Menyelami Kembali Falsafah Luhur "Manunggaling Kawula Gusti" di Jantung Sumbu Filosofi Yogyakarta

by ifid|| 08 Agustus 2025 || || 50 kali

...

Malioboro - Suasana syahdu dan penuh pemikiran menyelimuti kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta pada Selasa Wagen malam itu. Puluhan pasang mata dari berbagai kalangan usia dan latar belakang tampak khusyuk menyimak sebuah diskusi yang tak lekang oleh waktu. Ini bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan sebuah upaya kolektif untuk menggali kembali salah satu konsep puncak dalam spiritualitas Jawa, "Manunggaling Kawula Gusti" atau "Bersatunya Hamba dengan Tuhannya".

Acara yang telah menjadi agenda rutin ini seolah menjadi oase di tengah gurun spiritual masyarakat urban. Dengan latar belakang Sumbu Filosofi yang baru saja diakui sebagai warisan dunia UNESCO, diskusi ini menjadi semakin relevan, mengajak kita untuk tidak hanya melihat warisan fisik, tetapi juga meresapi nilai-nilai tak benda yang terkandung di dalamnya.

Konsep "Manunggaling Kawula Gusti" seringkali dianggap sebagai ajaran yang kompleks dan hanya bisa dijangkau oleh para sufi atau mereka yang menempuh jalan spiritual tingkat tinggi. Namun, dalam acara Selasa Wagen kali ini, tema tersebut dibedah dengan bahasa yang lebih membumi, mencoba ditarik relevansinya ke dalam kehidupan sehari-hari. Para narasumber yang hadir—terdiri dari budayawan, akademisi, dan praktisi spiritual silih berganti memaparkan pandangan mereka, menciptakan dialog yang hidup dan mencerahkan.

Membedah Makna di Balik "Manunggaling Kawula Gusti"

"Manunggaling Kawula Gusti" secara harfiah berarti bersatunya antara "kawula" (hamba, abdi, rakyat) dengan "Gusti" (Tuhan, Tuan, Raja). Namun, pemaknaannya jauh lebih dalam dari sekadar penyatuan fisik. Salah seorang narasumber, seorang budayawan senior, menjelaskan bahwa ini adalah tentang penyelarasan total antara kehendak individu dengan kehendak Ilahi.

"Ini bukan berarti manusia menjadi Tuhan, atau sebaliknya," paparnya dengan tenang. "Ini adalah kondisi di mana ego dan nafsu pribadi telah terkikis habis, sehingga yang tersisa dalam diri hanyalah cerminan dari sifat-sifat Tuhan. Segala tindakan, ucapan, dan pikiran kita menjadi selaras dengan kehendak-Nya. Itulah puncak dari pengabdian."

Diskusi mengalir lebih jauh, membahas bagaimana konsep ini telah diinterpretasikan oleh berbagai tokoh besar dalam sejarah Jawa, mulai dari para Wali Songo hingga pujangga-pujangga keraton seperti Ronggowarsito. Disebutkan pula bahwa ajaran ini sejatinya bersifat universal, ditemukan dalam berbagai tradisi mistik di seluruh dunia, meskipun dengan terminologi yang berbeda.

Gema Diskusi Lintas Generasi di Sumbu Filosofi

Apa yang membuat acara Selasa Wagen kali ini begitu istimewa adalah antusiasme peserta yang datang dari berbagai generasi. Di sudut kanan, terlihat sekelompok mahasiswa yang tekun mencatat, sementara di barisan depan, duduk para sesepuh yang sesekali mengangguk setuju, seolah mengenang kembali wejangan yang pernah mereka dengar di masa muda.

Sesi tanya jawab menjadi puncak dari interaksi lintas generasi ini. Seorang pemuda milenial bertanya, "Bagaimana kami yang hidup di era serba digital dan instan ini bisa menerapkan konsep yang terdengar begitu abstrak dan butuh laku prihatin yang berat?"

Pertanyaan ini dijawab dengan bijak oleh narasumber Gusti Bendara. Ia menjelaskan bahwa "laku prihatin" di masa kini tidak harus selalu berarti mengasingkan diri di gua.

"Menahan diri untuk tidak berkomentar negatif di media sosial, itu adalah laku prihatin. Bekerja dengan jujur dan penuh dedikasi tanpa mengharap pujian, itu adalah bentuk penyelarasan dengan sifat Tuhan Yang Maha Karya. Menjaga kebersihan lingkungan sebagai wujud syukur, itu juga bagian dari 'manunggal'. Konteksnya bisa disesuaikan, esensinya tetap sama: mengikis ego," jelasnya, yang disambut tepuk tangan hangat dari para hadirin.

Relevansi di Era Modern dan Jalan Menuju Kedamaian Batin

Diskusi malam itu ditutup dengan sebuah perenungan bersama. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh perbedaan identitas, politik, dan status sosial, konsep "Manunggaling Kawula Gusti" menawarkan sebuah solusi. Ia mengajak kita untuk melihat melampaui sekat-sekat duniawi dan menemukan kesamaan esensial sebagai sesama "kawula" di hadapan "Gusti" yang sama.

Relevansinya di era modern menjadi sangat kuat:

Menjadi Pemimpin yang Melayani: Ajaran ini adalah fondasi bagi kepemimpinan yang otentik, di mana seorang pemimpin tidak lagi mengejar kekuasaan untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai amanah untuk melayani rakyatnya.

Menemukan Ketenangan di Tengah Kaos: Di tengah tekanan hidup, tuntutan performa, dan banjir informasi, jalan "manunggal" adalah jalan menuju ketenangan batin yang sejati, karena kebahagiaan tidak lagi digantungkan pada pencapaian materi atau validasi eksternal.

Etos Kerja Profesional: Bekerja bukan hanya untuk gaji, tetapi sebagai bentuk ibadah dan pengabdian. Ini akan melahirkan profesionalisme, integritas, dan kualitas kerja yang tinggi.

Acara Selasa Wagen dengan tema "Manunggaling Kawula Gusti" bukan hanya sekadar diskusi intelektual. Ia adalah sebuah panggilan untuk kembali ke dalam diri, untuk merenungkan kembali tujuan hidup kita yang paling hakiki. Dari jantung Sumbu Filosofi Yogyakarta, sebuah pesan universal bergema: jalan menuju persatuan dengan Yang Ilahi sesungguhnya terbuka bagi siapa saja yang bersedia untuk menempuhnya, langkah demi langkah, dalam setiap tarikan napas dan tindakan sehari-hari. (Istri R)

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta