Ruang pertunjukan bukan hanya tempat tampil, tetapi menjadi ruang belajar, ruang dialog, ruang ekspresi, sekaligus ruang apresiasi yang inklusif untuk semua kalangan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A., menegaskan pentingnya karawitan sebagai media budaya yang hidup dan sarat nilai. “Karawitan bukan hanya tabuhan gamelan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kesabaran, harmoni, dan keyakinan. Keharmonisan sejati dalam karawitan tidak datang dari suara yang paling menonjol, melainkan dari keselarasan antarunsur bunyi yang saling mengisi dalam ruangnya masing-masing,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada komposer Widanta Agung Nugroho atas karya inovatif yang ditampilkan malam itu. “Karya seperti ini menunjukkan bahwa karawitan adalah ruang eksperimentasi yang hidup. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan ruang pembelajaran dan refleksi yang membuka dialog antara tradisi dan semangat kekinian,” tambah Dian Lakshmi Pratiwi.
Pertunjukan utama malam itu bertajuk “Deyan,” sebuah karya kontemplatif dari Widanta Agung Nugroho yang menggabungkan estetika karawitan tradisional dengan teknologi tata suara dan cahaya digital semi-surround. Melalui komposisi musikal yang perlahan dan reflektif, Deyan menggambarkan kegelisahan batin manusia yang rapuh namun terus mencari ketenangan. Sepasang mata kecil dua anak perempuan muncul sebagai simbol pengingat: keheningan adalah bagian dari musik yang paling dalam.
Pertunjukan dibuka dengan iringan musik yang nyaris senyap, di mana setiap denting gamelan muncul bergantian—bergerak dari sisi kanan ke kiri panggung—menciptakan ilusi ruang yang menyelimuti penonton. Tata cahaya yang dinamis memperkuat atmosfer, berpindah dan berubah seiring irama, membangun suasana yang tenang namun sarat makna.
Kolaborasi antara musik gamelan dan unsur modern berhasil menghadirkan pengalaman audio-visual yang menggugah. Setiap nada terasa meresap dan menggugah perasaan, bukan hanya karena keindahan bunyinya, tetapi juga karena kedalaman makna yang disampaikan. Ini bukan sekadar pertunjukan karawitan—melainkan konser artistik berskala besar, lengkap dengan pencahayaan yang presisi dan tata suara yang tertata rapi.
Keberhasilan Ndang Tak Gong 2025 bukan hanya terletak pada kekuatan artistiknya, tetapi juga kemampuannya membangun jembatan antara generasi. Penonton yang hadir malam itu berasal dari berbagai kalangan—anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia—semua larut dalam atmosfer musikal yang reflektif dan membumi. Ini menunjukkan bahwa karawitan bukanlah seni yang usang atau terbatas usia, melainkan bahasa budaya yang terus hidup dan berkembang.
Pagelaran ini sekaligus menjadi bukti bahwa karawitan tetap memiliki daya tarik dan daya hidup di tengah modernitas. Ia tak hanya menjadi warisan yang dilestarikan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi yang menyentuh, menyatukan, dan menghidupkan kembali makna-makna terdalam tentang kebersamaan, ketenangan, dan identitas.
Pada suatu Selasa malam yang sunyi, di jantung kota Yogyakarta, sebuah dialog budaya kembali bergulir. Gamelan, yang suaranya tak asing namun kian jarang terdengar, menggema dari gedung bersejarah Societeit Militaire di Taman Budaya Yogyakarta. Ini adalah Ndang Tak Gong #4 2025, sebuah pertunjukan tahunan yang tak hanya menyajikan musik, tetapi juga menjadi panggung dialektika—sebuah perdebatan harmonis antara karawitan, tradisi, dan modernitas. Dengan tema besar “Dialektika Karawitan di Tengah Ruang dan Zaman,” acara ini membuktikan bahwa gamelan bukanlah sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sebuah bahasa hidup yang terus mencari makna relevansi di tengah pusaran waktu.
Pertunjukan ini terasa seperti oase di tengah hiruk-pikuk budaya pop. Para penonton dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga lansia, berkumpul untuk mendengarkan, merenung, dan menyaksikan sebuah perhelatan seni yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan. Ini adalah pengalaman yang mengajak kita kembali pada akar, pada nilai-nilai luhur yang disampaikan melalui setiap dentingan kenong, setiap pukulan saron, dan setiap getaran gong.
Sebelum memasuki panggung utama, atmosfer malam itu sudah dibangun dengan apik. Penonton disuguhi penampilan dari AFC (Art for Children), sebuah kelompok karawitan anak-anak yang dibina oleh Taman Budaya Yogyakarta. Penampilan mereka bukan sekadar pemanasan; ia adalah sebuah pernyataan. Dengan tangan-tangan mungil yang terlatih dan ekspresi lugu penuh semangat, mereka memainkan harmoni sederhana yang menyentuh.
Penampilan ini menjadi simbol harapan, sebuah pengingat bahwa masa depan karawitan tidak bergantung pada nostalgia, melainkan pada tangan-tangan kecil yang kini belajar menabuh gamelan. Semangat pelestarian telah ditanamkan sejak dini, membuktikan bahwa warisan budaya ini adalah api yang tak pernah padam, terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dra. Purwiati, Kepala Taman Budaya Yogyakarta, menegaskan hal ini dalam sambutannya. Ia menyatakan bahwa Ndang Tak Gong 2025 adalah bentuk komitmen kolektif untuk melestarikan dan memajukan seni karawitan. “Ruang pertunjukan bukan hanya tempat tampil, tetapi menjadi ruang belajar, ruang dialog, ruang ekspresi, sekaligus ruang apresiasi yang inklusif untuk semua kalangan,” ujarnya. Kata-kata ini merangkum esensi dari malam itu: sebuah panggung yang terbuka untuk siapa saja, tanpa batas usia atau latar belakang.
Puncak pertunjukan tiba dengan hadirnya karya kontemplatif dari komposer muda, Widanta Agung Nugroho. Bertajuk “Deyan,” yang dalam bahasa Jawa berarti "Diam," karya ini mengajak penonton pada sebuah perjalanan batin. Berbeda dengan karawitan pada umumnya yang identik dengan melodi yang riang, "Deyan" justru menawarkan pengalaman audio-visual yang perlahan dan reflektif.
Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, mengapresiasi inovasi ini. Ia menegaskan, “Karya seperti ini menunjukkan bahwa karawitan adalah ruang eksperimentasi yang hidup. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan ruang pembelajaran dan refleksi yang membuka dialog antara tradisi dan semangat kekinian.”
"Deyan" menggabungkan estetika karawitan tradisional dengan teknologi tata suara dan cahaya digital semi-surround. Pertunjukan dibuka dengan iringan musik yang nyaris senyap. Setiap denting gamelan muncul bergantian, bergerak seolah mengelilingi penonton, menciptakan ilusi ruang yang imersif. Di tengah suasana ini, tata cahaya dinamis berpindah dan berubah, seirama dengan alunan musik, membangun atmosfer yang tenang namun sarat makna.
Karya ini menggambarkan kegelisahan batin manusia yang rapuh namun terus mencari ketenangan. Di tengah komposisi yang hening, muncul sepasang mata kecil dari dua anak perempuan sebuah simbol yang mengingatkan bahwa keheningan adalah bagian dari musik yang paling dalam. “Keharmonisan sejati dalam karawitan tidak datang dari suara yang paling menonjol, melainkan dari keselarasan antarunsur bunyi yang saling mengisi dalam ruangnya masing-masing,” jelas Dian Lakshmi Pratiwi. Konsep ini seolah menjadi fondasi filosofis dari "Deyan" itu sendiri: harmoni tercipta dari perpaduan bunyi dan keheningan.
Pentingnya karawitan sebagai media budaya yang hidup dan sarat nilai menjadi benang merah yang tak terpisahkan dari seluruh acara. Dalam sambutan lengkapnya, Dian Lakshmi Pratiwi menyoroti bagaimana karawitan bukan sekadar seni musik. Ia adalah warisan peradaban, sebuah cerita panjang tentang keselarasan, kesabaran, kehalusan rasa, serta filosofi hidup masyarakat Jawa.
Di tengah gempuran budaya global, nilai-nilai luhur yang diajarkan karawitan, seperti kesabaran dan harmoni, menjadi semakin berharga untuk dikenalkan kembali. Ndang Tak Gong #4 ini, yang didanai oleh Dana Keistimewaan, berhasil menjadi jembatan antara tradisi dan masa kini, tempat para seniman bisa menunjukkan karyanya dan penonton bisa kembali merasakan kedalaman budaya yang sering terabaikan.
Pertunjukan ini juga menjadi bentuk penghargaan bagi para seniman karawitan. Mereka adalah penjaga nada, penabuh irama, dan pelestari jati diri budaya yang tetap setia pada warisan leluhur. Gelar karawitan ini adalah cara untuk menghormati dedikasi, ketekunan, dan konsistensi mereka.

Keberhasilan Ndang Tak Gong 2025 tidak hanya terletak pada kekuatan artistiknya, tetapi juga pada kemampuannya membangun jembatan emosional. Malam itu, karawitan tidak hanya dinikmati sebagai pengiring, tetapi sebagai sebuah karya artistik berskala besar. Pencahayaan yang presisi dan tata suara yang tertata rapi berhasil menghadirkan pengalaman audio-visual yang menggugah, membuat setiap nada meresap dan membangkitkan perasaan.
Ini adalah bukti nyata bahwa karawitan bukanlah seni yang usang atau terbatas usia. Ia adalah bahasa budaya yang terus hidup dan berkembang. Di tengah modernitas yang serba cepat, ia menawarkan ketenangan, kebersamaan, dan makna terdalam tentang identitas. Ia adalah sumber inspirasi yang menyentuh, menyatukan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang esensial.
Ndang Tak Gong #4 2025 telah membuktikan bahwa ruang-ruang ekspresi seni tradisi tidak seharusnya dikurung dalam nostalgia masa lalu. Sebaliknya, mereka harus diberi tempat yang layak di hari ini untuk terus tumbuh, berkembang, dan menginspirasi. Gamelan tidak hanya berbunyi sebagai pengiring, tetapi juga sebagai suara yang membangun dialog, suara yang merenungkan makna, dan suara yang menyatukan. Ia adalah suara kebersamaan, sebuah harmoni yang terus berdenyut, abadi di tengah ruang dan zaman.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...