by ifid|| 14 Agustus 2025 || || 31 kali
Perjalanan yang Sunyi dan Liku-liku Tak Terduga
Menjadi orang tua adalah sebuah perjalanan. Namun, bagi sebagian, perjalanan itu memiliki liku yang lebih tajam dan tanjakan yang lebih terjal. Inilah kenyataan sehari-hari yang dihadapi oleh para orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Di tengah sunyi perjuangan mereka, sebuah program bernama "Mukti" hadir sebagai secercah cahaya, menawarkan ruang aman untuk memulihkan jiwa dan menguatkan langkah.
Bidari Hadi Prastutiwi, seorang psikolog yang terlibat aktif dalam program ini, memahami betul beban tak kasat mata yang dipikul para orang tua. Dalam sebuah sesi pendampingan yang difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, ia dengan hangat menyapa dan membagikan visi di balik kegiatan yang mulia ini. "Di sini saya berperan sebagai seorang psikolog," ujar Bidari dengan senyum tulus. "Hari ini, kami bersama dengan Mukti berkegiatan mendampingi orang-orang tua yang memiliki anak-anak dengan berkebutuhan khusus. Ini adalah sebuah tantangan yang luar biasa."
Tantangan yang dimaksud Bidari bukan hanya soal teknis pengasuhan, tetapi lebih dalam lagi, menyangkut pergulatan emosi, penerimaan diri, dan stigma sosial. Ia menjelaskan bahwa perasaan para orang tua ini seringkali terabaikan. Fokus masyarakat dan bahkan keluarga seringkali hanya tertuju pada sang anak, sementara kondisi mental dan emosional para orang tua yang menjadi garda terdepan justru luput dari perhatian. “Perasaan orang tua seringkali terabaikan,” tegasnya. “Ada kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, terutama adalah penerimaan, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Inilah yang perlu kita kuatkan.”
Mukti: Pendekatan Humanis dalam Kelompok Kecil
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Mukti merancang sebuah pendekatan yang unik dan mendalam. Sesi pendampingan tidak dilakukan dalam format seminar yang kaku, melainkan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Tujuannya agar setiap individu merasa lebih nyaman untuk membuka diri, berbagi cerita, dan yang terpenting, merasa didengarkan.
"Kami membagi peserta menjadi dua kelompok agar kami bisa lebih mendalami emosi setiap orang tua, bagaimana mereka berproses dengan putra-putrinya," jelas Bidari. "Kami berusaha memfasilitasi dan menjembatani emosi dan perasaan mereka."
Pendekatan ini sengaja dirancang untuk menghindari suasana formal yang seringkali membuat orang enggan berbicara dari hati ke hati. Dalam kelompok kecil, para orang tua merasa lebih leluasa untuk mengungkapkan rasa lelah yang tersembunyi, kegelisahan yang mendalam, dan kekecewaan yang mungkin tidak berani mereka sampaikan kepada siapa pun. Mereka menemukan bahwa mereka tidak sendirian. Ada orang-orang lain yang menanggung beban serupa, yang memahami setiap perjuangan tanpa perlu banyak penjelasan.
Saling pandang, anggukan kepala yang penuh pengertian, dan air mata yang mengalir bersama menjadi pemandangan biasa di sesi Mukti. Ini adalah ruang di mana kerentanan dihargai, bukan dihakimi. Keberadaan psikolog seperti Bidari berperan sebagai fasilitator, membantu mereka mengidentifikasi dan memproses emosi, serta memberikan alat-alat praktis untuk mengelola stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Seni Sebagai Jembatan Emosi: Mengurai Benang Kusut dalam Goresan
Salah satu pilar utama dalam metode pendampingan Mukti adalah pemanfaatan seni. Ini bukan sekadar aktivitas pengisi waktu, melainkan sebuah jembatan terapeutik yang kuat. Seni menjadi medium bagi para orang tua untuk melepaskan emosi yang mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata—rasa lelah, frustrasi, sedih, sekaligus harapan dan cinta yang tak terhingga.
"Salah satu yang kami terapkan di program Mukti ini adalah seni," ungkap Bidari. "Seni bisa menjadi salah satu media untuk melepaskan emosinya, bisa mengekspresikan perasaannya, sehingga pada akhirnya nanti mereka bisa berdinamika bersama anak-anaknya dengan lebih baik."
Melalui goresan kuas, tarian sederhana, atau alunan musik, para orang tua diajak untuk menyelami dan mengurai benang kusut emosi yang kerap terpendam. Proses kreatif ini membantu mereka untuk berdamai dengan keadaan, menemukan kembali kekuatan dari dalam diri, dan melihat bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan ini. Seni memungkinkan mereka menciptakan narasi baru tentang diri mereka sendiri dan pengalaman mereka, mengubah beban menjadi sebuah karya yang memiliki makna.
Dukungan dari Dinas Kebudayaan DIY menjadi elemen krusial yang memungkinkan program ini berjalan. Keterlibatan institusi budaya ini menegaskan bahwa seni memiliki peran vital dalam penyembuhan dan pembangunan ketahanan sosial di masyarakat. Seni bukan lagi hanya soal estetika, tetapi juga soal empati dan kemanusiaan. Ini adalah pernyataan bahwa budaya, dalam bentuk yang paling esensial, adalah tentang merawat jiwa dan menghubungkan manusia.
Merangkul untuk Saling Menguatkan: Membangun Komunitas Solid
Tujuan akhir dari program Mukti bukan untuk menghilangkan semua masalah, melainkan untuk membekali para orang tua dengan kekuatan mental dan dukungan komunitas yang solid. Harapannya adalah terciptanya sebuah ekosistem di mana para orang tua merasa diterima, dipahami, dan berdaya.
"Tujuan pendampingan ini adalah agar orang tua merasa diterima oleh masyarakat," kata Bidari. "Supaya mereka bisa merangkul dan saling merangkul satu sama lain. Dengan begitu, anak-anak dan orang tua bisa tetap mengoptimalkan potensi-potensi yang mereka miliki."
Kalimat "saling merangkul satu sama lain" menjadi mantra dalam setiap kegiatan Mukti. Program ini secara sadar membangun ikatan di antara para orang tua, mengubah mereka dari sekumpulan individu yang berjuang sendiri-sendiri menjadi sebuah keluarga besar yang saling menopang. Dalam komunitas ini, mereka bisa berbagi tips pengasuhan, merayakan pencapaian kecil anak-anak mereka, dan saling memberi semangat ketika dunia terasa berat.
Komunitas ini menjadi jaringan pengaman yang vital. Ketika salah satu orang tua merasa lelah, yang lain siap memberikan bahu untuk bersandar. Ketika ada berita baik, semua orang ikut merayakannya. Inilah kekuatan empati yang terbangun secara organik, sebuah jaringan dukungan yang jauh lebih kuat dari sekadar kata-kata. Bidari Hadi Prastutiwi meyakini bahwa ketika orang tua kuat secara mental dan emosional, mereka akan mampu memberikan pengasuhan yang lebih optimal. Anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan pendampingan yang sabar dan penuh cinta, dan itu hanya bisa lahir dari orang tua yang jiwanya terawat.
Harapan untuk Masa Depan: Sebuah Pos Peristirahatan di Lintasan Maraton
Keberhasilan acara ini menyalakan harapan besar untuk keberlanjutannya di masa depan. Bidari, mewakili tim Mukti dan para orang tua, menyampaikan rasa terima kasih dan harapannya agar program semacam ini dapat terus berjalan secara konsisten. "Saya sangat bersyukur dengan adanya Mukti ini, anak-anak dengan berkebutuhan khusus dan terutama orang tuanya bisa terfasilitasi. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dinas Kebudayaan yang selalu memfasilitasi kegiatan ini," ujarnya penuh harap. "Harapannya, kegiatan ini bisa berlangsung terus-menerus, tidak hanya hari ini, tetapi juga di acara-acara selanjutnya ataupun di tahun-tahun berikutnya."
Perjalanan para keluarga dengan anak berkebutuhan khusus adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Program seperti Mukti hadir sebagai "pos peristirahatan" di sepanjang lintasan maraton tersebut. Ia adalah tempat di mana mereka bisa minum, mengatur napas, dan merasakan tepukan semangat di pundak untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan kepala tegak dan hati yang lebih lapang.
Pada akhirnya, Mukti dan para fasilitatornya seperti Bidari Hadi Prastutiwi telah membuktikan bahwa sentuhan kemanusiaan yang tulus, ditambah dengan kekuatan transformatif dari seni, mampu menjadi obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka batin dan membangun kembali harapan. Inisiatif seperti ini adalah bukti nyata bahwa ketika pemerintah, komunitas, dan para ahli bersatu, mereka dapat menciptakan perubahan yang mendalam dan berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat.
Sentuhan Warna yang Menghidupkan: Kisah Inspiratif Terapi Seni Rupa MOEKTI di SLB
Gelak tawa riang dan sorak-sorai penuh semangat memenuhi ruang kelas di SLB ABCD Tunas Kasih Donoharjo dan SLB B Wiyata Dharma 1, Yogyakarta. Bukan, ini bukan sekadar kegiatan belajar mengajar biasa. Ini adalah sesi terapi seni rupa yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY, sebuah program bernama MOEKTI. Program ini hadir sebagai oase kreatif, memberikan ruang bagi para siswa istimewa untuk mengekspresikan diri mereka, menuangkan imajinasi dan perasaan terdalam mereka melalui goresan kuas dan warna yang cerah.
Sejak tanggal 30,31 Juli, 6,7, 13.14 Agustus 2025, program ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan para siswa. Sesi demi sesi, mereka diajak untuk berinteraksi dengan kanvas dan cat, menciptakan karya-karya unik yang menjadi cerminan dari dunia batin mereka. Dalam setiap sapuan kuas, terlihat jelas bagaimana mereka belajar mengasah konsentrasi, melatih koordinasi motorik, dan yang paling penting, menemukan rasa percaya diri yang baru.
Para guru dan pendamping melihat perubahan signifikan pada para siswa. Mereka yang sebelumnya pasif, kini mulai proaktif memilih warna dan media lukis. Mereka yang sulit berkomunikasi verbal, menemukan cara baru untuk "berbicara" melalui lukisan mereka. Setiap garis dan bentuk memiliki makna, setiap warna menceritakan sebuah perasaan. MOEKTI bukan hanya tentang seni, tapi juga tentang komunikasi non-verbal yang mendalam, membuka jendela ke dunia batin yang kaya dari setiap anak.
Lebih dari Sekadar Melukis: Proses Kreatif sebagai Terapi Holistik
Melukis bagi siswa-siswa ini bukan hanya tentang menciptakan gambar, melainkan sebuah jembatan emosional. Media yang digunakan pun disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, memastikan setiap siswa dapat berpartisipasi dengan nyaman dan maksimal. Beberapa siswa menggunakan kuas, ada yang melukis dengan tangan, bahkan ada yang menggunakan media lain untuk menciptakan tekstur unik. Semuanya didampingi oleh fasilitator yang sabar dan penuh kasih.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu fasilitator, Bapak Andri, kegiatan ini sangat bermanfaat, tidak hanya untuk siswa, tapi juga bagi para pendamping. “Ini bukan sekadar melukis. Ini adalah pembelajaran buat mereka,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa terapi ini membantu siswa berkomunikasi, mengatasi tantangan emosional, dan membangun koneksi dengan dunia di sekitar mereka. Setiap karya yang dihasilkan adalah sebuah cerita yang tak terucapkan, sebuah jendela yang memperlihatkan keindahan jiwa mereka.
Proses kreatif ini juga menumbuhkan rasa sabar dan ketekunan. Anak-anak belajar bahwa sebuah karya tidak bisa selesai dalam sekejap, melainkan membutuhkan proses dan ketelitian. Hal ini secara tidak langsung melatih mereka untuk lebih fokus dan menikmati setiap langkah dalam proses, sebuah keterampilan yang sangat berharga dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Peningkatan Kepercayaan Diri dan Keterampilan Sosial: Dampak Positif pada Siswa dan Orang Tua
Salah satu orang tua siswa dari SLB Tunas Kasih Donoharjo berbagi pengalamannya. “Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi saya pribadi, terutama dari segi sosial dan emosi,” ungkapnya. Ia merasa wawasannya bertambah, menyadari bahwa anak-anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan ilmu dan dukungan emosional yang kuat dari orang tua. “Semoga ke depannya, Mukti bisa mempunyai banyak waktu dan waktunya lebih panjang,” harapnya.
Pernyataan ini menunjukkan betapa besar dampak program MOEKTI. Tidak hanya mengembangkan keterampilan motorik dan konsentrasi, tapi juga memupuk rasa percaya diri. Saat sebuah karya selesai, senyum bangga terpancar dari wajah mereka, sebuah bukti nyata dari pencapaian yang mereka rasakan. Interaksi selama sesi melukis juga memperkuat keterampilan sosial, di mana mereka belajar berbagi ruang, saling menginspirasi, dan bekerja sama dalam suasana yang positif. Mereka tidak lagi merasa malu dengan perbedaan mereka, melainkan bangga dengan kemampuan unik yang mereka miliki.
Jejak Keceriaan dan Semangat Kemerdekaan: Mengikat Kebersamaan
Rangkaian program MOEKTI juga singgah di SLB B Wiyata Dharma 1. Selain sesi melukis, kegiatan di sekolah ini juga diwarnai dengan berbagai permainan seru yang melatih ketangkasan dan kerja sama. Di video yang direkam, terlihat para siswa dan pendamping berpartisipasi dalam lomba membawa kelereng dengan sendok yang digigit. Gelak tawa dan teriakan gembira terdengar di seluruh area.
Kegiatan ini secara cerdas menggabungkan seni dan permainan, menciptakan momen yang terasa ringan namun penuh makna. Para siswa diajak untuk berkreasi dan bersenang-senang, melupakan sejenak keterbatasan yang mereka miliki. Suasana hangat ini berhasil membangun ikatan yang kuat antara siswa, guru, dan tim pelaksana, menjadikan setiap pertemuan sebagai kenangan yang tak terlupakan.
Puncak perayaan MOEKTI di SLB Tunas Kasih Donoharjo pada 14 Agustus 2025, menjadi momen yang paling meriah. Dalam suasana yang penuh kegembiraan dan semangat Kemerdekaan, para siswa menampilkan pertunjukan pentas seni dan mengikuti lomba Agustusan. Mereka tampil dengan kostum-kostum unik yang cerah, mencerminkan imajinasi mereka yang tak terbatas. Momen ini memperkuat hubungan hangat antara siswa, guru, dan seluruh tim pelaksana. Ini adalah bukti bahwa seni, budaya, dan semangat persatuan dapat berpadu indah, menciptakan dampak positif yang berkelanjutan.
Dukungan Berbagai Pihak dan Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Cerah
Kesuksesan program MOEKTI tak lepas dari sinergi dan dukungan berbagai pihak. Salah satu perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY, Ibu Rina, dalam wawancara di lokasi mengungkapkan pentingnya program ini. "Kami berharap, program ini bisa terus berlanjut. Tidak hanya sebagai sarana terapi, tetapi juga sebagai media untuk menggali dan mengembangkan bakat seni anak-anak istimewa ini," tuturnya. Ia juga menekankan bahwa program ini adalah wujud nyata komitmen pemerintah daerah dalam memberikan perhatian dan fasilitas yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Dukungan penuh juga datang dari pihak sekolah. Kepala sekolah dari SLB B Wiyata Dharma 1 menyampaikan apresiasinya. "Kami sangat berterima kasih kepada Dinas Kebudayaan DIY. Program ini sangat membantu siswa kami. Kami melihat perubahan positif pada mereka, baik dari segi emosional maupun kreativitas," ungkapnya.
Sebagai penutup rangkaian kegiatan tahun 2025, MOEKTI meninggalkan kesan mendalam bagi siswa, guru, maupun orang tua yang telah berpartisipasi. Air mata haru dan senyum bahagia terlihat jelas saat sesi terakhir. Salah satu orang tua menyampaikan perasaannya, "Anak saya jadi lebih berani, lebih percaya diri. Dulu dia pemalu, sekarang mau berinteraksi dan menunjukkan karyanya. Terima kasih banyak, MOEKTI."
Kesaksian ini menjadi bukti paling kuat bahwa seni bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang penyembuhan, pengembangan diri, dan pembangunan karakter. MOEKTI berhasil menciptakan ruang di mana perbedaan adalah sebuah kekuatan, dan setiap goresan warna adalah sebuah pencapaian yang patut dirayakan. Dengan berakhirnya rangkaian kegiatan tahun ini, harapan besar menggema dari para siswa, guru, dan orang tua. Mereka berharap program ini tidak berhenti di sini. Mereka ingin MOEKTI kembali hadir dengan jangkauan yang lebih luas, durasi yang lebih panjang, dan inovasi yang lebih beragam.
Program Terapi Seni Rupa (MOEKTI) telah menjadi penutup rangkaian kegiatan tahun 2025 yang meninggalkan kesan mendalam bagi semua yang terlibat. Upaya menjaga dan melestarikan budaya, seperti yang diwujudkan melalui MOEKTI, tidak hanya menjadi sekedar kenangan, melainkan menjadi bagian hidup yang terus tumbuh dan berkembang.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...