Nagari Jawi: Goresan Sejarah Mangkubumi untuk Generasi Digital

by ifid|| 08 Agustus 2025 || || 92 kali

...

Di sebuah lembah tersembunyi di pedalaman Yogyakarta, di bawah naungan rimbunnya rumpun bambu yang menjulang ke langit, sebuah mesin waktu sinematik tengah bekerja. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dupa tipis. Puluhan kru film, bergerak dalam koreografi yang senyap dan efisien, menata kamera, reflektor, dan mikrofon. Di sudut lain, para aktor dalam balutan busana Jawa abad ke-18 yang otentik, menghidupkan kembali dialog-dialog yang telah lama hilang ditelan zaman.

Ini adalah denyut kehidupan dari lokasi syuting “Nagari Jawi”, sebuah proyek monumental yang digagas Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, bertujuan merekonstruksi sejarah, tetapi juga merevitalisasi dan menyajikannya dalam sebuah format yang relevan bagi audiens global di era digital.

Pusat dari narasi epik ini adalah perjuangan Pangeran Mangkubumi, figur historis yang kelak menjadi pendiri Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Ari Purnomo, salah satu pilar tim kreatif proyek ini, menjelaskan bahwa cerita ini adalah tentang fondasi Yogyakarta itu sendiri.

 

“Kami mengangkat kisah perjalanan Pangeran Mangkubumi, dari momen krusial saat beliau meninggalkan keraton Surakarta, memulai perang gerilya, hingga tercapainya Perjanjian Giyanti,” ungkap Ari. Perjanjian pada 1755 tersebut merupakan titik balik yang membagi Imperium Mataram, melahirkan Yogyakarta sebagai sebuah entitas baru.

Namun, Nagari Jawi menolak untuk menjadi sekadar dokumentasi sejarah yang kering. “Ini adalah misi edukasi,” tegas Ari. “Kami ingin masyarakat, terutama generasi muda, memahami nilai-nilai luhur yang menjadi dasar perjuangan Mangkubumi. Nilai gotong royong, toleransi, dan kegigihan adalah DNA yang membentuk Yogyakarta, dan itu semua ada dalam kisah ini.”

Menyadari tantangan zaman, di mana perhatian audiens adalah komoditas langka, tim produksi merancang sebuah pendekatan yang revolusioner. “Dulu kompetisinya adalah panggung melawan televisi. Sekarang, kompetisinya adalah media konvensional melawan media sosial,” ujar pimpinan produksi proyek ini. “Kita tidak bisa lagi hanya membuat produk yang bagus, kita harus cerdas dalam menyajikannya. Nagari Jawi adalah jawaban kami atas tantangan itu.”

Jawaban tersebut adalah sebuah ekosistem digital yang komprehensif, yang dirancang untuk membangun antisipasi dan merawat loyalitas penonton. Namun, kekuatan Nagari Jawi tidak hanya terletak pada strategi distribusinya. Kekuatan terbesarnya justru ada pada kedalaman karakter-karakternya, yang ternyata tidak hanya berasal dari satu latar belakang budaya, melainkan sebuah aliansi multikultural yang kompleks dan memukau. Kisah ini bukan hanya milik orang Jawa, tetapi milik sebuah Nusantara yang majemuk.

Asmorowati: Jantung Perjuangan, Kekuatan Perempuan di Sisi Mangkubumi

Di balik setiap pemimpin besar, seringkali berdiri sosok pendamping yang menjadi sumber kekuatan dan kebijaksanaan. Dalam epos Nagari Jawi, peran sentral ini dihidupkan melalui karakter Asmorowati, istri Pangeran Mangkubumi. Diperankan dengan penuh penghayatan oleh aktris senior Oki Surya, Asmorowati tampil bukan sebagai permaisuri pasif, melainkan sebagai pilar utama perjuangan.

Saat ditemui di lokasi syuting, Oki Surya, dengan busana kebaya lurik dan sanggul prajuritnya, memancarkan aura yang merupakan perpaduan sempurna antara keanggunan seorang bangsawan dan ketegasan seorang pejuang.

“Dalam produksi yang luar biasa ini, saya mendapat kehormatan memerankan Asmorowati,” ujar Oki dengan senyum hangat namun sorot mata yang tajam. Ia segera mengupas lapisan karakter yang ia perankan, yang jauh lebih kompleks dari sekadar istri seorang pangeran.

“Asmorowati adalah garwa padmi (istri utama) dari Pangeran Mangkubumi. Namun, ia juga seorang prajurit perempuan dari kesatuan elite Langen Kusumo,” ungkapnya.

Fakta ini adalah kunci untuk memahami dinamika perjuangan Mangkubumi. Asmorowati bukanlah sosok yang menunggu kabar perang dari balik dinding keraton. Ia adalah seorang strategis, seorang pejuang, dan seorang mitra setara yang ikut mengangkat senjata dan menyusun siasat di medan perang. Ia adalah manifestasi dari konsep “konco wingking” dalam budaya Jawa, yang artinya bukan hanya teman di belakang (dapur), tetapi juga partner dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pertarungan hidup dan mati.

Karakter Asmorowati memberikan Nagari Jawi sebuah dimensi emosional yang dalam. Melalui interaksinya dengan Mangkubumi, penonton akan diajak melihat sisi manusiawi dari sang pangeran: kerentanannya, harapannya, dan kebutuhannya akan sandaran. Asmorowati adalah sauh yang menjaga Mangkubumi tetap tegar di tengah badai pengkhianatan dan peperangan yang tak berkesudahan.

Bagi Oki Surya, mendalami peran ini adalah sebuah perjalanan spiritual. “Ini bukan sekadar menghafal dialog. Ini tentang menyelami jiwa seorang perempuan hebat dari masa lalu. Bagaimana ia menyeimbangkan perannya sebagai istri, ibu, sekaligus komandan prajurit? Di situlah letak tantangan dan keindahannya,” tutur Oki.

Kehadiran Asmorowati sebagai salah satu fokus utama dalam Nagari Jawi adalah sebuah pernyataan penting. Proyek ini secara sadar memberikan ruang yang terhormat bagi figur-figur perempuan dalam sejarah, menunjukkan bahwa berdirinya sebuah peradaban besar seperti Yogyakarta adalah buah dari perjuangan bersama, di mana peran perempuan sama vitalnya dengan peran laki-laki. Sosok Asmorowati adalah jantung dari perjuangan itu sendiri.

Jayaningrum: Jejak Tionghoa dalam Geger Mataram, Aliansi Lintas Budaya

Jika Asmorowati adalah representasi kekuatan internal dari tanah Jawa, Nagari Jawi secara mengejutkan juga menampilkan sebuah aliansi lintas budaya yang menjadi salah satu elemen paling menarik dalam ceritanya. Aliansi ini diwujudkan melalui karakter Nyi Tumenggung Jayaningrum, yang diperankan oleh aktris Joana Dyah.

Mengenakan kostum bernuansa oriental yang telah diakulturasikan dengan gaya Jawa, Joana Dyah tampak merefleksikan latar belakang karakternya yang unik. Ia bukan orang Jawa asli, melainkan seorang figur yang terdampar di tanah Jawa akibat tragedi besar.

“Halo, nama saya Joana Dyah. Di sini saya berperan sebagai Nyi Tumenggung Jayaningrum,” sapanya. “Jayaningrum ini seorang pelarian dari Cina, yang kemudian terlibat dalam peristiwa Geger Pecinan.”

Penyebutan “Geger Pecinan” menjadi kunci historis yang krusial. Peristiwa ini merujuk pada pembantaian etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC pada tahun 1740, yang memicu pemberontakan besar-besaran di sepanjang pesisir utara Jawa. Para pemberontak Tionghoa ini kemudian bersekutu dengan beberapa penguasa Jawa untuk melawan dominasi Kompeni.

Dalam narasi Nagari Jawi, Jayaningrum adalah salah satu korban selamat dari tragedi tersebut. Dendam dan keinginannya untuk mencari keadilan membawanya bertemu dengan Pangeran Mangkubumi, yang juga memiliki musuh yang sama: VOC.

“Karakter saya ini akhirnya membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk melawan VOC,” jelas Joana. Dari seorang pelarian, Jayaningrum, berkat kecakapan dan loyalitasnya, diangkat menjadi seorang Tumenggung—sebuah pangkat tinggi dalam hierarki militer Jawa.

Kisah Jayaningrum mengubah Nagari Jawi dari sekadar cerita perang suksesi Jawa menjadi sebuah epik multikultural. Ini adalah narasi tentang bagaimana dua budaya yang berbeda—Jawa dan Tionghoa—menemukan titik temu dan tujuan bersama dalam menghadapi penindasan kolonial. Ini adalah bukti sejarah bahwa Nusantara sejak dulu telah menjadi wadah bagi aliansi-aliansi tak terduga yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan dan keinginan untuk merdeka.

Bagi Joana Dyah, keterlibatannya dalam proyek ini juga memberikan perspektif baru. Ia menekankan bahwa cerita ini, meskipun didramatisasi, memiliki dasar fakta yang kuat. “Cerita ini bukan fiksi murni. Sejarahnya ada, aliansi itu benar-benar terjadi. Teman-teman (penonton) boleh cek, kok,” ujarnya dengan nada meyakinkan, seolah menantang audiens untuk ikut belajar dan menelusuri jejak sejarah yang luar biasa ini.

Karakter Jayaningrum adalah jembatan budaya dalam Nagari Jawi, sebuah pengingat bahwa tenunan kebangsaan Indonesia dibentuk oleh benang-benang dari berbagai macam warna dan asal-usul.

Meninggalkan Studio, Merengkuh Alam: Revolusi Produksi dan Strategi Digital

Kekuatan narasi multikultural Nagari Jawi didukung oleh sebuah pendekatan produksi yang tidak kalah revolusioner. Tim produksi membuat keputusan berani untuk meninggalkan kenyamanan studio dan membawa seluruh proses syuting ke lokasi asli di alam terbuka.

Joana Dyah, pemeran Jayaningrum, menyoroti keunikan ini. “Prosesnya cukup unik, ya. Berbeda dengan produksi-produksi drama sejarah sebelumnya. Ini yang menarik, karena baru kali ini saya terlibat di syuting dokudrama yang sepenuhnya outdoor,” ungkapnya.

Ia membandingkannya dengan pengalaman sebelumnya yang banyak mengandalkan studio, atau bahkan teknologi green screen. “Tahun-tahun kemarin kan kebanyakan di studio atau green screen. Tahun ini, teman-teman mencoba eksplorasi langsung ke outdoor,” lanjut Joana.

Keputusan untuk syuting di alam terbuka memberikan banyak keuntungan. Secara visual, Nagari Jawi akan menyajikan sinematografi yang megah dan otentik. Hutan, sungai, dan perbukitan Yogyakarta tidak hanya menjadi latar belakang, tetapi menjadi karakter hidup yang menyatu dengan cerita. Cahaya matahari alami, suara angin, dan tekstur alam yang nyata mustahil ditiru di dalam studio. Ini akan memberikan pengalaman menonton yang jauh lebih imersif.

Namun, pilihan ini juga datang dengan serangkaian tantangan baru: cuaca yang tidak bisa diprediksi, medan yang sulit, dan logistik yang jauh lebih kompleks. Keberhasilan tim dalam mengatasi tantangan-tantangan ini menunjukkan tingkat profesionalisme dan dedikasi yang tinggi.

Peta Jalan Digital yang Matang

Inovasi produksi ini berjalan seiring dengan inovasi strategi distribusi. Pimpinan produksi Kristiadi,  memaparkan peta jalan digital mereka yang dirancang untuk menjaga Nagari Jawi tetap hidup di benak audiens selama berbulan-bulan, bahkan setahun.

“Kami tidak mau karya ini hanya lewat begitu saja. Harus ada perawatan audiens,” katanya. Seluruh strategi ini didasari oleh keinginan untuk berkolaborasi secara erat dengan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, yang dianggap sebagai mitra strategis. “Kami berharap bisa menjadi mitra pemerintah dalam memajukan kebudayaan daerah melalui platform baru yang relevan dengan zaman,” pungkas Kistiadi sang produser. Kombinasi antara produksi yang otentik dan strategi digital yang cerdas ini menempatkan Nagari Jawi sebagai sebuah proyek percontohan bagi industri kreatif budaya di Indonesia.

Warisan untuk Masa Depan: Edukasi, Ekspresi, dan Peneguhan Identitas

Di penghujung hari, saat cahaya senja keemasan menembus sela-sela dedaunan bambu, energi di lokasi syuting Nagari Jawi tidak sedikit pun surut. Proyek ini lebih dari sekadar rangkaian adegan; ia adalah sebuah gerakan kebudayaan yang memiliki dampak berlapis bagi semua yang terlibat dan bagi masyarakat luas.

Misi utamanya adalah edukasi. Setiap narasumber, mulai dari tim kreatif hingga para aktor, menyuarakan hal yang sama. Mereka tidak sedang membuat dongeng, melainkan menyajikan sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Harapannya adalah penonton bisa memahami dan mengambil sisi edukasi dari tayangan ini,” ujar Joana Dyah. “Karena sebetulnya kita tidak melulu hanya memberikan sebuah tontonan, tapi kita juga memberikan edukasi, kita memberikan pelajaran, kita memberikan sejarah di dalamnya.”

Kedua, Nagari Jawi adalah panggung ekspresi yang vital bagi ratusan seniman dan pekerja seni. Di tengah industri yang penuh ketidakpastian, proyek ini memberikan ruang, pekerjaan, dan yang terpenting, kebanggaan. Ini adalah kesempatan bagi para seniman untuk mengasah keahlian mereka dalam sebuah produksi berkualitas tinggi yang mengangkat budaya mereka sendiri.

Terakhir, dan yang paling mendasar, Nagari Jawi adalah sebuah upaya peneguhan identitas. Di tengah arus globalisasi yang deras, proyek ini mengajak kita untuk menengok kembali ke akar, untuk memahami siapa kita melalui kisah perjuangan para pendahulu. Dengan menampilkan narasi yang inklusif mengakui peran sentral perempuan seperti Asmorowati dan merayakan aliansi multikultural dengan figur seperti Jayaningrum Nagari Jawi menyajikan sebuah potret ke Indonesiaan yang majemuk dan tangguh.

Proyek ini adalah sintesis yang indah dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia mengambil kebijaksanaan dari masa lalu, menggunakan teknologi dari masa kini, untuk menginspirasi generasi di masa depan.

Saat para kru mulai membereskan peralatan dan para aktor melepas kostum mereka, yang tersisa bukanlah kelelahan, melainkan kepuasan dan optimisme. Mereka adalah para penutur cerita modern yang telah berhasil menghidupkan kembali napas kehidupan ke dalam sebuah epos besar. Kini, tugas mereka hampir selesai. Bola akan segera dilempar ke hadapan publik.

Dunia digital adalah panggungnya, dan jutaan penonton potensial adalah jurinya. Dengan segala kedalaman cerita, kekuatan karakter, dan inovasi yang dibawanya, Nagari Jawi siap untuk memulai perjalanannya, bukan lagi sebagai bisik-bisik sejarah, tetapi sebagai sebuah pekik kebudayaan yang nyaring dan membanggakan.

Menghidupkan Kembali Sejarah: Tantangan dan Kolaborasi Para Ahli

 

Di balik setiap detail kostum, setiap potongan dialog, dan setiap sudut kamera dalam Nagari Jawi, terdapat kerja keras dan dedikasi luar biasa dari tim riset dan para ahli. Proyek ini sejak awal berkomitmen untuk tidak sekadar mendramatisasi sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali otentisitasnya.

Ari Purnomo, dari tim kreatif, menjelaskan bahwa proses pra-produksi adalah tahapan yang paling intens. “Kami menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berkolaborasi dengan para sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan komunitas budaya setempat. Kami mengkaji naskah-naskah kuno, jurnal-jurnal, dan bahkan artefak-artefak yang relevan dengan periode Perang Jawa.”

Ia menambahkan, tantangan terbesar adalah mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah. “Tidak semua percakapan atau detail kehidupan sehari-hari Pangeran Mangkubumi tercatat. Di sinilah peran dramaturgi masuk. Kami harus menafsirkan, dengan bimbingan para ahli, bagaimana kira-kira dialog itu terjadi, bagaimana emosi itu diekspresikan, tanpa mengkhianati fakta sejarah yang ada.”

 

Dari Yogyakarta, untuk Dunia: Visi Nagari Jawi di Kancah Internasional

Jika Nagari Jawi telah berhasil memukau publik domestik dengan kedalaman kisahnya, visi jangka panjangnya jauh melampaui batas-batas Nusantara. Proyek ini dirancang untuk menjadi sebuah duta budaya, membawa sejarah dan nilai-nilai luhur Indonesia ke kancah internasional.

Pimpinan produksi proyek ini melihat potensi universal dalam narasi Nagari Jawi. “Kisah perjuangan melawan kolonialisme, aliansi lintas budaya, dan peran vital perempuan tema-tema ini relevan di mana pun di dunia. Ini adalah kisah yang bisa dimengerti dan dihargai oleh audiens global,” ujarnya.

Untuk mencapai tujuan ini, tim produksi sedang dalam pembicaraan dengan beberapa layanan streaming global. Mereka percaya platform digital adalah cara tercepat dan paling efektif untuk menjangkau penonton di berbagai belahan dunia, dari Amerika hingga Eropa, dari Afrika hingga Asia. Dengan dukungan dari platform-platform ini, Nagari Jawi tidak hanya akan ditonton, tetapi juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, membuatnya dapat diakses oleh jutaan orang.

Kolaborasi dengan Dinas Kebudayaan DIY juga berperan penting dalam visi ini. Dengan dukungan pemerintah, proyek ini bisa mendapatkan visibilitas dan legitimasi yang lebih besar di tingkat global, membuka pintu untuk promosi di festival film internasional dan acara kebudayaan.

Pada akhirnya, Nagari Jawi adalah lebih dari sekadar sebuah produk hiburan. Ia adalah sebuah investasi kebudayaan. Ia adalah sebuah pernyataan bahwa Indonesia memiliki kisah-kisah epik yang layak diceritakan di panggung dunia. Dengan segala inovasi dan dedikasinya, Nagari Jawi siap untuk mengambil tempatnya, tidak hanya sebagai kebanggaan Yogyakarta, tetapi juga sebagai sebuah warisan kebudayaan yang akan dikenang dan dihargai di seluruh dunia.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta